Indera, Akal, dan Dzauq. Mencari pengtahuan dan kebenaran.
Setiap membaca literasi klasik, untuk menjelaskan sesuatu, misalnya shalat, zakat, haji dan lain-lain, saya selalu disajikan dengan dua kata kunci: lughotan dan isthilahan atau syar'an. Bahasa dan istilah. Epistimologi dan terminologi. Selalu begitu. Selalu seperti itu.
Menariknya, pengertian secara bahasa, secara lughotan-nya, secara epistimologinya, selalu didahulukan dibanding ishtilah atau syar'annya, dibanding terminologinya. Dan ini membuat keisengan saya kambuh: untuk mengerti sesuatu, saya mesti paham dan ngerti bahasanya terlebih dahulu.
Ini seperti proses pertumbuhan dan perkembangan manusia. Ketika baru lahir, yang pertama kali masuk ke dalam diri manusia adalah bahasa. Kata-kata. Berbentuk suara. Yaitu adzan. Yang diproduksi pertama kali oleh si bayi pun adalah suara. Tangisan.
Saya jadi teringat proses wahyu pertama kepada kanjeng Nabi Muhammad. Wahyu pertama adalah bahasa. Kata-kata. Lewat suara. Dan wahyu pertama pun, "iqra" tak lepas dan sangat erat dengan kata-kata. Dengan bahasa. Bahkan Nabi Adam pun diajarkan tentang "asma". Nama-nama. Kata-kata. Bahasa. "Wa 'allama aadama al-asmaa-a kullaha".
Wahyu pertama Kata-kata disampaikan awalnya lewat suara. Dalam bentuk yanh belum bisa dilihat. Prosesnya pun melalui telinga. Indera pendengaran. Sebab, suara tak bisa terlihat oleh indera penglihatan, alias mata. Jika menggunakan metode Al-Imam Al-Ghazali dalam mencari pengetahuan dan kebenaran, maka di sinilah fungsi akal.
Akal untuk berpikir, melihat arti dan makna dari kata-kata yang berbentuk suara. Karena bisa dipastikan, indera mata tak akan mampu melihat suara. Nah, karena bentuknya yang kasat mata, yang gaib, maka akal pun bisa terkecoh. Karenanya produk akal sebatas pendapat. Kira-kira. Dan di sinilah letak relativitas kebenaran. Sebuah pendapat bisa benar, bisa salah.
Karena itu, Al-Imam Al-Ghazali menambahkan alat lain (selain indera dan akal) yaitu hati. Hujjatul Islam menyebutnya dzauq. Dzauq inilah yang akan menerima dan menangkap "khowatir" (jamak dari khotiroh) yang artinya lintasan-lintasan dan pintasan-pintasan ide. Untuk melatih dan mengasah serta menguatkan "dzauq" agar lebih peka dan tajam dalam menerima dan menangkap ide-ide, cahaya Allah, salah satunya bisa dilakukan dengan dzikir.
Pintasan ide-ide, seperti ilham dan hidayah bagi manusia dan wahyu bagi nabi. Di sinilah letak kebenaran hakiki menurut Al-Ghazali. Karena datangnya langsung dari Sang Pencipta. Dari Allah. Dan bentuknya pun digambarkan sebagai cahaya. Nur. Hingga lahirlah "al-'ilmu nuurun".
Karena cahaya, ide, suara, itu abstrak, maka perlu dikonkretkan. Perlu diwujudkan dalam bentuk yang nyata yang bisa dilihat oleh mata. Maka lahirlah simbol-simbol, gambar-gambar, bentuk-bentuk, termasuk tulisan-tulisan. "Alladzi 'allama bilqolam".
Di titik inilah kenapa pengertian dan pemahaman sesuatu (setelah dari hal yang abstrak dan yang kasat mata) dilanjutkan dengan pengertian secara bahasa. Lewat kata-kata. Dan itu sebabnya, untuk mengerti akan sesuatu, mesti mengerti terlebih dahulu arti bahasa dan kata-katanya. Inilah konsep. Konsep yang berawal dari ide. Ide yang berawal dari cahaya Allah.
Untuk menguatkan pengertian (konsep) tersebut, diperlukan praktik. Dibutuhkan hal-hal empiris. Dibutuhkan pembuktian lewat perbuatan Misalnya, seseorang yang sudah mengerti bahwa api itu panas, mesti merasakan dan membuktikan bahwa api itu memang panas dengan menyentuhnya. Nah, proses pematangan dan penguatan pemahaman inilah yang dimaksud dengan pengertian "istilahan", "syar'an", dan terminologi.
Dan inilah rumus bagaimana mendapat pengetahuan dan kebenaran hakiki. Ada keterikatan dan ketersalingan pengaruh antara indera, akal, dan "dzauq".
Sayangnya, dalam karena kebenaran dan pengetahuan hakiki terdapat peran dan fungsi "dzauq" dalam menangkap cahaya Allah yang bersifat abstrak, kasat mata, dan batiniyah, maka kebenaran yang ditampakkan lewat simbol, kata-kata, bahasa, laku, gerak, menjadi semu. Belum pasti. Relatif. Karena kebenaran bagi saya belum tentu benar buat orang lain. Dan kebenaran orang lain belum tentu benar buat saya.
Dan sepertinya di sinilah letak perintah agar saya terus belajar. Dari lahir hingga hingga mati. "Uthlubul 'ilma minal mahdi".
Allahu a'lam bisshowab.
Depok.
Komentar
Posting Komentar