Silaturahmi sastra

Saya mesti lebih hati-hati. Hujan tadi sore menyisakan basah dan genangan air di sepanjang jalan menuju Bojong Gede. Selain licin, lubang yang seperti mangkok bahkan baskom berisi air, di jalan sungguh seringkali membuat pengendara motor jatuh lalu mengaduh. Pun batu kerikil, terasa lebih usil dan jahil membuat siapapun bisa tergelincir.

Kewaspadaan saya bertambah. Setelah melewati jalan Pemda, ternyata jalan berubah menjadi kolam. Air bergelombang hingga mencapai betis. Kali yang membelah Bojong Gede seperti muntah, tak mampu menampung debit air. Selain jatuh, kekhawatiran dalam diri saya pun bertambah: mesin motor mati. Mogok. Alhamdulillah tidak. Saya sedikit lega, sedikit lagi sampai ke rumah pak Maman S. Mahayana.

Sayangnya, rintangan belum usai. Saya mesti melalui jembatan yang air sungai di bawahnya naik. Bahkan mengalir deras. Bermodal bismillah, saya seberangi jembatan. Alhamdulillah sampai. Dari jarak lima tingkat Pramuka, lampu neon di tiang listrik memberi bentuk begitu jelas di mata. Pagar besi hitam tertutup.

"Jangan-jangan pak Maman keluar nih," batin saya. "Ah, bismillah. Lagipula kami sudah janjian bertemu malam ini."

Saya lega, mobil silver pak Maman terparkir di depan rumah. Tak lama, laki-laki yang pernah mengajar Bahasa Indonesia di Korea itu keluar. Perutnya yang mulai maju ditutupi sarung. Kedua tangannya masih mengucek mata ketika mempersilakan saya duduk.

"Kita ngopi dulu, iya nggak?" Ucapnya lalu masuk ke dalam rumah.

Sambil duduk menunggu di atas bangku kayu yang membentuk huruf L, angin malam membawa sisa hujan ke muka saya. Dedaunan dan bebungaan sepertinya sama: kedinginan lalu merunduk. Mungkin mereka tak bergairah lantaran bulan tak hadir di atas mereka. Hanya beberapa lampu di tiap sudut rumah yang memberi cahaya.

Jug gejag gejug gejag gejug gejag gejug... Teeeet... Kereta kommuter line Bogor-Jakarta lewat. Jaraknya yang hanya lima rentangan tangan dari tembok samping rumah pak Maman membuat bangku yang saya duduki bergetar. Saya membayangkan Pak Maman bergadang setiap malam di awal-awal tinggal di rumah ini. Entah karena biasa atau memang layaknya buang ingus baginya, banyak tulisannya dibuat di rumah ini. Sungguh, ini luar biasa. Atau mungkin, suara kereta sudah menjadi Nara yang berirama, seperti musik, di telinganya. Hingga ia malah menikmatinya.

Beberapa menit kemudian ia keluar. Diikuti perempuan,  yang dipanggil ibu oleh anak-anaknya, yang membawa segelas kopi hitam untuk saya.

Pak Maman duduk bagai jawara. Sambil merokok ia bilang novel yang bagus itu adalah novel yang membuat pembacanya tak mau berhenti membaca.

"Novel Raden Mandasia itu kuat di penceritaannya. Ditambah metafora dan tak sedikit pengarangnya menggunakan kata-kata yang segar." Pak Maman menghisap rokok. Saya pun mengamini. Sebab, novel 400 halaman lebih itu pun saya tuntaskan dalam dua hari dipotong perjalanan dan kegiatan saya yang lain. Dan apa yang dibilang pak Maman memang saya rasakan. Saya seperti ingin terus membaca novel itu.

"Selain kekuatan bercerita, novel pun bisa kuat dari latar dan pengembangan waktu. Itu untuk membuat kamu menapak di bumi. Biar gak melayang-layang." Tegasnya. Kemudian ia pun bercerita tentang seorang anak SD kelas empat yang setiap pergi ke sekolah pasti akan melewati pasar. Lantaran rumahnya memang di belakang pasar. Jug gejag gejug gejag gejug gejag gejug... Kereta kembali lewat.

Suatu pagi, ketika berangkat sekolah, anak itu mendapati hal yang berbeda. Ada seorang laki-laki berjubah, memakai udeng-udeng, tengah teriak-teriak di tengah pasar. Di dekat penjual kelapa, penjual beras, penjual baju anak, dan penjual perabot rumah tangga, anak itu mendengar laki-laki itu berteriak-teriak tentang surga dan neraka. Tapi tak ada satu pun orang yang memperhatikannya. Padahal pasar sedang ramai. Tapi para pedagang asik dengan dagangannya. Ia berpikir, mungkin suara laki-laki itu samar oleh lalu lalang dan teriakan para pedagang.

"Bajunya bu... Sayurnya bu... Jengkolnya bu... Petenya bu... Diobral... Diobral... Murah meriah saja... Sayang anak, sayang anak..."

Ditambah suara klakson kendaraan bersautan.

"Tin... tin tin.... tiiiin..."

"Woi... Minggir..." Teriak supir angkot

"Pok Depok Depok... Masih kosong..." Teriak yang lain.

"Terus... Kiri dikit... Ya terus... Terus... Priiiiit...," teriak tukang parkir yang diakhiri dengan suara peluit.

Orang-orang lalu lalang di depannya lewat di depannya begitu saja. Anak itu pun mengikuti mereka; melewati laki-laki itu begitu saja.

Pulang sekolah, ia kembali lewat jalan yang sama. Pun melewati pasar yang sama. Lagi-lagi ia dapati laki-laki berjubah putih itu masih di tempatnya. Berteriak di atas tumpukan karung sampah. Sepintas, anak itu mendengar yang diteriakkannya pun sama; surga dan neraka. Kali ini suaranya lebih jelas. Orang-orang tak sebanyak tadi pagi. Hanya klakson kendaraan yang sesekali berbunyi. Karena mendapati orang-orang masih sama seperti tadi pagi, ia pun lewat begitu saja.

Ia tiba di rumah lalu bercerita pada ibunya tentang sosok laki-laki yang dilihatnya di pasar.

"Mungkin orang gila, nak. Sudah, kamu ganti pakaian, makan, lalu istirahat, tidur," ucap ibunya sambil merapikan tas sekolah si anak.

Setelah asar, ibunya minta sang anak beli kelapa parut di pasar. Awalnya ia malas, sebab ingin pergi main bola di tanah pemakaman yang belum tertanam orang. Tapi, dengan iming-iming dua ribu rupiah sebagai upah, termasuk ancaman uang jajan sekolah akan dikurangi, akhirnya ia berangkat ke pasar. Tentu saja dengan muka kesal.

Ia kembali melihat laki-laki berjubah. Masih di tempat yang sama. Meneriakkan kata-kata yang sama. Tapi kali ini ia menangkap lebih banyak kata-katanya.

"Hai para penghuni surga... Hai para penghuni neraka..."

Selebihnya ia tak memperhatikan. Mesin parut kelapa lebih nyaring di telinganya. Ketika hendak pulang. Ia berhenti sejenak empat langkah dari tempat laki-laki berdiri itu. Matanya menatap laki-laki itu.

"Masa sih, dia orang gila," pikir anak itu. Bajunya putih dan bersih, kecuali bagian bawahnya yang kotor karena kena sampah yang ia injak.

"Mukanya juga gak seperti gembel dan orang gila yang biasa saya lihat," ucap anak itu dalam hati.

Tiba-tiba laki-laki berjubah itu menatap si anak. Mereka bertatapan. Anak itu melotot. Lalu lari. Begitu kencang. Ia sempat menengok ke belakang. Laki-laki itu masih menatapnya. Larinya makin kencang.

"Kamu kenapa?" Tanya ibunya "kok, ngos-ngosan gitu?"

"Orang gila yang di pasar tadi ngeliatin aku, bu."

"Kamu dikejar-kejar?"

"Enggak."

"Ya sudah, gak apa-apa. Sudah, sana kalau mau main. Ingat! Sebelum jam lima sudah mesti balik!"

Usai ngaji di Musala. Sambil jalan pulang, ia cerita ke teman-temannya tentang orang gila berjubah di pasar. Sayangnya, teman-temannya mengaku tak ada yang melihat. Meski sumpah-sumpah, anak itu tetap dibilang berbual oleh mereka.

Setibanya di rumah, bapaknya menyuruh si anak untuk beli jangkrik di pasar. Makanan si Semok, nama burung Lovebird piaraan bapaknya, habis. Karena takut, ia langsung menurut.

Ia kembali melihat laki-laki berjubah itu masih di tempat yang sama. Pun meneriakkan hal yang sama. Pasar yang tak ramai, membuatnya bisa mendengar jelas apa yang diterikkan oleh laki-laki itu.

"Hai... Penghuni surga... Hai penghuni neraka... Berbahagialah kalian. Surga dan neraka itu tak ada. Yang ada hanya tempat untuk orang baik dan pendosa. Namanya bukan surga dan neraka. Namanya syukur dan kufur."

Kalimat itu diteriakkan berulang-ulang. Setelah menenteng bungkusan kertas berisi beberapa ekor jangkrik yang hidup, ia jalan pulang. Ingin memastikan bahwa laki-laki yang teriak itu bukan orang gila. Ia pun berhenti di tiga langkah di dekatnya. Ia seperti menonton laki-laki itu.

"Namanya bukan surga atau neraka. Namanya..." Tiba-tiba laki-laki itu berhenti. Ia menatap si anak. Matanya melotot. Tak diduga, si anak hendak ditangkap. Beruntung, si anak lebih dulu lari. Tapi ternyata, laki-laki berjubah itu mengejar. Si anak berlari kencang. Ia menengok ke belakang. Laki-laki itu pun masih mengejarnya. Ia teriak minta tolong. Tapi tak ada satupun orang yang peduli dengannya.

Dalam keadaan takut dan panik, anak itu salah mengambil arah. Ia justeru masuk ke gang buntu. Ia tak bisa kemana-mana lagi. Ia balik badan. Laki-laki berjubah itu tujuh langkah darinya. Semakin dekat. Matanya makin melotot. Wajahnya menyeramkan. Anak itu teriak.

"Ibu....! Bapak....! Tolong..." Ia menangis. Laki-laki seperti ingin menerkamnya. Kedua tangannya seperti ingin mencekik leher si anak. Dua senti lagi leher anak itu bakalan tersentuh. Tiba-tiba.

"Tidak..." Teriak laki-laki itu. Lalu lari kencang meninggalkan si anak yang juga kaget. Tangisnya berhenti tiba-tiba. Matanya pun melotot. Badannya masih gemeteran. Beberapa detik kemudian, ia ikut lari. Pulang.

Sampai di rumah, bapak dan ibunya kaget. Mereka lihat anaknya pucat. Berkeringat. Dan badannya masih gemeteran. Lalu menangis.

"Kamu kenapa? Kenapa?" Tanya bapaknya.

"Aku dikejar orang gila. Hampir aku dicekek di gang buntu situ,"  jawabnya sambil nangis.

"Udah, ah. Anak laki gak boleh cengeng!" Tegas bapaknya.

"Ya udah, ganti baju yuk, terus istirahat. Tidur," ucap ibunya. Tak lama, anak itu pun tertidur.

"Hei, bapak. Kenapa kamu tadi malah lari?" Si anak bertanya pada laki-laki berjubah.

"Saya takut dengan orang-orang yang keluarganya suka menyantuni anak yatim dan suka bersalawat," jawab laki-laki itu di mimpi si anak.

Setelah cerita, saya dan pak Maman, diskusi soal puisi, cerpen, dan novel. Di sela diskusi, pak Maman kembali cerita tentang seorang perempuan yang ketika kecil mengalami hal yang tak terlupakan seumur hidupnya. Ketika kecil, daerah vital termasuk alatnya, pernah "diobok-obok" oleh seorang laki-laki yang dekat dengan orang tuanya.

Bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)