Banyak Binatang dalam diri saya (bag. 3)
Lagi asik berkendara, tiba-tiba jantung dag dig dug duer. Kendaraan yang tengah melaju mesti berhenti mendadak. Pasalnya, seekor kucing melintas begitu saja. Ia slanang-slonong. Tak lihat kanan kiri.
Di lain waktu. Saya mesti turun dari kendaraan, lantaran kucing yang lain anteng di tengah jalan yang mesti dilewati. Di lain kesempatan, seorang pengendara sepeda motor, melepas kaosnya di tengah jalan. Ia rela bertelanjang dada sambil berkendara, hanya karena roda motornya melindas tubuh si kucing. Darah mengalir. Nyawa si kucing melayang. Si penabrak, membungkus jasad kucing dengan kaosnya. Sepertinya akan dikubur, entah dimana.
Tak hanya itu, usai sekolah di SDN 04 Sawangan Baru, siangnya saya sekolah di MI Nurul Hidayah. Suatu waktu, guru MI saya bercerita tentang Abu Huroiroh yang gemar sekali memelihara kucing. Lalu ia bercerita tentang posisi kucing, yang belakangan saya mulai mengerti cerita ustadz saya tentang sakralitas seekor kucing.
Pernah suatu waktu saya bilang ke almarhum ayah, ingin memelihara kucing. Baru sepuluh menit bermain, tangan kanan saya dicakarnya. Dan ia seperti ingin menyerang saya. Sejak itu, saya enggan memelihara kucing. Ditambah, tahi kucing dimana-mana. Dan tak jarang, biji mata ini melihat kucing menandakan kawasannya dengan mengencingi. Walhasil, setiap sudut rumah, sepertinya, ada bekas kencingnya.
Ada tetangga yang pelihara kucing, banyak. Tak jarang, di malam yang mulai sepi, terdengar meongan keras kucing-kucing. Tak lama, terdengar pertengkaran mereka. Sungguh mengganggu. Tapi, suatu waktu, paman saya berhasil mengambil ari-ari kucing setelah betina itu melahirkan, entah bagaimana caranya. Kata paman, ari-ari kucing yang direndam air bisa membantu memudahkan proses persalinan manusia, entahlah. Mungkin karena kucing paling sering dan mudah melahirkan. Setelah melahirkan setidaknya 3 ekor kucing, mata saya terbelalak ketika induknya menggigit tengkuk anaknya. Dan sepertinya itu cara bangsa kucing menggendong anak.
Kemudian ketika silaturahmi ke tempat teman, saya dibuat heran ketika ia memanggil-manggil nama yang saya kira milik seseorang, tapi ternyata milik seekor kucing. Dan mereka bercakap-cakap seperti saling mengerti satu sama lain. Apakah teman saya yang memahami bahasa kucing atau kucing yang paham bahasa manusia, entah. Yang jelas, kucing itu seperti mengerti ketika teman saya memintanya untuk melakukan sesuatu.
Lalu pagi ini, sambil menikmati rokok, tentu saja sesekali sambil menyeruput kopi susu, saya seperti melihat diri ini adalah seekor kucing. Diri yang terkadang egois sama seperti kucing yang berdiam diri di tengah jalan. Diri yang tak jarang tak pikir panjang, tidak nengok kanan kiri, dalam melakukan sesuatu. Diri yang suka berkhayal tentang perlakuan istimewa orang-orang ke saya. Diri yang suka mencakar orang lain, terlebih kepada mereka yang tidak disuka, berbeda, songong, dan yang tidak mau mengerti. Diri yang suka membuat dan membuang kotoran dimana-mana. Diri yang ingin berkuasa dan menguasai sesuatu meski dengan mengencingi. Diri yang manja, ingin enaknya saja, dan sering abai terhadap proses hingga sering ingin meraih sesuatu secara instan. Diri yang terkadang melihat sesuatu yang berbeda dengan sinis bahkan kebencian. Dan diri yang sering merasa paham, padahal pura-pura dan tidak mengerti akan sesuatu. Termasuk tulisan ini, yang sepertinya lebih mirip cakaran kuku kucing dan terdengar seperti suara kucing yang lapar.
Meoooooong.
Sawangan Baru.
Bersambung....
Komentar
Posting Komentar