Mengenal diri agar Mengetahui Allah lewat Sastera dan Kesusasteraan (bag. 1)

Bagian pertama:

Kesusateraan Mistik Islam (sufi).

.....

"Man 'arofa nafsahu faqod 'arofa robbahu".

"Tak kenal, maka tak sayang".

.....

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengenal dan mengetahui Allah. Di antaranya adalah mengenal dan mengetahui diri kita sendiri. Untuk ini pun banyak caranya. Salah satunya adalah dengan membaca karya-karya sastra. Terutama sastera melayu klasik.

Sastera dan kesusasteraan dalam Kebudayaan abad pertengahan identik dengan kesadaran diri dalam upaya  memahami keistimewaan "alam dalam kata" (world in words) dan hubungannya dengan jagat raya (makrokosmos) dan manusia (mikrokosmos), serta cara alam itu mempengaruhi manusia, termasuk sifat pengaruhnya tersebut.

Salah satu konsep kesusasteraan di dalam salah satu tradisi sastera timur, terdapat tradisi mistik islam atau tasawuf (sufi). Konsep tersebut mengandung konteks "gambar alam" (picture of the world) sufi, yakni ajaran sufi tentang susunan jagat raya, tentang manusia, dan tentang konsep kesusasteraan itu sendiri. Konsep kesusateraan tasawuf ini, tak bisa terlepas dengan kesuasteraan yang lahir di timur tengah.

Setidaknya, konsep paralelisme alias keterhubungan makro- dan mikrokosmos yang terbentang dalam sastera mistik islam terdapat beberapa hal dan sifat, yaitu: pertama, sifat antropoid. Yakni keserupaan ikonik dengan manusia, keserupaan dalam bentuk kluar. Kedua, sifat antropomorfik. Yakni keserupaan dengan manusia dari segi struktur. Kedua sifat ini dijabarkan dan dideskripsikan dalam makrokosmos.

Dalam tradisi sufi memperlihatkan kepercayaan tentang penciptaan kosnos secara antropoid, yaitu menurut rupa manusia. Dalam ajaran sufi, "manusia asal" adalah abstrak dan bersifat spiritual. Ini seperti "P'an-ku" dalam tradisi Cina dan Purusa dalam tradisi India.

Menurut Tujimah dalam buku Asrar Al-Insan fi ma'rifa al-Rih wal-Rahman (Jakarta 1961)Tradisi sufi mengajarkan bahwa yang diciptakan terlebih dahulu adalah Nur Muhammad. Ruh yang biasanya diibaratkan sebagai burung. Beberapa penafsir lain menggambarkan Nur Muhammad serupa manusia yang berkepala, bertangan, berkaki, bertubuh, bermata, bertelinga, dan lain-lain. Namun, para penafsir itu pun menwgaskan semua anggota badan tersebut bersifat rohani dan nurani.

Kemudian Allah menilik Nur Muhammad dengan "tilik Jabbar" yang menjadikan Nur itu berpeluh. Peluh di kepala memunculkan malaikat. Peluh diwajah memunculkan Arsy Allah (jism al-qull alias universal body), kursi Allah, lauh mahfuz, kalam suci, matahari, bulan bintang, dan binatang laut. Peluh di dada melahirkan para nabi, wali solihin, dan ulama. Peluh di dahi melahirkan umat islam. Peluh ditelinga melahirkan pemelik agama yahudi dan kristen. Peluh di kaki melahirkan buni dan segala isinya.

Bakhtiar L dalam buku "Sufi. Expressions of theme Mystic Quest (London, 1976) mengatakan dalam tradisi Arab-Islam hubungan-hubungan antara makro- dan mikrokosmos yang amat rinci sudah terdapat pada abad X di dalam "Risalat Ikhwan As-Safa" yang berperan penting di dalam karangan falsafah Sufi dan Ismailiyah.

Vladimir I. Braginsky pada buku Tasawuf dan Sastera Melayu. Kajian dan Teks-Teks (Jakarta, 1993) menukil Bertjeks A.E dalam buku "Lima Karangan Falsafah yang berpokok "Afak wa Anfus"" (Moskow, 1970) memberi contoh terkait hal ini dengan karangan sufi "Mirat Al-Muhaqqiqin" yang dipercayai sebagai cipataan Mahmud Syabistari yang meninggal tahun 1320,:

"Gunung serupa tulang, pepohonan serupa rambut di kepala, dan tumbuhan-tumbuhan kecik seperti bulu roma. Di bumi ada tujuh iklim, dan di tubuh ada tujuh bagian: kepala, dua tangan, dua kaki, pinggang, dan perut. Di bumi; gempa, di tubuh; bersin. Di bumi; anak sungai, di tubuh; saluran darah. Perbandingan sumber-sumber pahit dan asin di tubuh seperti air liur, air mata, dan lain-lain. Perbandingan tubuh dengan langit. Ada 12 bagian "mintakatulburuj", dan 12 liang (lubang) di tubuh. Ada 28 rumah perhentian (manzil) bulan, ada 28 saraf di tubuh. Ada 360 "darjah", ada 360 urat di tubuh. Ada 7 planet, ada 7 anggota yang mengendalikan tubuh. Ada banyak bintang, ada banyak kekuatan (quwwah) di tubuh. Langit dilingkungi 4 unsur, sedangkan tubuh dilingkupi 4 cairan. Musim semi serupa dengan darah. Musim panas serupa dengan empedu. Dan seterusnya.

Vladimir I. Braginsky melanjutkan ada deskripsi-deskripsi yang paling lazim terdapat dalam model sufi yang antropomorfis. Lebih menekankan keselarasan antara intipati-intipati wujudiyah dan jiwa-badaniyah (ontological-psychomatic essences) yang lebih halus dan implisit. Misalnya ajaran Al-Imam Al-Ghazali pada abad XI. Ia mengutip Johns, A.H dalam bukunya "Malay Sufism as Illustrayed in Anonymous Collection of 17th Century Tracts. (Imbras. Vol. 30. 1957).

Al-Ghazali mengemukakan hierarki tiga alam: "mulk", "jabarut", dan "malakut" yang terdapat sekaligus di makrokosmos dan di mikrokosmos. Alam "mulk" di makrokosmos merupakan bidang lahir, bidang jasmani yang dapat dirasai dengan pancaindera. Alam "malakut" sebaliknya, ialah bidang batin, bidang rohani, yang tidak dapat diduga dengan pancaindera. Sedangkan alam "jabarut" memghubungkan alam "mulk" dan "malakut" sebagai bidang yang dikuasai oleh asma (nama-nama) Allah.

Di mikrokosmos, alam "mulk" adalah tubuh manusia: daging, tulang, darah, dan lain-lain. Alam "malakut" adalah akal dan sifat-sifat dari intipati manusia: hayat, ilmu, tekad, dan lain-lain. Sementara "jabarut" adalah panca indera: indera penglihatan, pendengaran, dan lain-lain, yang menghubungkan alam jasmani dan alam rohani.

M. Saeed Sheikh, dalam buku Al-Ghazali; dalam: M.M Sharif (ed), "A history of Muslim Philosophy. Vol. I (Weisbaden, 1963) mengatakan, menurut pengikut Ibn Arabi (wahdat al-wujud) sebaliknya, "malakut" disebut sebagai alam yang kedua dan "jabarut" sebagai alam yang ketiga. Alam-alam tersebut ditambah dengan alam keempat yang paling tinggi, yaitu alam "lahut". Alam ini adalah bidang Dzat Allah yang sekaligus menjadi intipati manusia yang paling hakiki dan mendalam.

Di samping deskripsi antropoid dan antropomorfis, para sufi pun telah menghasilkan beberapa reduksi. Misalnya S'ad ud-din Mahmud Shabistari yang mengatakan; tahi lalat melambangkan dzat Allah dalam aspek immanen-Nya (yaitu Dzat dengan Sifat dan Asma-Nya). Mata dan bibir dipandang sesuai dengan sifat Jalal dan Jamal. Bulu roma di wajah disamakan dengan tajaliyat (manifestasi) luar yang pertama dari Allah, yakni dengan alam arwah. Ikal rambut disamakan dengan dunia yang dirasakan panca indera, yakni keanekaragaman segala-galanya yang menyembunyikan Ketunggalan Hakiki (Ghulshan-i Raz. Diterjemahkan dari bahasa parsi oleh E.H Whinfield menjadi The Mystic Rose Garden. Lahore. 1978).

Bersambung....

Pondok Labu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)