Lompat-lompatan
Sejak TK sampai SD saya sering diceritakan tentang betapa menyeramkan dan menakutkannya alam gaib. Terlebih yang sering disebut terkait, setan, genderuwo, iblis, jin, kuntilanak, dan hantu-hantu lain.
Padahal, dalam Islam ada Allah, Malaikat, akhirat, surga, neraka, kodo, kodar, dan hal-hal lain yang masuk ke dalam kategori dunia gaib. Termasuk ide, pikiran, kebenaran, hayal, fantasi dan akal yang sebenarnya masih masuk dalam ranah alam dan dunia gaib.
Malah, dunia, alam, dan hal-hal gaib menjadi salah satu rukun iman. Salah satu hal yang menopang keimanan saya. Sayang, lantaran seringnya saya dijejali dengan hantu-hantu kala itu, walhasil di otak ini dunia gaib identik dengan dunia hantu. Setidaknya saat itu. Nah, salah satu hantu yang sering diceritakan adalah pocong.
Hantu ini mirip orang yang dibungkus kain kafan. Tentu saja orangnya sudah meninggal. Walau terkadang ada orang yang masih hidup dibungkus kafan. Biasanya terkait sumpah pocong. Lagi-lagi, dikaitkan dengan pocong. Dan anehnya, hantu dan hal-hal yang menyeramkan diidentikkan juga dengan malam jumat. Hasilnya, kala itu saya menganggap malam jumat adalah malam yang menyeramkan dan menakutkan. Terlebih ditambah dengan kata kliwon di belakangnya.
Padahal, jumat dalam ajaran agama Islam, disebut sebagai rajanya hari (sayyidul ayyam). Bahkan ada yang menyebutnya sebagai hari rayanya kaum miskin dan hajinya para paqir (hijjul fuqoro wa 'idul masakin). Ditambah keistimewaan-keistimewaan lain yang hanya terdapat dan dimiliki hari jumat. Dan konon, di negara ini, hari jumat pernah dijadikan hari libur sebelum dipindah ke hari minggu.
Saya pun mengira-ngira, seperti ada pengalihan (distraksi) tentang keagungan dan sakralitas hari jumat dengan banyaknya cerita-cerita yang menakutkan dan menyeramkan. Termasuk cerita hantu pocong.
Di antara ciri hantu pocong adalah cara "jalannya", yang lompat-lompat. Ceritanya sangat logis, kenapa pocong lompat-lompat, karena seluruh badan hingga kakinya terbungkus kafan yang diikat dengan tali. Padahal, kalau itu dikaitkan dengan proses penguburan seorang muslim. Tali-tali yang mengikat itu akan dilepas.
Ah, sungguh, banyak hal yang mesti saya tertawakan jika mengingat cerita-cerita masa kecil tentang hantu. Dan parah sekaligus menggelikannya, hantu-hantu itu sering dikatakan sebagai arwah atau roh gentayangan dari manusia yang meningggal. Lagi-lagi, saat itu saya pun dijejali tentang alam ruh yang digambarkan begitu menyeramkan dan menakutkan.
Karena takut adalah fitrah, bawaan "orok", maka saya pun berupaya menghindari hal-hal yang menakutkan. Menjadikannya semacam keharusan. Bahkan kewajiban. Malah, kebutuhan. Karenanya, sering saya mengatakan itu sangat wajar. Padahal hal-hal permisif dan kompromi seperti itu tak jarang malah melahirkan hal tak wajar.
Ibarat "kepeleset" kulit pisang di tengah jalan, raasa takut itu tak jarang, hobi dan gemar melemahkan kekuatan akal pikiran yang dimiliki seseorang. Seperti cerita menakutkan dan menyeramkan dunia gaib ketika saya kecil tadi. Ini akan menjadi kesalahan fatal jika ketakutan itu malah membuat saya jauh dari Zat yang hanya pada-Nya diarahkan rasa takut, seharusnya.
Dan sepertinya, cerita-cerita itu pula yang mengalihkan pandangan, malah keyakinan saya yang seharusnya diarahkan hanya pada Allah. Dan sepertinya ini pula yang menyebabkan saya lebih suka menatap dan berorientasi kepada hal-hal yang bersifat dunia. Bersifat materi. Karena di otak saya sudah penuh dengan hal mengerikan tentang alam gaib.
Dan sepertinya karena ini pula, saya hanya mengandalkan otak untuk melihat sesuatu. Padahal, selain otak dan akal untuk berpikir, saya punya hati dan nurani. Dan jika saya meyakini segala sesuatu berasal dari Allah, hati dan ruhani inilah yang awalnya menangkap semua itu. Bukan otak. Bukan akal pikiran.
Akal dan pikiran saya hanya merespon dari yang ditangkap hati dan nurani. Pikiran yang mengolah ide-ide dan ilham yang datangnya dari Allah. Agar ketika dimanifestasikan, diwujudkan dalam kata-kata, sikap, dan perilaku ke dunia nyata, berwujud kebaikan. Hal-hal baik.
Ini sudah ditegaskan oleh Al-Imam Al-Ghazali. Kebenaran, pengetahuan, dan segala hal yang ada di dunia ini berasal dari Allah. Bentuknya berupa cahaya. Nur Muhammad. Dan itu hanya bisa diterima oleh hati. Imam Al-Ghazali menyebutnya "dzauq".
"Dzauq" ini ada pada setiap orang. Salah satu tugasnya ya itu, untuk menangkap ide-ide, ilham, dari Allah. "Dzauq" ini akan sulit menerima cahaya jika ditutup oleh hal-hal yang tak baik. Misalnya berpikir dan bersikap negatif kepada orang lain. Karena cahaya yang datang kepada manusia itu berupa cahaya Muhammad yang sederhananya bisa diartikan sebagai sesuatu atau hal yang terpuji, maka "dzauq" ini mesti terus dilatih. Di antaranya dengan terus berpikir dan berbuat baik.
Termasuk tulisan ini, ini latihan saya untuk menangkap hal-hal yang terlintas. Ide-ide yang kadang datang tiba-tiba. Namanya latihan, terkadang tepat terkadang melenceng jauh. Dan ini terbukti, tulisan ini awalnya ingin membahas tentang pikiran saya yang melompat-lompat.
Ini bermula dari bayangan pocong yang melompat-lompat lalu bayangan tentang pikiran yang melompat-lompat dalam benak saya. Kemudian terbayang pada perdebatan dan argumentasi yang dilontarkan para pendukung capres dan cawapres. Semuanya seperti saling berlompatan. Pendukung ini menyatakan A, direspon pendukung itu dengan pernyataan H. Dan akhirnya saya hanya bisa bilang: ah.
Pun saat ini, pikiran saya melompat-lompat. Tadi memikirkan tentang usaha, sekarang memikirkan lompat-lompatan, setelah ini sepertinya akan memikirkan hal lain. Entahlah. Karena baru saja terlintas ingin menutup tulisan ini dengan pikiran yang melompat-lompat itulah yang pada akhirnya membuat saya tidak fokus. Bukan karena banyaknya hal yang mau dan mesti dikerjakan. Tapi karena pikiran saya yang melompat-lompat.
Biar tidak lompat-lompat, sepertinya saya memang harus membuka "ikatan-ikatan pocong" dalam pikiran dan hati untuk menutup tulisan ini
Wallahu a'lamu bisshowab
Pondok Labu
Komentar
Posting Komentar