Membaca Sastra, Membaca Diri: Mengenal Ilahi (bag-8)

Membaca Sastra, Membaca Diri: Mengenal Ilahi (bag-8)

(Sembahyang dan Zikir sebagai alat terpenting dalam suluk)

Ada dua alat terpenting yang diperlukan dalam suluk (perjalanan sufi) untuk bergerak maju, yaitu sembahyang dan zikir.

Sembahyang digambarkan sebagai sejenis makhluk antropoid-antropomorfik. Dalam Hikajat Syah Mardan disebutkan sembahyang adalah takbiratul ihrom. Kepalanya ialah niat. Nyawanya ialah Al-Quran (alfatihah). Tangannya ialah tahiyat. Dan kakinya ialah salam.

"Pohon" Lima sembahyang setiap hari adalah alfatihah. Seluruh sembahyang diciptakan dari huruf-huruf kata pertama alfatihah. Zohor dari alif, asar dari lam, magrib dari ha, isya dari mim, dan subuh dari dal. Seluruh sembahyang tersebut membentuk satu teks tertentu, yaitu kata "alhamdu". Dengan mendirikan sembahyang lima kali sehari satu persatu manusia akan membaca kata itu.

Kelima sembahyang itu pun diselaraskan baik dengab makrokosmos maupun mikrokosmos. Zohor mengandung empat rakaat, karena "taayun awwal" (permulaan penciptaan makrokosmos) pun terdiri dari empat unsur batiniah: Wujud, Ilmu, Nur, dan Syuhud (indera penglihatan). Magrib mengandung tiga rakaat, oleh karena evolusi wujud dari keesaan menuju keanekaragaman di dalam kesadaran ilahi pun terdiri dari tiga tingkat: ahadiyat, wahdat, dan wahidiyat.

Selanjutnya asar. Mengandung empat rakaat, oleh karena manusia (mikrokosmos) terbentuk dari empat unsur jasmaniah pula, yaitu; api sepadan dengan urat, angin, (udara) dengan nafas, air dengan tulang, dan tanah dengan tubuh, yang kesemuanya membentuk suatu teks, yaitu kata Allah.

Isya juga mengandung empat rakaat oleh karena mudigah manusia berasal dari sperma yang juga terdiri dari empat bagian; wadi, madi, mani (komponen-komponen sperma), dan manikam (mudigah yang terwujud darinya).

Setiap sembahyang meliputi segenap struktur psikosomatik manusia. Ini terdapat pada empat sikap badan selama sembahyang. Masing-masing disesuaikan dengan empat unsur tubuh: berdiri dengan api, rukuk dengan angin, sujud dengab air, dan duduk (berlutut) dengan tanah.

Selain itu, berdiri juga melambangkan menyembah Allah dengan roh. Rukuk menyembah dengan nafs. Sujud menyembah dengan darah. Dan duduk menyembah dengan tubuh. Ini bisa dilihat pada Hikajat Radja Moeda Sjah Merdan. Pun dalam Hikajat syah Mardan.

Sembahyang bisa dikatakan sebagau keselarasan makrokosmos dan mikrokosmos secara positif. Sementara zikir yang terdiri dari nafi (penolakan) pada "laa ilaaha" yang berarti tiada Tuhan dan isbat (penetapan, peneguhan) pada "illa Llah" yang berarti selain Allah, disepadankan dengan makrokosmos dan mikrokosmos secara negatif.

Di satu sisi, zikir sufi menafikan, menolak kewujudan jagat raya yaitu makrokosmos (bumi ketujuh serta sekalian isinya, langit ketujuh serta sekalian isinya, arsy, kursi, surga, neraka, auh mahfuz, kalam, tulang "ajab al-dhanb", dan anasir empat perkara) di satu sisi. Dan di sisi lain, zikir menafikan kewujudan "dirinya" sendiri yaitu mikrokosmos (ma'na nafi dengan kau nafikan anniat wujudmu yang wahmi itu beserta dengan aniiat ta'ayunmu yang majazi wahmi itu) dengan menyatakan tiada diri, tiada manusia. Yang ada hanya Allah.

Selain sembahyang, pada tahap awal, zikir pun berupa teks. Hingga kegiatan zikir ini  pun seperti proses pembacaan dzikir-teks. "Membacanya" hingga huruf terakhir, hingga hilang zikir itu sama sekali. Dengan "pembacaan sampai akhir" itu seorang sufi maju dalam perjalanan rohaninya, sehingga kesadaran dirinya sepenuhnya lenyap dan dia pun bersatu dengan Yang Mahatinggi.

Untuk berhasil dalam penyempurnaan ini dzikir-teks perlu menguasai segenap "diri" sufi: "maka seyogyanya, atas yang mengerjakan pekerjaan zikir itu, dengan terbitnya pada citanya kalimah "laa ilaaha" dari bawah pusatnya, dan dipalukannya dengan citanya kqlimah "illa Llah" ke atas dadanya (tumpuan kehidupan psikis dan rohani), hingga berhubunglag bekas zikir itu dengan segala anggotanya, dan tetaplah ia dalamnya, dan berkekallah ia dengab dia sehingga terwujudlah Wujud Allah Ta'ala. Insya Allah Ta'ala (Hikajat Sjah Merdan).

Sembahyang dan zikir seperti perpaduan antara unsur positif dan negatif. Dimensi positif dan negatif. Termasuk wujud positif dan negatif yang kedua-duanya ada dalam kehidupan. Ketika menolak atau mengingkari salah satunya, maka timpanglah kehidupan.

Inilah konteks budaya dan agama yang mendasari kesusastraan Melayu abad ke-17. Lalu bagaimana sistem yang membentuk sastra Melayu? Apa saja sistem tersebut? Akan kita bahas di bagian selanjutnya.

Allahu a'lamu bisshowab

Pondok Labu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)