Membaca Sastra, Membaca Diri: Mengenal Ilahi (bag-11)

Membaca Sastra, Membaca Diri: Mengenal Ilahi (bag-11)

(Sistem sastra Sufi Melayu dan kenaikan rohani)

Kata pengantar dalam setiap karangan Sufi Melayu yang berisi sembahyang dan zikir (doa dan pujian) kepada Allah memberikan tiga ciri khas dalam karya sastra Sufi Melayu.

Pertama, karya sastra yang memperlihatkan keindahan yang teratur dan merdu. Karya yang serasi dengan jiwa atau hati yang menimbulkan jawaban yang sepadan di dalam jiwa pembacanya, yaitu rasa birahi. Untuk menghibur.

Ini bisa dilihat pada kata pengantar Hikayat Cekel Wanengpati; "Wa bihi nasta'inu billahi 'ala. Ini cerita Jawa maka diturunkan oleh orang cara Melayu..., maka dipatut dengan ceritanya yang amat indah-indah karangannya dan cinta berahi, supaya dapat akan menghiburkan hati yang amat berahi itu".

Kedua, karya sastra yang dimaksud untuk mendidik dan menyempurnakan akal pembaca lewat "faedah-faedah" dan "manfaat-manfaat". 

Ini bisa dilihat di "Hikayat Isma Yatim", "Taj as-Salatin". Kita ambil satu contoh dari "Taj As-Salatin"; "peri pekerti segala raja-raja dan menteri dan hulubalang dan rakyat dan..., peri pekerjaan kerajaan dan barang yang bergantung akan segala pekerjaan kerajaan itu..., supaya orang beroleh daripada bacanya manfaat dan daripada menurutnya kata martabat".

Ketiga, karya sastra yang dikhususkan untuk mempersiapkan kalbu rohani, sebagai alat pengenalan intuitif, untuk merenungi (musyahadah) kenyataan tertinggi (Al-Haqq). Ini karena "faedah" atau manfaat karya sebagai proses pengenalan Tuhan yang sempurna.

Ini bisa dilihat pada Asrar al-Arifin karya Hamzah Fansuri; "ketahuilah, hai sekalian kamu anak Adam yang Islam, bahwa Allah, Subhanahu wa Ta'ala, menjadikan kita... Seyogyanyalah kita cari Tuhan kita itu, supaya kita kenal dengan ma'rifat kita, atau dengan khidmat kita kepada guru yang sempurna mengenal Dia... Ataupun sementara belum bertemu dengan yang sempurna berma'rifat, pandang pada syarahnya pula, karena pada syarahnya itu perkataan ma'rifat Allah ada dengan nyata dalamnya... Syahdan, tiada lain lagi berapa kurangnya...".

Dengan sembahyang dan zikir (doa dan pujian kepada Allah) para Sufi yang berhasil membuat karangan yang menghibur hati, memberi akal yang sempurna, atau membuka dada arifin (manusia bijaksana) dengan kunci Wujudnya, dan menghiasi kalbu rohaninya dengan Rahasia-Nya untuk mengenal-Nya, maka bisa dikatakan para sufi pencipta karya sastra Melayu mendapat kemampuan untuk "naik" kepada Tuhan melalui "saluran" proses kreatif.

Menurut Braginsky, kenaikan paling rendah akan menghasilkan karangan indah. Karya jenis ini biasanya berisi tentang cinta, keajaiban, dan petualangan, serta syair-syair yang isinya serupa itu.

Kenaikan selanjutnya akan menghasilkan teks-teks yang menyempurnakan akal dengan "manfaat". Golongan ini biasanya berisi karangan didaktik; pengajaran, hikayat berbingkai, antologi nasihat, dan sejarah.

Kemudian kenaikan yang paling tinggi yaitu yang akan menghasilkan karya sastra yang berisi pengenalan manusia terhadap Tuhan. Karya yang menyiapkan kalbu rohani untuk menyambut wahyu atau ilham. Karya jenis ini biasanya berisi tentang ilmu ilahi dan tasawuf, riwayat hidup orang suci, alegori-alegori sufi, dan lain-lain.

Tingkatan-tingkatan tersebut, bisa dilihat pada Hikayat Syah Mardan; "maka barangsiapa mendengarkan atau membaca dia, mengambil faedah di dalamnya serta nasihat. Adalah perkataan ini daripada hadis dan dalil, dan adalah empat perkara di dalamnya. Jikalau diambil pada jalan ilmu Allah ta'ala, ialah kamal namanya. Jika diambil pada istiadat raja-raja, ialah sempurna kerajaan namanya. Jikalau diambil pada hukum penghulu kita Nabi Muhammad, ialah syariat namanya. Jikalau diambil pada permainan orang-orang muda itu, ialah sempurna laki-laki namanya maka genaplah empat perkara di dalamnya.

Tinggi rendah "kenaikan rohani" pengarang bukan hanya menentukan genre, tapi menentukan juga mekanisme dari ilmu puitika yang pokok di dalam karya yang diciptakan. Inilah kenapa, kesusastraan melayu, penciptanya, memandang sistem sastranya sebagai suatu hasil dari proses kenaikan rohani dari pengarangnya yang dicapai melalui sembahyang dan zikir dalam suluk.

Adakah kaitannya kenaikan Rohani para sufi ini dengan fenomena-fenomena sosial? Ataukah hanya perenungan yang bersifat personal? Akan kita bahas pada bagian selanjutnya.

Allahu a'lamu bisshowab

Pondok Labu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)