Azan adalah panggilan kemanusiaan

"Yaa ayyatuhaa an-nafsul muthmainnah, irji'i ilaa robbiki roodhiyatan mardhiyyah, fadkhuli fi 'ibadii wadkhulii jannati".

Siklus kehidupan manusia selalu akan kembali ke titik asal. Berasal dari tanah, kembali ke tanah. Seperti seseorang (laki-laki atau perempuan) yang berpacaran dengan banyak orang, tentu saja bergantian, yang suatu saat akan kembali ke jodohnya. Ketika tiba saatnya, manusia akan kembali, pulang kepada Penciptanya.

Ketika seseorang kembali, Allah memanggilnya dengan jiwa sekaligus diri yang tenang dan damai. Jika demikian, maka "wa maa kholaqtu al-jinna wal-insa liya'budun" bukan sekadar beribadah ritual formalistik. "Liya'budun" adalah proses menjadikan diri dan jiwa untuk terus tenang dan damai, "muthmainnah". Lalu bagaimana membentuk dan menjadikan diri agar tenang dan damai?

"Rodhiyatan mardhiyyatan" adalah jawabnya. Kita ridho dengan apapun yang terjadi dan ada dalam kehidupan. Terus menerus ridho. Keridhoan kita atas apapun itulah yang akhirnya membuat Allah ridho dengan kita. Sayangnya, yang sering kita dahulukan adalah meminta ridhonya. "Mardhiyyatan-nya" yang lebih didahulukan. Padahal rumusnya "rodhiatan" terlebih dahulu, baru kemudian "mardhiyyatan". Seperti Kulub yang ridho dengan Kia, bagaimanapun keadaannya. Kulub ridho dengan kelebihan dan kekurangan Kia menjadi istrinya.

Keridhoan terhadap apapun inilah yang akan membuat diri dan jiwa kita tenang dan damai. Dan akhirnya masuk menjadi bagian hamba "'ibad" Allah. Disinilah keterkaitan antara "liya'budun" dengan "fadkhulii fi 'ibadii". Bukan sekadar ritual ibadah formal tapi menjadi hamba yang ridho dengan segala, hingga Allah pun ridho. Tak perlu meminta ridho, tapi kitalah yang mesti ridho, dan ini otomatis mendatangkan keridhoan Allah.

Ridho dan kerdihoan sepertinya masih bersifat abstrak. Tak tampak. Lebih bersifat pribadi. Lebih menjurus kepada dimensi hati. Dimensi rohani. Disinilah kemudian akal berperan. Menangkap, mengolah, dan menganalisa, lalu hasilnya "dilaporkan" pada tangan, mata, mulut, dan seluruh badaniyah, jasadiyah manusia. Ketika hati menjadi terang, kemudian akal menjadi tenang, maka yang dihasilkan adalah perilaku yang senang dan menyenangkan.

Hati yang terang (oleh cahaya Allah) akan menyuguhkan kebenaran pada akal. Akal yang tenang menyajikan fisik dan badan manusia tentang kebaikan. Hingga lahirlah perilaku, sikap, dan ucapan yang senang dan menyenangkan dalam kehidupan. Kebenaran, kebaikan, dan kesenangan (kegembiraan) yang semuanya bersumber dari selarasnya hati, akal, dan perilaku manusia yang ridho dan kemudian diridhoi Allah.

Tiga dimensi (kebenaran, kebaikan, dan keindahan) adalah esensi bagaimana kita berkehidupan. Dan Allah menyediakan alat-alat yang menunjukkan, mengarahkan, serta memudahkan kita untuk mewujudkannya. Diantaranya Al-Quran dan hadits. Bahkan kita pun diberikan contoh dan suri tauladan berupa Nabi Muhammad. Semua alat dan contoh itu tidak akan berfungsi jika akal kita tidak gunakan.

Akal adalah keistimewaan. Satu-satunya yang Allah berikan pada manusia. Hingga "afala ta'qilun" berkali-kali disebut dalam alat bernama Al-Quran. Dan di alat lain dinyatakan "ad-dinu huwa al-'aqlu. Laa diina liman laa 'aqla lahu". Bisa dikatakan, orang yang tidak menggunakan akalnya adalah orang yang tidak beragama.

Akal ini pula yang bisa menentukan mana yang benar, mana yang baik, dan mana yang indah bagi seseorang. Dan karena sifatnya yang subjektif, maka tiga dimensi itu (baik, benar, dan indah) tak bisa sama di antara kita. Saya tak bisa memaksa baik, benar, dan indah menurut saya kepada engkau, kalian, dan mereka. Pun sebaliknya. Bahkan tidak bisa untuk disama-samakan dan diseragamkan. Karenanya perbedaan itu alamiah, fitrah, dan sunnatullah. Jadi, jika ada yang tak menerima perbedaan, bisa dikatakan tengah mengingkari sunnatullah. Menolak kehadiran dan cinta Allah. Padahal, betapa cintanya Allah pada kita, hingga Ia mewujudkan semua itu dalam salah satu sapaan: azan.

Panggilan azan yang berkumandang pada hakikatnya adalah alunan suara yang menyasar tiap individu untuk selalu menyadari posisinya sebagai hamba dan sebagai manusia. Keduanya familiar disebut dengan "hablumminallah" dan "hablumminannas".

Tiba-tiba keisengan saya muncul. Kenapa kata yang digunakan adalah "min" yang sederhananya berarti dari. Apakah ini yang menyebabkan sikap pasif? Kenapa tidak menggunakan "ila" yang membuatnya menjadi aktif? Atau ada makna lain? Apakah "hablun" yang dimaksud mengartikan bahwa ikatan hubungan yang ada bersumber dari Allah (hablumminallah) dan manusia lain (hablumminannas)? Apakah "min" yang dimaksud pada "hablumminallah" adalah bukti bahwa segala sesuatu yang ada memang bersumber dari Allah? Lalu kita menerimanya dengan hati dan akal yang kemudian mewujudkannya dalam kehidupan? Sementara "min" pada "hablumminannas" lebih kepada pandangan bahwa kita adalah makhluk yang sama, sebagai manusia? Karenanya melihat manusia lain sebagai manusia?

Apakah ini juga terkait azan, panggilan masuk salat? Ketika manusia melepas semua atribut dan profesi tempelannya saja? Atribut presidenkah, menterikah, jenderalkah, kiayikah, ulamakah, pedagangkah, penyairkah, tukang parkirkah, polisikah, dan nama-nama lain yang pasti akan dilepas ketika salat, menyisakan satu nama: manusia.

Allahu a'lam bisshowab

Pondok Labu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)