Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)
Begitu mudahnya positif menjadi negatif. Pun sebaliknya. Membuat segalanya samar. Abu-abu. Remang. Batasan keduanya begitu tipis. Amat tipis. Seperti tisu. Begitu lapuk. Mudah rusak.
Kedua bola mata sering tertipu. Dilihat positif, ternyata negatif. Dilihat negatif, eyalah kok, gak negatif-negatif amat. "Lahum a'yunun laa yubshiruuna biha". Kenapa memakai kata bashoro tidak ro-a atau nazhoro. Semuanya jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia artinya serupa, yaitu melihat. Saya pun iseng dan usil bertanya-tanya. Tentu saja dalam hati dan diam-diam mencari jawabnya.
Teringat almarhum kiayi Idris Djauhari; guru sekaligus orang tua ketika saya masih jadi santri ngeyel yang suka dihukum karena sering tak berjalan di koridor peraturan, pernah bilang: "kata-kata dalam Bahasa Arab (bahasa Al-Quran) mesti dilihat lagi dan lagi jika ingin diartikan ke bahasa Indonesia. Karena terkadang, kata yang digunakan dalam bahasa Arab memiliki banyak arti dan pengertian dalam bahasa Indonesia". Ada penekanan beliau untuk melihat. Mesti dilihat, ditelaah, diteliti, lagi dan lagi. Termasuk kata bashoro, ro-a dan nazhoro.
Keisengan dan keusilan saya mengantarkan pada perbedaan ketiga kata tersebut dalam konteks kebahasa-indonesiaan. Pertama, kata nadhoro adalah tingkatan pertama. Ketika seseorang melihat sesuatu hanya dengan biji matanya, maka kata inilah yang dipakai. Misalnya saya melihat gambar dua calon presiden. Hanya itu. Hanya sebatas itu.
Kemudian, masuklah di tahap kedua yaitu tidak hanya sekadar melihat tapi menggunakan akal pikiran atas apa yang dilihat. Ilustrasinya ketika melihat gambar kedua calon presiden, tidak hanya dua biji mata yang digunakan tapi ada peran akal yang membantu melihatnya. Ya, karena kedua bola mata sering lamur, maka hadirlah akal. Karena yang dilihat indera mata ini hanya sebatas yang kasat, yang "zohir", akallah yang melihat dibalik realitas tersebut.
Dengan akal, seseorang bisa melihat (setidaknya) lebih jauh dan lebih dalam. Misalnya, strategi kampanye kedua calon presiden, bagaimana track record keduanya, visi misi, orang-orang di sekitarnya, bagaimana Indonesia ke depan jika mereka jadi presiden, dan hal-hal lain. Disinilah kata ro-a digunakan. Kegiatan melihat dibarengi dengan kegiatan berpikir. Karenanya keberadaan referensi sangat vital dan krusial dalam tingkatan ini.
Kata ro-a juga sering didengar pada hadits yang digunakan untuk "nahi munkar": "man ro-a minkum munkaron...." Jika kata ro-a tidak sekadar melihat dengan mata tapi juga dengan akal, maka menentukan apakah sesuatu (munkar atau tidak) perlu pemahaman lebih jauh. Tidak hanya melihat kasat dan zahirnya. Misalnya, melihat informasi yang masuk ke media sosial tentang hal buruk yang dilakukan seseorang. Maka, akal harus digunakan. Tidak serta merta menerimanya sebagai suatu kebenaran. Tidak langsung disebar-luaskan. Karena itu, karena kebenarannya belum bisa dipastikan.
Atau misal yang lain. Seorang pencuri yang tertangkap. Jika menggunakan akal, maka tindakan fisik seperti main hakim sendiri dengan membredeli si pencuri dengan tonjokan-tonjokan petinju ke samsak, pentungan-pentungan ke kepala dan tubuh si pencuri seperti bodem ala tukang bangunan, hingga berkobarnya api ala pembakaran besi di badan si oencuri, yang menyebabkan melayang dan hilang nyawanya, tidak perlu dilakukan dan tidak akan terjadi. Sebab, perlu dilihat kembali, kenapa dia bisa mencuri misalnya. Atau melihatnya sebagai manusia yang meskipun bersalah mesti mendapat haknya di mata hukum. Karena nahi munkar jika diartikan sebagai mencegah kebenaran maka kegiatan nahi munkar seharusnya dilakukan sebelum kemunkaran terjadi. Pencegahan dilakukan sebelum sesuatu terjadi dan dilakukan (seseorang), bukan? Kalau sudah terjadi lalu dilakukan sesuatu atasnya, itu disebut penghukuman, bukan?
Makanya, kata nahi munkar diawali dengan amar ma'ruf. Ya, memberi pemahaman atas perbuatan-perbuatan baik terlebih dahulu. Agar perbuatan tidak baik (munkar) tidak terjadi dan tidak dilakukan oleh seseorang. Seperti sholat bagi muslim yang bisa mencegah dan menjauhinya dari perbuatan munkar. Titik tekannya pada penganjuran, memberi pemahaman akan hal-hal baik agar seseorang tidak melakukan yang tidak baik (munkar).
Nah, tingkat yang ketiga adalah melihat dengan kata bashoro. Pada tingkatan ini, melihat akan dilakukan lebih dalam lagi. Yaitu, menggunakan hati. Imam Al-Ghazali menyebutnya dengan dzauq. Padanan kata yang dekat dengan kata ini adalah intuisi. Dzauq ini yang akan menangkap khowathir (jamak dari khotiroh), pintasan-pintasan ide. Lintasan-lintasan pengertian atas sesuatu yang dilihat. Dan disinilah apa yang dimaksud Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Alghazali dengan cahaya Allah yang diberikan kepada seseorang. Cahaya yang menjadi kunci menuju pengetahuan yang lebih besar dan dalam. Dan lahirlah ungkapan beliau yang terkenal: "al-'ilmu nuurun". Untuk membuat mudah menerima cahaya Tuhan, diantaranya bisa diasah dan dilatih dengan dzikir.
Ketika seseorang sudah menggunakan kata bashoro untuk melihat, maka apa yang dianggap benar oleh biji mata dan akal pikiran sebelumnya, menjadi belum tentu kebenarannya. Di sinilah letak kenapa yang dilihat dan dipikir seseorang menjadi samar. Menjadi remang. Sederhananya, kebenaran menjadi relatif. Apa yang dilihat oleh mata dan akal menjadi belum pasti kebenarannya. Maka, wajarlah jika plus (+) bisa menjadi minus (-) dan minus (-) bisa jadi plus (+). Bahkan yang plus plus (++) bisa jadi minus (-) dan minus minus (--) belum tentu minus (-).
Lalu dimana letak kebenaran hakiki dari "melihat"? Jawabnya, itu terletak pada setiap orang. Pada diri masing-masing. Sebab cahaya Allah yang menjadi kunci untuk mengantarkan seseorang pada pengetahuan dan kebenaran bisa berbeda-beda kadarnya. Jika kebenaran itu ada pada dzauq di diri seseorang, yang disinari cahaya Tuhan dalam menangkap lintasan-lintasan pengetahuan, maka disinilah letak relatifnya kebenaran akan sesuatu.
Termasuk tulisan ini. Belum tentu kebenarannya. Karena masih di tingkat nazhoro dan ro-a yang masing sangat mungkin tertipu oleh mata dan akal penulisnya. Meskipun judulnya menggunakan plus plus (++). Ini karena keisengan dan keusilan penulis melihat kata-kata yang diikuti simbol "+" dan "++". Misalnya, kata " 17+", "pijat++", dan lain-lain.
Kata dasar pijat seperti kegiatan nazhoro. Biasa saja. Pijat biasa. Jika ditambah simbol "+", ada nilai dan kegiatan lebih. Di sini seperti kegiatan ro-a. Tidak sekadar pijat, tapi ada tambahannya, misalnya tambahan aroma terapi, mandi susu, baluran madu, dan lain-lain. Nah, jika simbol "+" nya ada dua, maka makna dan artinya menjadi belum tentu sebagai nilai dan makna yang lebih, justeru yang ada malah dipertanyakan kegiatan pijatnya. Meskipun ia menggunakan simbol positif. Kalau boleh dikait-kaitkan, begitu pula politik yang menggunakan agama untuk meraih kekuasan. Perlu dipertanyakan perihal kebenarannya.
Allahu A'lam bisshowab
Sawangan Baru
baarokallah ilmunya
BalasHapusAamiin... Terimakasih mbak.
Hapus