Melihat Kategori Manusia lewat Air
Ketika kecil, Kulub suka mandi hujan. "Maen ujan-ujanan". Berlari-larian di bawah hujan. Berdiri di bawah talang air atap rumah, seperti di bawah air terjun. Mencuci sepeda. Bermain tanah. Ah, betapa menyenangkan.
Apakah air hujan kotor dan membawa penyakit, hingga harus dibilas? Bukankah hujan itu rahmat? Pertanyaan ini muncul belakangan ketika ia sudah tak kecil lagi dan mengingat ketika ibunya menyuruh Kulub mandi kembali dengan air sumur. Tentu saja di kamar mandi. Meskipun ia sudah mandi air hujan. Kata ibunya untuk "bilasan" biar gak sakit.
Ketika di pesantren, Kulub diajarkan tentang macam-macam benda yang bisa digunakan untuk bersuci. Air salah satunya. Selain debu, batu, dan benda lain. Di antara syarat air yang bisa digunakan untuk bersuci adalah volume alias kuantitasnya. Yaitu mencapai dua qullah. Kurang lebih 192,857 kg. Jika diukur pada sebuah wadah, lebar, panjang dan dalamnya masing-masing sekitar satu "dzira'" atau sekitar 60 cm.
Setidaknya ada empat kategori air. Pertama, air suci dan menyucikan. Dzat air tersebut suci dan bisa digunakan untuk bersuci. Disebut juga air mutlak. Menurut Ibnu Qasim Al-Ghazi ada 7 (tujuh) macam air yang termasuk dalam kategori ini: air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, dan air salju, dan air dari hasil hujan es. Sederhanya air mutlak adalah air yang turun dari langit atau yang bersumber dari bumi dengan sifat asli penciptaannya.
Kedua air musyammas. Ini adalah air yang menjadi panas karena terkena sinar matahari. Air yang terjemur. Air ini hukumnya suci dan menyucikan, hanya saja makruh bila dipakai untuk bersuci. Namun ini tak soal bila dipakai untuk mencuci pakaian atau lainnya. Air ini tidak lagi makruh dipakai bersuci apabila telah dingin kembali.
Ketiga, air suci namun tidak menyucikan. Air ini dzatnya suci namun tidak bisa dipakai untuk bersuci, baik untuk bersuci dari hadas maupun dari najis. Air "musta’mal" dan air "mutaghayar" masuk pada kategori ini. Air musta’mal adalah "second", alias air bekas pakai. Air yang telah digunakan untuk bersuci baik untuk menghilangkan hadas ataupun najis. Air musta’mal ini tidak bisa digunakan untuk bersuci apabila tidak mencapai dua "qullah". Bila mencapai dua "qullah" bukan air musta’mal dan bisa digunakan untuk bersuci. Sementara air mutaghayar adalah air yang mengalami perubahan salah satu sifatnya. Misalnya air teh, air kopi, air susu, dan lain-lain.
Keempat, Air mutanajis. Air mutanajis adalah air yang terkena barang najis dan volumenya kurang dari dua "qullah". Kalaupun volumenya mencapai dua qullah atau lebih namun berubah salah satu sifatnya (warna, bau, atau rasa) karena terkena najis tersebut.
......
Edilalah, tiba-tiba ada keisengan di diri Kulub. Keempat kategori air sepertinya juga berlaku pada manusia. Terlebih sifatnya. Pada dasarnya manusia itu suci. "Kullu mauluudin yuuladu 'alal fitrah". Manusi terlahir suci. Tak ada satupun bayi yang tak suci. Semuanya belum memiliki kesalahan, alias tak berdosa. Ketika mencapai "qullah" alias "baligh" barulah manusia dikenakan hukum atas segala perbuatan dan ucapan.
Kategori pertama, orang yang suci dan menyucikan. Jika melihat sisi suci dan kesuciannya, maka hanya manusia "ma'shum" yang masuk dalam pembahasan ini, yaitu Nabi Muhammad. Namun jika suci ini diturunkan kadar atau kualitasnya, menjadi baik misalnya, maka seluruh manusia pun bisa masuk dalam kategori ini. Manusia yang baik dan berlaku baik ke manusia dan makhluk ciptaan lain. Karena air tak punya label agama, maka berbuat baik pun tidak pandang agama.
Kategori kedua, manusia yang "musyammas". Manusia yang terpapar oleh hal-hal yang bisa menodai kebaikannya. "Al-insaanu mahallul khoto wannisyan". Manusia tetap dikatakan baik meski ia melakukan kesalahan. Terlebih kesalahannya diikuti (diganti) dengan kebaikan. "faatbi'i as-sayyiata alhasanata tamhuha". Manusia kategoi ini adalah manusia pembelajar. Manusia yang belajar dari kesalahannya. Mengubah hal-hal jelek dalam dirinya. Bahasa agamanya, taubat.
Kategori ketiga, air suci tapi tidak mensucikan. Tidak bisa digunakan untuk bersuci. Manusia pada dasarnya suci. Baik. Namun kelakuan, sikap, dan prilakunya tak jarang masuk kategori tidak baik. Tidak baiknya, karena ia "musta’mal" dan "mutaghayar". Sifatnya berubah. Perilakunya menjadi tidak baik. Bahasa sederhananya, perilaku, sikap, dan ucapan manusia lah yang membuat ia disebut tidak baik. Karenanya, ketika melihat baik atau tidak, bukan melihat manusianya, tapi perbuatannya terlebih dahulu. Manusia kategori ini bisa tetap dikatakan baik jika ia mengubah perilaku tidak baiknya menjadi baik.
Keempat, "mutanajis". Manusia tipe ini adalah manusia yang awalnya baik, tapi terkena "najis" atau hal-hal jahat dan tak ada keinginan atau usaha untuk mengubahnya. Tiba-tiba Kulub terbayang pada orang-orang pintar, pandai, dan ahli. Tapi kepintaran, kepandaian, dan keahlian mereka digunakan untuk menjahati orang dan makhluk lain.
Kulub teringat orang-orang yang dipanggil ulama, habib, ustadz, bahkan kiayi tapi dengan gampang menyebut orang lain salah, sesat, bahkan kafir. Mereka yang banyak ilmu agamanya tapi menanamkan kebencian pada banyak orang. Bahkan dengan mudahnya mereka mendahului Tuhan, bahwa si A, si B, si C, dan seterusnya bakalan masuk neraka. Kulub tak mau menyebut mereka "mutanajis". Kulub lebih mengarahkan "mutanajisnya" pada perilaku dan sikap mereka.
Ragam kategori air ini pun sepertinya bisa menjadi semacam jurus dan rumus untuk hidup dan berkehidupan manusia. Pertama, manusia menyadari bahwa pada pada dasarnya, dirinya dan diri semua orang, adalah baik. Lalu berusaha untuk berbuat baik kepada orang dan makhluk lain. Termasuk berupaya menyebarkan kebaikan. Kategori ini terkait internal dan eksternal manusia (suci dan menyucikan).
Kedua, meski terpapar pemikiran dan berperilaku tidak baik, setiap orang bisa berubah menjadi baik. Seperti ungkapan "seberapa pun kotor masa lalu seseorang, masa depannya masih suci". Jurus ini untuk internal masing-masing manusia. Melihat "ke dalam" diri masing-masing. Terus berbenah diri. Instropeksi diri.
Ketiga, Suci tapi tidak menyucikan. adalah jurus yang juga menyasar internal masing-masing manusia. Setelah menyadari bahwa pada dasarnya seseorang itu baik, ia berusaha mengubah dirinya menjadi baik.
Jurus keempat, bila digunakan untuk melihat seseorang yang akan menjadi panutan. Jika kata-katanya, perilakunya, malah menanamkan kebencian kepada orang dan makhluk lain, sepertinya perlu dipertimbangkan kembali. Pun melihat diri sendiri, apakah yang kita lakukan dan ucapkan menebar kebaikan atau tidak?
Kulub bertanya-tanya; ia masuk kategori mana?
Sawangan Baru
Komentar
Posting Komentar