Membaca Sastra, Membaca Diri: Mengenal Ilahi (bag-5)

Membaca Sastra, Membaca Diri: Mengenal Ilahi (bag-5)

(Kata-Kata Allah dan Penyair)

Kata-kata tak jarang seolah-olah sekadar dimainkan oleh para sufi dalam permainan puitis. Padahal hakikatnya itu adalah kemampuan semantik para sufi agar dalam konteks yang sama, kata-kata puitis tersebut, dapat diartikan sebagai kata Ilahi.

Fariduddin Attar dalam "Ilahi-Nama" mengatakan:"Jangan pandang hina pada kata-kata//Sebab dua alam penuh dengan satu kata belaka: kun!//Asas kedua alam itu pun tiada lain kecuali kata,//Sebab keduanya diciptakan dengan kata Kun! dan dapat dimusnahkan dengan kata "la yakun!"//Kata diturunkan oleh Allah Yang Mahakuasa,//Kata ialah kemasyhuran nabi-nabi//Muhammad, yang padanya diajukan kata Kun!//Menjadi raja pada malam isra karena kekuatan kata.//Semuanya terbatas selama belum diucapkan dalam kata,//Lauh al-mahfuz menampung segalanya karena kekuatan kata//Oleh sebab kata mendasari segala, lakukan segala dengan kata://Minta sedekah dengan kata, tanya dengan kata, tuntulah ilmu dengan kata".

Kata dan kata-kata memiliki kekuatan. Sebab ia menjadi "perantara" Tuhan dalam mencipta: kun!. Hingga terciptalah dunia. Dan kata-kata pun bisa menjadi peniadaan segala: laa yakun!

Nabi Muhammad pun menerima wahyu "dengan" kata-kata: iqra!. Dan jauh sebelum itu, Nur Muhammad pun dicipta melalui kata-kata.

Lauh Mahfuz pun bisa dikatakan sebagai wadah, penampung kata-kata. Dan kemampuannya menampung segala pun karena kata-kata. Dan sumber kata-kata adalah Allah.

Allah menurunkan kata-kata yang menjadi dasar segala ciptaan-Nya. Hingga segala hal mesti menggunakan kata-kata.

Nizami Ganzavi dalam Mahzan Al-Asrar (Perbendaharaan rahasia-rahasia) menggambarkan kata sebagai hasil ciptaan yang paling awal; "Sesaat kalam bergerak pertama kali,// Ditulisnya huruf kata yang pertama.// Ketika tirai penutup tempat rahasia terbuka// Penampilan sulung diberi kepada kata".

Selanjutnya Nizami menyatakan kata sebagai perwujudan Ilmu Tuhan pada dunia; "Waktu kalam mulai bergerak berulang-alik,/! Ia membukakan mata dunia dengan kata.// Kiranya tak ada kata tentang dunia, maka barangsiapa pun tak mendengar tentangnya...."

Kata pun menjadi intipati yang paling dalam sebagai pencipta mikrokosmos-manusia; "Selagi kata belum merayu dengan sepenuh hati // Jiwa pun belum lagu menyerahkan tubuhnya yang bebas pada tanah liat...// Di dalam kamus 'isyq (cinta) kata ialah jiwa kita,// Kata ialah kata, adapun reruntuh (tubuh) ini kediaman kita".

Kata-Kata Tuhan yang diturunkan pada dunia kecil, manusia, mengandung makna. Dan itu hanya bisa ditangkap dan diterima lewat proses meditatif. Renungan. Dan para penyair Sufi dalam karya-karyanya berusaha menyingkap makna-Nya dalam firman-Nya.

Nizami menggambarkannya sebagai berikut: "Sang penyair ialah burung bul-bul Kursi Allah,// Apakah insan lain setara dengan mereka?// Menyala dalam api meditasi,// Mereka menjadi seperti malaikat.// Tirai rahasia yang menutup penciptaan kata,//Ialah bayang-bayang tirai kenabian.// Ketika mereka yang akrab dengan Yang Mahakuasa berbaris di depan dan di belakang deretan,// Maka para penyair berdiri di belakang, dan para nabi di depan".

Karya-karya para Sufi menyatakan wajah manusia diibaratkan sebagai makrokosmos, sebagai teks suci, dan sebagai puisi. Abdurahman ibn Jami dalam "Tuhfat Al-Abrar" mengatakan; meskipun Kalam menyatakan kata, ia pun pasti dilahirkan oleh kata. Kemudian Jami menyanjung puisi dengan mengatakan: "Jodoh Kata yang penuh dengan bunyi-Nya".

Sa'duddin Mahmud Syabistari dalam "Gulshan-i Raz" mengatakan mata melambangkan Sifat Jalal yang menghalangi "hamba" untuk menjadi akrab dengan Tuhan. Karena mata (indera penglihatan) hanya bisa melihat yang berwujud fisik atau lahiriyah saja. Sementara makna-makna tersimpan di baliknya.

Kemudian Abdurahman Jami mengatakan bibir melambangkan sifat Jamal, karena bibir menandakan belas kasih dan kebaikan hati. Bibir yang "menabur mutiara" di dalam "Tuhfat Al-Abrar" tidak sekadar mengingatkan tentang kepandaian orang berucap, tetapi juga tentang kemurahan hati dan belas kasih. Karenanya, "salamatu al-insan fi hifzhi al-lisan". Ini gambaran agar apapun yang terucap dan keluar dari mulut, mesti kata-kata yang baik. Tentu saja selain muntah, ludah, dan dahak.

Tak ketinggalan ikal rambut melambangkan keanekaragaman hayali hasil-hasil ciptaan yang menutup ketunggalan Wujud Hakiki, bagaikan tirai.  Jami juga menyamakan ikal rambut dengan majas (kiasan, metafora: ilusi atau hayalan yang sama sekali bertentangan dengan hakikat).

Pun tahi lalat diumpamakan sebagai Zat Allah yang tersembunyi, "terangkum dalam diri sendiri, tapi sekaligus merangkumi segalanya". Pun mengibaratkan tahi lalat sebagai imajinasi kreatif.

Ya, makna yang terkandung dalam Kata-Kata Tuhan dilihat dan ditangkap oleh para Sufi melalui proses meditatif, perenungan. Kemudian diolah dan diwujudkan menjadi kata-kata kembali. Hingga jadilah sastra. Kesusastraan. Karena para Sufi itu berada di Arab, jadilah sastra Arab.

Lalu bagaimana dengan sastra melayu yang menjadi cikal bakal sastra Indonesia? Akan kita bahas di bagian selanjutnya.

Allahu a'lam bisshowab

Pondok Labu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)