Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2019

Silaturahmi sastra

Saya mesti lebih hati-hati. Hujan tadi sore menyisakan basah dan genangan air di sepanjang jalan menuju Bojong Gede. Selain licin, lubang yang seperti mangkok bahkan baskom berisi air, di jalan sungguh seringkali membuat pengendara motor jatuh lalu mengaduh. Pun batu kerikil, terasa lebih usil dan jahil membuat siapapun bisa tergelincir. Kewaspadaan saya bertambah. Setelah melewati jalan Pemda, ternyata jalan berubah menjadi kolam. Air bergelombang hingga mencapai betis. Kali yang membelah Bojong Gede seperti muntah, tak mampu menampung debit air. Selain jatuh, kekhawatiran dalam diri saya pun bertambah: mesin motor mati. Mogok. Alhamdulillah tidak. Saya sedikit lega, sedikit lagi sampai ke rumah pak Maman S. Mahayana. Sayangnya, rintangan belum usai. Saya mesti melalui jembatan yang air sungai di bawahnya naik. Bahkan mengalir deras. Bermodal bismillah, saya seberangi jembatan. Alhamdulillah sampai. Dari jarak lima tingkat Pramuka, lampu neon di tiang listrik memberi bentuk begitu ...

Beberapa tamparan di pipi saya sore ini.

Malu rasanya diri ini. Begitu hina. Teramat rendah. Betapa bodoh dan gobloknya. Sebagai cucu, kira-kira begitulah yang saya rasakan menjelang sore ini ketika mendapati perempuan yang melahirkan ibu saya tengah membaca. Padahal ia baru sembuh dari cedera setelah jatuh di kamar mandi. Hingga dua tulang iganya retak. Di usianya yang mendekati satu abad, perempuan yang punya tujuh anak ini masih suka membaca. Sebenarnya anaknya ada sembilan. Tapi, dua anaknya meninggal ketika masih kecil. Saat itu Belanda daN Jepang masih suka berkeliling di kampung Sawangan. Buku yang ia baca karangan Sayid Alaidrus. Seorang Ulama yang lebih dikenal dengan Keramat Luar Batang. Yang makamnya saban hari sering diziarahi. Lebih-lebih di malam Jum'at. Saya iseng, bertanya-tanya pada perempuan yang punya cucu yang cukup untuk jadi satu tim sepak bola, lengkap dengan pemain cadangan dan tim manajemennya, tentang buku yang ia baca. Perempuan yang biasa saya panggil Nyai ini bilang buku yang berjudul ...

Novel Kulub

Novel Kulub Dua belas hari Kulub seperti emak ayam lagi mengerami telur. Selama itu, media sosial layaknya hal yang membatalkan wudhu. Pun seperti perempuan bukan muhrim. Hasilnya, tentu saja bukan anak ayam, tapi satu naskah novel selesai ia buat. Novel yang menceritakan perjalanan dan perjuangan seseorang menuju pernikahan. Saat ini, novel tersebut masih diendapkan. Seperti Kokok ayam, menyambut matahari akan terbit. Awalnya Kulub tak berniat ingin menerbitkan cerita dan kisah fiksinya. Sayangnya, teman-temannya, termasuk saya, terus menghujaninya dengan kata-kata: "ayo terbitkan!". Berkali-kali Kulub menghalaunya dengan memakai payung: "gaya menulis gue, kayak bagus". Pun memakai jas hujan "gak percaya diri". Alhamdulillahnya, perlahan Kulub tak mampu menghindari basah. Ya, ia saat ini basah oleh kata-kata mesti punya karya. Selama dua belas hari, Kulub benar-benar seperti orang yang semedi di satu sisi dan orang kesurupan di sisi lain. Semedinya ia ...