Koreng dan topeng

Salah satu hal terlucu yang Kulub alami adalah menjadi lulusan alias alumnus pesantren. Lulus pesantren membuatnya mendapat gelar yang paling tidak inginkan dalam hidupnya: ustadz.

Ketika mendengar seseorang memanggilnya dengan ustadz, sungguh dia ingin tertawa. Menertawakan diri sendiri dan mengakui bahwa agama memang sakti untuk menutupi borok dan koreng pada dirinya.

Ketika nyantri. Koreng, borok, gudig, "jarban", dan bisul, pernah nempel dan betah di badan Kulub. Dan anehnya, itu dianggap stempel kesantrian. Ya, ketika koreng, borok, gudig, "jarban" melekat pada seorang santri, maka di situlah ia sah sebagai santri. Dan sepertinya, sebersih apapun seorang santri, bisa dipastikan ia pernah mengalami penyakit gatal di kulit.

Teman Kulub pernah berseloroh, koreng itu simbol pesantren sebagai tempat mengeluarkan penyakit-penyakit dalam diri. Tentu saja yang ia maksud bukan penyakit medis. Tapi penyakit jiwa. Iri, hasud, dengki, dan lain-lain.

Nah, ketika seorang santri korengan, maka itu untuk pengingat bahwa bagaimanapun dan menjadi apapun ia di masa depan, ingatlah dengan koreng yang pernah ada di tubuhnya. Ingatlah penyakit yang bersemayam dalam dirinya.

Teman Kulub yang lain tak ketinggalan. Ia mengatakan koreng alias "jarban", selain stempel resmi dan sah seorang santri, itu juga menjadi pengingat bahwa setiap manusia pasti punya koreng. "Obati koreng sendiri dulu baru komentari koreng orang lain," ucapnya. Komentari, bukan mengobati.

Apapun seloroh teman-teman tentang penyakit kulit ala santri, Kulun malah membuatnya sebagai alasan dan landasan agar tidak dipanggil ustadz. Ya, karena koreng itu. Dan karenanya, berkali-kali ia tegaskan pada siapapun yang pernah, sengaja atau tidak, niat ataupun spontan, agar tidak memanggilnya dengan ustadz.

Sungguh, ketika dipanggil seperti itu, seakan-akan ada sihir yang menghadirkan cermin besar di depan biji mata Kulub. Lalu hadir Rokib Atid membacakan segala tingkah laku dan semua yang telah ia kerjakan.

Oke, tak perlu Rokib Atid, cukup cermin. Tempat berkaca. Dandan. Merapikan diri agar tampak baik penampilan. Dan hal ini bagi kebanyakan orang menjadi satu keasyikan tersendiri. Berlama-lama di cermin. Memantaskan sisiran rambut. Bagi perempuan mungkin beda lagi. Sepertinya akan ditambah dengan melihat-lihat, mengira-ngira dan meyakinkan diri tentang ketebalan dan komposisi make-upnya.

Fungsi cermin yang satu inilah yang sering digunakan, karena memang menawan dan aduhai. Tapi bagi Kulub yang tak suka dandan, melihat cermin, justeru seperti melihat borok. Merasakan koreng. Menyadari "jarban". dan mengakui gudig. Ada di badan. Di seluruh badan. Lalu perlahan ia membayangkan dirinya berubah menjadi monster. Monster mengerikan. Bahkan, tak hanya satu, tapi banyak.

Ada monster yang suka berburuk sangka. Ada yang suka berpikir negatif. Ada yang gak bisa memaafkan kesalahan orang. Ada yang pendendam. Ada yang suka marah-marah. Ada yang suka merendahkan orang lain. Ada yang suka membicarakan keburukan orang lain. Ada yang suka memfitnah. Ada yang suka mengambil hak orang lain. Ada yang suka meninggalkan kewajiban. Ada yang suka maksiat. Ada yang suka mesum dengan pacar. Dan masih banyak lagi.

Novel setebal apapun tak ada apa-apanya jika semua monster dalam dirinya ditulis. Bahkan 30 juz Al-Quran pun sepertinya masih terlalu sedikit dibanding itu. Malah, jumlah hurupnya pun menjadi tak seberapa banyak. Beruntungnya, Allah masih menutupi semuanya dengan satu topeng. Topeng agama. Ditambah label ustadz yang tertera.

Lantaran topeng itu pemberian Allah secara langsung kepada Kulub, maka jadilah Kulub berwajah aduhai nan memikat. Label ustadznya pun menjadi label paling jitu dan paling yahut yang bisa menutupi semua borok, koreng, dan "jarban" dalam dirinya.

Topeng agama berlabel ustadz ini mengalahkan topeng-topeng lain. Kedudukannya tinggi. Istimewa. Spesial walau tidak pake telor. Terlebih bagi orang lain yang melihat hanya dengan biji matanya. Meskipun hakikatnya sama.

Saya ambil satu contoh saja. Ustadz dan guru. Keduanya sama. Ustadz ya guru. Guru ya ustadz. Tapi, karena yang satu berasal dari bahasa arab. Dan bahasa arab adalah bahasa yang digunakan dalam Al-Quran, maka berbedalah ia. Lebih istimewalah dia.

Perbedaan dan keistimewaan itu berpengaruh pada eksistensi seseorang. Apa yang dimiliki (to have) dan menjadi apa (to be) adalah dua hal yang sangat erat dengan eksistensi.Nah, kata, label, dan panggilan ustadz ini menjadi semacam legitimasi eksistensi. Simbol identitas atas kemampuan dan kepemilikan seseorang pada agama dan hal-hal yang erat di dalamnya.

Kulub hanya ingin mengambil tiga hal saja terkait "to have" dan "to be", yaitu: ilmu agama, pengetahuan agama, dan akhlak. Tiga hal inilah yang membuat Kulub tidak mau dipanggil ustadz. Kalaupun mau, dia hanya ingin menjadi ustadz untuk dirinya sendiri.

Untuk menguasai dan memiliki ilmu serta pengetahuan agama, bagi Kulub bukanlah hal yang sulit. Cukup tekun dan istiqamah belajar. Pada rentang waktu tertentu, ia dan siapapun bisa menjadi ahli ilmu dan pengetahuan agama. Nah persoalannya adalah jika kata, panggilan, dan label ustadz ini berhubungan dengan akhlak. Ini tidak semudah mengedipkan mata. Tidak seperti rangkaian mesin yang bekerja otomatis.

Akhlak adalah puncak pengetahuan dan ilmu yang dimiliki seorang ustadz. Jika akhlak, sikap, perilaku, kata-kata, seluruh gerak, dan tingkah laku Kulub justeru bertolak belakang dengan ilmu dan pengetahuan agama, maka  hakikatnya ia tengah merusak agama.

Misalnya, Kukub pernah berkegiatan di lembaga keagamaan. Membuatnya dekat denga aktifitas keagamaan. Misalnya mengajari orang-orang tentang ilmu agama, memberitahu mereka tentang hadits-hadits, ayat-ayat, dan tata cara ibadah, tapi di belakang itu sebenarnya Kulub masih suka maksiat dengan pacarnya. Berduaan. Sentuh-sentuhan. Bahkan mereka suka buka-bukaan di depan layar gawai menggunakan bantuan aplikasi video call. Dan tak jarang mereka "chat seks" dengan saling mengirim foto telanjang. Sungguh, Kulub menyadari benar-benar telah merusak agama.

Jadi, selama agama hanya topeng. Kulub tak mau dipanggil ustadz. Panggil saja bajingan.

Pondok Labu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)