Belajar dari Budaya Betawi: Humor dan Ritus. Humor itu (bisa jadi) ibadah. (bag. 2)
Kia meledek Kulub. "Kak, kakak bilang, kita mesti belajar dari budaya Betawi dalam mengekspresikan beban dan emosi? Berarti Kakak dan orang Betawi banyak beban ya?"
Kesukuan Kulub bangkit. Beruntung teman bicaranya calon istrinya, kalau bukan, urusan bakalan panjang. Maksudnya, diskusi mereka akan lebih lama. "Eit, jangan salah kaprah dulu, sayang. Orang Betawi itu sebenernya simpel. Sering denger kan orang Betawi bilang, "Lu mo ngapain terserah Lu, asal jangan utak-atik gue". Terus ada lagi, "Lu jual, gue borong", balas Kulub.
" Tapi Kia tertarik loh, dengan kebudayaan Betawi."
"Ya, iyalah. Apanan Calon suami Kia, orang Betawi," seloroh Kulub. "Eh, Tapi, ngomong soal budaya Betawi yang mengekspresikan emosi dan beban hidup lewat humor, itu terkait sejarah tempo dulu. Waktu kita belum ada. Malah belum niat dibuat ama orang tua kita," tegas Kulub. Kia senyum. "Malahan, Ungkapan emosi yang diekspresikan dalam bentuk cerita, dan pelampiasannya terwujud menjadi humor, justeru membuat "jiwa" budaya yang seimbang bisa didapet. Jiwanya, Ruhnya. Substansinya. Ya karena itu, karena humor yang dilakukan secara riang dapat dinikmati semua orang. Ibarat kata, kesusahan, kegelisahan, penderitaan alias beban hidup aja bisa dinikmati, lewat humor, apalagi yang enak-enak, kayak kita entar di kamar setelah kawin. Eh, nikah," lanjut Kulub.
"Apaan sih Kak. Oh, Kia tahu. Kia pernah baca, sistem budaya Betawi," timpal Kia yang kemudian bercerita. Konon, kebudayaan Betawi terbentuk dari pengalaman masa lampau masyarakat yang tertekan. Yaitu karena adanya sistem tanah partikulir pada permulaan abad XX dalam masa pemerintah Hindia-Belanda.
Kulub tak ketinggalan. Ia bercerita tentang tuan tanah. Menurut Delden, dalam bukunya De Particuliere Landerijen op Java, yang diterbitkan Proefscrift Leuden, Leiden: S.C. Van Doesburgh, yang dikutip Ninuk Kleden-Probonegoro, Pada masa itu, daerah di mana orang betawi tinggal, dikuasai oleh tuan-tuan tanah yang kebanyakan orang Eropa dan Tionghoa dengan segala hak istimewanya.
Ada 304 tuan tanah yang menguasai daerah Jakarta dan sekitarnya. Malah, menurut data yang diberikan Delden dan Sartono Kartodirdjo pada tahun 1915 seluruh pulau jawa dikuasai oleh 582 orang tuan tanah partikelir.
Selain itu, orang betawi diharuskan membayar pajak selama 5-10 tahun. Ditambah, harus membayar cuke yaitu 1/5 dari hasil panen. Belum lagi mesti bekerja untuk kepentingan tuan tanah selama 52 hari dalam setahun, dan bekerja untuk kepentingan pemerintah secara resmi 66 hari selama setahun.
Jika tidak membayar sewa dan pajak, maka tanah yang mereka kerjakan akan dilelang, rumah dan harta benda lain disita tuan tanah dengan bantuan pemerintah. "Gimana gak terseksanya orang Betawi Ketika itu. Kalau kata Bung Rhoma; terlaluh," jelas Kulub.
"Oh, pantes Pitung dan tokoh-tokoh pejuang Betawi hadir dan mereka disebut Robinhoodnya Betawi. Mungkin karena itu ya, Kak. Karena mereka mencuri dari tuan-tuan tanah partikelir yang jahat dan kejam itu ya Kak."
"Bisa jadi. Nah, keadaan tertekan, penderitaan yang dirasakan itu, dilampiaskan terus diekspresikan lewat kata-kata yang asal jeplak. Dan asal jeplak itu terdengar lucu. Malah menjadi karakter orang Betawi yang asal gobleg. Ceplas ceplos," terang Kulub.
Kia pun seperti politisi. Melobi dengan sedikit rayuan. Ia mengatakan kemampuan berekspresi seperti itu justeru menjadi salah satu kecerdasan orang Betawi. "Tujuannya ingin mengkritik. ngata-ngatain. Caci maki. Tapi cara yang digunakan dengan kata-kata lucu. Dengan humor."
Kulub pun teringat Gusdur. Kritik-kritik Gus dur lewat humor. Mengkritik tapi tidak menyakitkan. DPR dibilang anak TK lah, umat Islam paling jauh dengan Tuhan karena manggil-Nya aja pake toa lah, dibilang kafir nyantai aja karena tinggal syahadat lagi lah, dan humor-humor Gus dur lainnya.
"Iya kak, Kia juga merasakan setelah kita bertemu, hidup Kia makin tenang. Mungkin karena kita sering bercanda, ketawa. Dan selalu aja ada bahan tawa."
"Ah, masa sih. Kakak tuh orangnya serius loh."
"Loh, gimana sih. Kata kakak, band Serius dah bubar. Ama sirius yang hitam kan dah mati di cerita Harry Potter," seloroh Kia.
"Engkrik ah," timpal Kulub. "Eh, tapi, humor yang melahirkan tawa itu memang penting buat kita. Apanan Fuad Hassan dalam makalah seminar LHI 1980 yang berjudul Humor dan Kepribadian, dan dikutip Ninuk Kleden-Probonegoro, mengatakan tawa itu diperlukan oleh manusia guna keseimbangan jiwanya, yaitu melampiaskan perasaan tertentu melalui cara riang dan dapat dinikmati sehingga dapat mengakibatkan kendurnya ketegangan jiwa."
"Oiya, malah ada pengobatan yang menggunakan tawa sebagai terapinya."
"Asal berjeda aja tuh tawa. Kalau kagak, berabe juga. Disamping rahang mulut bisa keram. Stress ama orang gila bisa terstempel di jidat."
"Kak, jangan-jangan orang yang gampang marah-marah. Yang gampang meneriaki orang lain sesat dan kafir. Mereka itu kurang tawa."
"Bisa jadi. Selain kurang tawa. Kurang pengetahuan juga. Jadi, udah tegang dan kaku, ditambah pengetahuan yang nol, hasilnya ya gitu. Dikit-dikit bilang kafir lah, sesat lah, dajjal lah, thogut lah, dan lah lah yang lain."
"Oiya ya. Kan humor memang terkait pengetahuan dan pembelajaran."
"Yup, Tawa kan biasanya hanya dapat terjadi dalam lingkungan kebudayaan masyarakat dimana humor alias bahan tawa itu berlaku. Hal itu disebabkan karena humor mempunyai kode-kode yang terikat dalam aturan-aturan tertentu. Dan untuk dapat mengerti humor, kode-kodenya harus dipahami melalui suatu proses belajar."
"Berarti para pelawak itu cerdas ya, Kak."
"Belum tentu. Kan banyak pelawak yang justeru mendapat diam para penontonnya. Penonton tidak tertawa."
"Makanya, ada inter-relasi alias hubungan antara rite dengan sistem pengetahuan dan pengalaman masyarakat di mana rite tersebut berlaku."
"Ya, kira-kira begitu. Makanya, kalau humor dilihat dari sudut ritus. Maka posisi tawa dalam hidup seseorang bisa jadi sama pentingnya dengan ritual-ritual ibadah sebuah agama. Sederhananya: humor itu (bisa jadi) ibadah. Tawa itu untuk relaksasi jiwa." terang Kulub
Pondok Labu.
Komentar
Posting Komentar