Azan panggilan pengantar manusia pada dua dunia
"Alastu birobbikum. Qooluu balaa syahidnaa".
Bagi bayi yang orang tuanya beridentitas smagama islam, akan diazankan setelah ia dilahirkan. Tentu saja azan yang dikumandangkan pada telinga kanan dan iqomah pada telinga kiri dengan suara lembut penuh kebahagiaan dan kasih sayang. Gak kebayang jika si ayah azan dengan suara super lantang. Kemudian, suatu saat entah di umur dan tahun ke berapa, si bayi tersebut pun akan diazankan kembali, entah oleh siapa, ketika ia dikuburkan.
Azan menjadi suara pengantar hidup bagi manusia di dua dunia. Dunia setelah dilahirkan dan dunia setelah dikuburkan. Bukan sekadar suara tapi azan adalah suara kesaksian. Suara syahadat, suara pengakuan, suara kepatuhan, dan suara ketundukan hamba atas kebenaran mutlak yang hanya dimiliki Allah dan bersumber dari-Nya. Kesaksian ini terjadi di alam gaib. Alam yang tak nyata. Jika begitu, maka alam dan dunia yang tak nyata pun bisa menjadi nyata, karena ada kesaksian (syahadat) tersebut.
Nah, karena Allah seperti ingin membuktikan kesaksian hamba-hamba-Nya, maka dilahirkanlah manusia ke dunia. Dunia yang nyata bagi pandangan manusia. Dalam kehidupan yang nyata ini, manusia membawa bekal dalam dunia tak nyatanya tentang kebenaran. Seperti kata Cak Nun, kebenaran itu seperti bahan-bahan dan bumbu-bumbu masakan yang hasilnya menjadi makanan yang disajikan, apakah di meja makan di tiap rumah, warteg, hingga restoran.
Bahan-bahan atau bumbu-bumbu itulah kebenaran yang tempatnya di dapur. Di dalam diri tiap orang. Semuanya diolah menjadi ucapan, perbuatan, sikap, pikiran, dan rasa yang baik di meja makan. Apa yang disajikan adalah kebaikan alias makanan jadi, kepada orang-orang. Bukan (kebenaran) bumbu-bumbunya. Maka, ketika lahir ke dunia, tugas manusia adalah menyajikan makanan bukan bumbu-bumbunya. Karena bumbu (kebenaran) itu urusan dapur masing-masing.
Saya membayangkan, jika yang ditampilkan, ditunjukkan dan disajikan manusia adalah bumbu-bumbunya, yang terjadi adalah kelaparan. Lantaran tak ada satupun makanan yang siap saji. Karena tiap orang merasa bumbunya lah yang paling tepat untuk makanan yang ingin dibuat. Toh, kalaupun jadi, saya membayangkan makanan yang amburadul dengan rasa yang campur aduk karena terlalu banyak bumbu yang sebenarnya tidak diperlukan.
Dunia setelah manusia keluar dari rahim ibu adalah meja makan, warung makan, warteg, dan restoran. Tentu saja yang mestinya disajikan adalah makanan yang bisa dan enak untuk dimakan orang-orang. Kalau untuk konsumsi sendiri sih tidak soal kalau bumbunya berlebihan atau kurang. Ini urusannya jika makanan itu dikonsumsi juga oleh orang lain. Selain enak bagi lidah kita, mesti enak juga buat orang lain.
Tugas manusia di dunia (setelah bersyahadat di alam gaib) tak lepas dari dua hal terus meracik, meramu, dan mengolah bumbu-bumbu di dapur masing-masing, hingga menjadi makanan lalu menyajikannya kepada orang lain.
Sekali lagi, Kalau makanannya untuk konsumsi sendiri, tak soal bagaimana bentuk dan rasanya. Tapi jika ingin disajikan ke orang lain, selain mesti dirasakan terlebih dahulu, makanan itu pun mesti disajikan dalam bentuk dan rasa yang terbaik. Dan yang perlu diingat, jangan memaksakan orang lain untuk makan makanan yang kita sajikan. Ibarat pengelola rumah makan, tugas kita adalah menyediakan aneka makanan yang terbaik.
Terus menyajikan makanan yang baik dan terbaik bagi orang lain tanpa memaksanya untuk makan adalah pengejawantahan dari syahadat.
Dan ini terus menerus disampaikan dan didengungkan Allah, di antaranya lewat azan, hingga akhir nafas kita di dunia. Karenanya, ketika kita dikuburkan, azan pun seperti menjadi saksi bahwa kita telah berusaha menyajikan makanan-makanan yang terbaik buat orang lain. Dan orang-orang pun bersaksi bahwa kita adalah orang baik. "Min ahli al-khoir".
Apapun profesi kita, presidenkah, menterikah, siswakah, mahasiswakah, gurukah, dosenkah, pedagangkah, penyairkah, penuliskah, wartawankah, tukang bangunankah, supir angkotkah, ojekkah, dan profesi-profesi lain, mesti menyajikan makanan yang terbaik bagi orang lain.
Inilah "inna lillahi wa inna ilaihi rooji'uun". Kita bersaksi bahwa segalanya, semuanya milik Allah. Berasal dari-Nya. Dan akan kembali pada-Nya.
Allahu a'lam bisshowab
Pondok Labu
Komentar
Posting Komentar