Azan dan dakwah keindahan

Pernahkah anda mengumandangkan azan? Kalau belum pernah, saya mau coba menggambarkan bagaimana seseorang mengumandangkan azan. Saya mengibaratkan seseorang yang mau menikah, seperti Kulub pada Jumat kemarin. Ya, Kulub sudah halal menjadi teman hidup Kia. Dan tentu saja halal melakukan beberapa hal yang sebelumnya diharamkan.

Malam menjelang nikah, Kulub tak tidur. Lebih tepatnya tidak bisa tidur. Ia mengecek persiapan dan perlengkapan yang akan dibawa esok pagi. Padahal sudah beberapa kali ia lakukan. Dan semuanya sudah lengkap. Pakaian, mahar, dan bebawaan lain. Tapi, setiap beberapa menit ia mengecek lagi dan lagi. Seperti ada kekhawatiran dalam dirinya. Khawatir ada yang terlupa.

Begitu juga dengan seseorang yang akan mengumandangkan azan. Pantas atau tidak suara, panjang-pendeknya nafas yang dipunya, hingga nada dan alunan yang akan digunakan, adalah di antara yang menjadi pertimbangan. Makanya, tak semua orang percaya diri untuk mengumandangkan azan.

Di pagi hari menjelang berangkat, Kulub yang tak biasa dandan, mesti berlama-lama di depan cermin. Ia merelakan wajahnya "diobok-obok" tukang tata rias. Lebih dari dua pupuh delapan menit, ia mesti duduk di depan cermin. Kulub memperhatikan ibu-ibu yang meriasnya. Sesekali tangannya mengusap-usap bagian tertentu di wajah Kulub. Lalu jeda sejenak sambil melihat wajah Kulub. Kemudian kembali merias wajah Kulub. "Biar indah dan enak dilihatnya, bang," tegas perias yang langsung dibalas Kulub, "waduh, berarti muka saya kagak indah dan kagak enak dilihat dong kalau gak dirias," lalu tertawa. "Ini seninya, bang," balas ibu-ibu perias sambil terus memolas-moles muka Kulub dengan benda yang sangat asing baginya.

Ya, si tukang tata rias seakan ingin mengatakan bahwa estetika mesti ada. Estetika yang membuat muka lebih indah. Begitu juga dengan azan. Estetika mesti dipergunakan. Gak kebayang jika yang mengumandangkan azan, adalah laki-laki berumur delapan puluh lebih. Dengan suara khas kakek-kakek. Ditambah batuk-batuk yang menyelingi kumandang azan. Maaf, bukan dan tak ada maksud menyudutkan seseorang. Saya hanya membayangkan kumandang azan terdengar merdu dan enak di telinga. Hingga membuat orang-orang yang mendengar memejamkan mata. Lalu hanyut dalam nada dan alunan suara azan.

Terlebih, yang dikumandangkan adalah panggilan Allah. Panggilan cinta-Nya. Panggilan yang semestinya membuat siapapun yang mendengar hanyut terbawa oleh keindahan cinta. Membuat hati para pendengar bergetar hingga merinding dirinya. Membuat mereka yang mendengar ingin segera datang menemui yang dicinta. Lalu menghadirkan rindu yang menggebu-gebu, hingga selalu ingin bertemu. Bukankah begitu kelakukan mereka yang tengah merasakan cinta?

Soal cinta adalah soal hati. Dan salah satu yang bisa menggugah dan menggairahkan hati adalah estetika. Estetika bisa lahir lewat sentuhan seni. Dan di sinilah letak pentingnya seni dalam segala hal. Termasuk azan. Panggilan cinta Allah yang berwujud suara ini, akan lebih indah, lebih merdu, lebih syahdu, lebih menggugah, jika mendapat sentuhan seni.

Inilah dakwah. Dakwah yang menggunakan estetika sebagai senjata. Tak ada yang terluka. Tak ada yang tersakiti. Malah, sepertinya akan banyak yang menerima. Sebab keindahanlah yang ditawarkan. Dan Islam memang agama yang indah. Karenanya, mereka yang suka khutbah dan ceramah dengan marah-marah, caci maki, mengkafir-kafirkan sana sini, menyalah-nyalahkan sana sini, menjelek-jelekan orang lain, menyatakan orang lain bakalan masuk neraka, dan kata-kata lain yang tak indah, hakikatnya ia tengah merusak islam. Ia tengah menghancurkan Islam. Meskipun mengatasnamakan dakwah, meskipun mengatasnamakan ustadz, meskipun mengatasnamakan kiayi, meskipun mengatasnamakan habib. Bahkan meskipun ia mengatasnamakan Allah.

Ya, azan sebagai pengingat bahwa Islam adalah agama yang membawa keindahan, kedamaian, ketenangan, keselamatan, dan kesyahduan. Dan Allah selalu mengingatkan itu, lima kali setiap hari. Sayangnya, kita sering "ngeyel" dan sering menggunakan alasan "mahallul Khotho wannisyan".

Pondok Labu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)