Mengenal diri agar Mengetahui Allah lewat Sastera dan Kesusasteraan (bag. 8)
Martabat Tujuh, Sembahyang, dan Dzikir dalam Tradisi Mistik Islam Melayu
Karya-karya Sufi Timur Tengah ikut mempengaruhi karya-karya sastra Melayu klasik. Misalnya, di dalam Hikayat Radja Moeda Sjah Mardan (1916) terdapat tapak kaki manusia yang disamakan dengan Kursi Allah, tumit dengan Arsy, tulang sumsum dengan sirath al-mustakin, perut dengan laut, tulang rusuk dengan Alam Taufik, dada dengan ka'bah, dan seterusnya.
Sedikit yang membedakan karya sastra para sufi Melayu dengan karya sastra Timur Tengah adalah seringnya Sufi Melayu memperlihatkan keterhubungan alam semesta dengan martabat tujuh (tujuh peringkat Wujud).
Tiga martabat pertama adalah: Ahadiyat (keesaan atau ketunggalan yang belum dinyatakan dan tidak dapat dikenali), wahdat (keesaan atau ketunggalan sintetik dari isti'dad-isti'dad atau potensi-potensi Wujud) dan wahidiyat (keesaan atau ketunggalan analitik dari isti'dad-isti'dad Wujud atau Wujud yang tunggal dan sekaligus beranekaragam). Ketiga martabat ini merupakan wujud dunia di dalam kesadaran Ilahi yang mendahului penciptaan itu sendiri.
Tiga martabat selanjutnya adalah alam arwah, alam misal, (alam ide-ide), dan alam ajsam (alam benda-benda). Inilah alam-alam ciptaan. Alam-alam aktual. Dan martabat terakhir adalah martabat paling rendah, tetapi sekaligus juga paling tinggi dari tiga alam aktual, yaitu alam insan (kamil). Insan kamil inilah yang justeru tampil sebagai intipati rohani, yang dengannya makhluk kembali kepada Khaliknya.
Syamsuddin As-Samatrani (abad ke-17) menggambarkan keselarasan antara martabat tujuh dengan peringkat pengenalan diri manusia (keadaan kesadarannya) sebagai berikut:
"Kepada satu kata lagi, apabila ingat kita akan diri (af'al), martabatnya (ialah) alam arwah, alam misal, alam ajsam, (alam) insan. Apabila ingat kita akan diri kita asma, makamat asma: martabat wahidiyat. Apabila ingat kita akan sifat, makamnya (sifat): martabat wahdat; apabila tiadalah ingat diri kita, sifat, asma, dan af'al", martabat (nya ialah) ahadiyat.
Sufi Melayu pun memandang makrokosmos dan mikrokosmos sebagai teks. Konsep penciptaan sebagai konsep penulisan di "lauh mahfuz" pun tak asing bagi Sufi Melayu. (Al-Attas, S.M.N , Islam dalam sejarah dan Kebudayaan Melayu. Kuala lumpur, 1972) Hamzah Fansuri, Abdurrauf dari Singkel yang mengarang "daka'ik al-Huruf", serta pengarang Syair "Bahr An-Nisa" (laut perempuan) aralah diantara penyair Sufi Melayu yang menyatakan tentang hal ini.
"Kita ialah Huruf Mulia yang tidak meninggalkan tempat
Kediaman kita di Puncak Gunung,
Di sana aku ialah kau, dan kita semua ialah kau, dan kau adalah dia (Al-Attas S.M.N, concluding postcript to the origin of the malay Sha'ir, Kuala Lumpur, 1971)
Di dalam "kitab al-harakat" atau kitab gerakan, Syamsuddin As-Samatrani menggambarkan alam misal sebagai teks yang terdiri dari huruf-huruf;
"Alam misal itulah sudah tersalin
Di dalam maklumat yang lagi batin
Khattnya besar hurufnya sakin,
Itulah rupa sekalian ka'in (Syair Martabat tujuh, MS. Jakarta KBG.)
Dalam Syair Perahu tertulis;
Insan itulah terlalu kamilun,
Ialah pohon sekalian raji'un
Sungguh sepohon tiada lenyap
Kedua matanya adalah mushap (mushaf).
Dalam tradisi Sufi, dikenal istilah suluk.
Suluk adalah perjalanan yang ditempuh para sufi hingga mencapai tingkat tertinggi. Nah, tradisi mistik Islam Melayu pun menyatakan suluk terdiri dari empat tahap, yaitu: syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Setelah melewati tahap terakhir, "diri salik" yang telah disucikan dan diubah, sepenuhnya menjadi kehilangan kesadaran diri, yaitu hapus (fana).
Syamsuddin As-Samatrani menulis empat tahap suluk sebagai berikut: syariat itu kulit, tarikat itu isi, hakikat itu urat, dan makrifat itu tulang.
Sementara itu Hamzah Fansuri menulis sebagai berikut;
"Alam nasut jadikan syariatmu
Ibadah malakut ambil akan tarikatmu
Asyik jabarut pertemuan hakikatmu
Fana di dalam lahut akan ma'rifatmu".
Sufi Melayu menyamakan; nasut dengan af'al, malakut dengan asma, jabarut dengan sifat, dan lahut dengan Dzat Allah. Sehingga suluk yang terdiri dari empat tahap itu dihubungkan dengan martabat tujuh sebagai sistem yang juga punya dimensi makrokosmik dan mikrokosmik.
Hal ini bisa ditemui dalam Hikajat Sjah Mardan. Dalam hikayat ini, ajaran tentang suluk disampaikan melalui tokoh utama, seorang budiman, tokoh tasawuf bernama Lukman Al-Hakim.
Dalam cerita ini, Lukman Al-Hakim mengaitkan empat tahap perjalanan sufi dengan empat unsur: air, angin (udara), tanah, dan api yang membentuk tubuh manusia dan jagat raya.
Di hikayat lain, Hikajat Radja Moeda Sjah Merdan (1916) dikemukakan, huruf alif tercantum di api, lam awal di angin, lam akhir di air, dan ha di tanah. Dan ini membentuk kata Allah yang menurut hikayat itu sama dengan basmalah; ayat pertama Al-Quran: Bismillahirrohmanirrohim.
Selain itu, suluk, sebagai halnya manusia, pun dianggap mempunyai empat nafs (jiwa), atau lebih tepatnya satu nafs yang merangkum empat aspek yang dinyatakan melalui pembersihan dan transformasi. Aspek-aspek itu adalah: nafs al-ammaroh (jiwa yang marah), nafs allawwamah (jiwa yang taubat), nafs as-safiyah (jiwa yang murni), dan nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenteram).
Dalam Hikajat Radja Moeda Sjah Merdan, Lukman Al-Hakim, suluk berada di dalam tubuh manusia. Terdapat istana-istana, yaitu: lidah (bagian tubuh), hati jasmani (penggerak tubuh dan penerima pengaruh-pengaruh yang diberikan pancaindera), budi (akal) dan rahasia (sirr/ kalbu rohani).
Dengan demikian, suluk bukan hanya saja bersifat antropomorfik, tetapi semacam acuan, menampung segenap struktur psikosomatik manusia. Suluk menentukan dan membentuk segala aktifitas manusia: percakapan, perbuatan, keadaan jiwa, dan pengenalan terhadap Tuhan (Hikajat Radja Moeda Syah Merdan)
Karenanya, ada dua alat terpenting yang diperlukan dalam perjalanan sufi untuk bergerak maju, yaitu sembahyang dan dzikir, juga memperoleh sifat-sifat yang sama.
Sembahyang digambarkan sebagai sejenis makhluk antropoid-antropomorfik. Dalam Hikajat Syah Mardan: sembahyang adalah takbiratul ihrom, kepalanya ialah niat, nyawanya iaah al-quran (alfatihah), tangannya ialah tahiyat, dan kakinya ialah salam.
"Pohon" lima sembahyang setiap hari ialah alfatihah. Seluruh sembahyang diciptakan dari huruf-huruf kata pertama fatihah: zohor dari alif, asar dari lam, magrib dari ha, isya dari mim, dan subuh dari dal. Seluruh sembahyang tersebut membentuk satu teks tertentu, yaitu kata alhamdu. Dan dengan mendirikan sembahyang lima kali sehari satu persatu manusia akan membaca kata itu.
Kelima sembahyang itu pun diselaraskan baik dengan makrokosmos maupun mikrokosmos. Zohor mengandung empat rakaat, karena "taayun awwal" (permulaan penciptaan makrokosmos) pun terdiri dari empat unsur batiniah: Wujud, Ilmu, Nur, dan Syuhud (indera penglihatan). Magrib mengandung tiga rakaat, oleh karena evolusi wujud dari keesaan menuju keanekaragaman di dalam kesadaran ilahi pun terdiri dari tiga tingkat: ahadiyat, wahdat, dan wahidiyat.
Selanjutnya asar. Mengandung empat rakaat, oleh karena manusia (mikrokosmos) terbentuk dari empat unsur jasmaniah pula, yaitu; api sepadan dengan urat, angin, (udara) dengan nafas, air dengan tulang, dan tanah dengan tubuh, yang kesemuanya membentuk suatu teks, yaitu kata Allah.
Isya juga mengandung empat rakaat oleh karena mudigah manusia berasal dari sperma yang juga terdiri dari empat bagian; wadi, madi, mani (komponen-komponen sperma), dan manikam (mudigah yang terwujud darinya).
Setiap sembahyang meliputi segenap struktur psikosomatik manusia yaitu empat sikap badan selama sembahyang. Masing-masing disesuaikan dengan empat unsur tubuh: berdiri dengan api, rukuk dengan angin, sujud dengab air, dan duduk (berlutut) dengan tanah.
Selain itu, berdiri juga melambangkan sembahyang dengan roh, rukuk sembahyang dengan nafs, sujud sembahyang dengan darah, dan duduk sembahyang dengab tubuh (untuk sembahyang lihat Hikajat radja Moeda Sjah Merdan. Dengan tambahan Hikajat Syah Mardan).
Bisa dikatakan, sembahyang diselaraskan dengan makrokosmos dan mikrokosmos secara positif. Sementara dzikir yang terdiri dari nafi (laa ilaaha: tiada Tuhan) dan isbat (illa Llah: melainkan Allah) disepadankan dengan makrokosmos dan mikrokosmos secara negatif.
Di satu sisi, dzikir sufi menafikan kewujudan jagat raya yaitu makrokosmos (bumi ketujuh serta sekalian isinya, langit ketujuh serta sekalian isinya, arsy, Kursi, surga, neraka, dan lauh mahfuz, dan Kalam, dan tulang ajab al-dhanb, dan anasir empat perkara. Di pihak lain, dzikir menafikan kewujudan "dirinya" sendiri yaitu mikrokosmos (ma'na nafi dengan kau nafikan anniat wujudmu yang wahmi itu beserta dengan aniiat ta'ayunmu yang majazi wahmi itu).
Dzikir dalam tradisi mistik Islam, para sufi, paada tahap awalnya eperti sembahyang, juga berupa teks: "menuliskan ism Allah itu dalam hati kepada (dengan) kalam pikir, dawatnya mas atau perak, dan cahayanya diniatkan seperti cahaya matahari atau bulan dibuat kiblat kepada ruh, dan tanbih kepada makrifat".
Ini seperti proses pembacaan dzikir-teks. "Membacanya" hingga huruf terakhir, hingga hilang dzikir itu sama sekali. Dengan "pembacaan sampai akhir" itu seorang sufi maju dalam perjalanan rohaninya, sehingga kesadaran dirinya sepenuhnya lenyap, dan dia pun bersatu dengan Yang Mahatinggi.
Untuk berhasil dalam penyempurnaan ini dzikir-teks perlu menguasai "segenap diri" sufi: "maka seyogyanya, atas yang mengerjakan pekerjaan zikir itu, dengan terbitnya pada citanya kalimah "laa ilaaha" dari bawah pusatnya, dan dipalukannya dengan citanya kalimah "illa Llah" ke atas dadanya (tumpuan kehidupan psikis dan rohani), hingga berhubunglah bekas dzikir itu dengan segala anggotanya, dan tetaplah ia dalamnya, dan berkekallah ia dengan dia sehingga terwujudlah Wujud Allah Ta'ala. Insya Allah Ta'ala".
Inilah konteks budaya dan agama yang mendasari kesusastraan Melayu abad ke-17.
Pondok Labu.
Bersambung....
Komentar
Posting Komentar