Politik Penampilan dan Atas Nama

Masih subuh. Kampung cukup sepi. Masih lumayan sunyi. Sepertinya masih seperti matahari, belum bangun. Karenanya, Seno Gumira Ajidarma lewat karyanya, Surat Dari Palmerah bercerita pada saya dengan suara yang sangat pelan. Begitu pelan. Terutama tentang Panji Tengkorak dan Partai Pengemis.

Di depan rumah. Di atas bangku bambu. Ditemani sebungkus Rokok. Tak ketinggalan segelas kopi susu di atas meja bambu. Cerita Mas Seno malah membuat isi kepala saya gaduh. Pasalnya, lewat buku yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), jakarta, tahun 2002 yang lalu, ia bercerita tentang seorang pendekar cantik yang ia dapat dari komik karya Hans Djaladara.

Sebagai laki-laki, tentu saja kata cantik membuat saya tertarik. Ditambah gelar pendekar. Ini membuat saya membayangkan seorang perempuan cantik yang tangguh. Sungguh menarik, bukan? Pendekar cantik itu bernama Walet merah. Ya, seperti nama burung. Dalam hati sempat terbersit; "kok namanya tak seanggun gelarnya, ya?" Tapi, itu saya tampik karena teringat pujangga asal Inggris, Shakespeare. Apakah arti sebuah nama, bukan? 

Diceritakan Walet Merah mengembara ke berbagai pelosok dunia untuk mencari pendekar besar bernama Panji Tengkorak yang sangat ia kagumi. Sepertinya, pendekar cantik ini mengamalkan "dont judge book by its cover". Soalnya Panji Tengkorak, si pendekar sakti mandraguna yang kemana-mana membawa peti mati ini selalu berpenampilan layaknya pengemis. Sayangnya, kekaguman pada Panji, di antaranya soal penampilan pengemis ini, membuat Walet Merah terpeleset dan jatuh pada hal yang membuatnya menyesal. Tapi tentu saja menjadi pelajaran berharga.

Pelajaran ini terjadi di pulau Awan Hijau, salah satu tempat yang ia singgahi dalam pengembaraan. Di pulau itu ia bertemu dengan orang-orang yang berpenampilan sama dengan idolanya. Mereka tergabung dalam Partai Pengemis. Singkat cerita, Walet Merah mengambil keputusan untuk membantu Partai Pengemis mengusir para penjajah. Sungguh mulia, bukan? 

Walet Merah yang minim dan belum matang pengalaman sosialnya tak sadar bahwa Partai Pengemis adalah sebuah partai. Ya, sebuah partai. Dan atas nama apapun yant namanya partai tetap saja akan berorientasi pada kekuasaan. Nah, di sinilah Walet Merah menunjukkan; jago silat belum tentu jago dalam politik.

Walet Merah terkecoh oleh ideologi partai pengemis, yang sepintas seolah-olah sealiran dengan pendekar panji tengkorak, idolanya. Niat dan gerak Walet Merah membantu, ternyata hanya untuk menjadikan mereka (Partai Pengemis) sebagai penjajah baru yang memburu harta. Bahkan, diketahui belakangan olehnya, Partai Pengemis inilah yang telah melakukan usaha mengeroyok dan membunuh Panji Tengkorak.

Ya, pagi ini, sambil menyerupu kopi, Mas Seno bercerita pada saya tentang betapa lihainya penampilan dalam menipu. Terlebih yang ditampilkan adalah pakaian. Berjubahkah, berjas dan bersafarikah? Termasuk slogan-slogan. Mengatasnamakan kesejahteraan rakyatkah? Membela agamakah? Atau apapun yang menampilkan kesan mulia dan agung, selama itu terkait politik, mesti dilihat lagi dan lagi. Dipelajari lagi dan lagi. Karena itu tadi, yang namanya politik, tak jauh dari kepentingan dan kekuasaan.

Soal kepentingannya apa dan kepentingan siapa, perlu ditelaah kembali. Lagi dan lagi. Terus menerus. Sebab sekelas Walet Merah yang jago silat sekalipun bisa tergelincir. Dan sepertinya jago-jago yang lain, seperti jago ilmu pengetahuan, jago ilmu agama, jago intelektual, jago bisnis, dan jago-jago yang lain, bisa jadi akan mengalami hal yang sama: tergelincir.

Terlebih jika hanya melihat penampilan.

Allahu a'lam bisshowab

Sawangan Baru

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)