Membaca Sastra, Membaca Diri: Mengenal Ilahi (bag-6)
Membaca Sastra, Membaca Diri: Mengenal Ilahi (bag-6)
(Martabat Tujuh Dalam Tradisi Mistik Islam)
Karya-karya Sufi Timur Tengah (Arab) ikut mempengaruhi karya-karya sastra Melayu klasik. Misalnya, di dalam Hikayat Radja Moeda Sjah Mardan (1916) terdapat tapak kaki manusia yang disamakan dengan Kursi Allah, tumit dengan Arsy, tulang sumsum dengan "sirath al-mustakin", perut dengan laut, tulang rusuk dengan Alam Taufik, dada dengan ka" bah, dan seterusnya.
Bedanya, Karya sastra para sufi Melayu sering memperlihatkan keterhubungan alam semesta-Manusia-Tuhan dengan martabat tujuh. Tujuh peringkat Wujud. Tujuh "maqom" eksistensi jiwa. Tujuh tingkatan "nafs".
Tujuh "maqom" tersebut adalah: pertama, Ahadiyat. Di tingkat ini, keesaan atau ketunggalan Tuhan belum dinyatakan dan tidak dapat dikenali oleh makhluk, oleh manusia. Kedua, wahdat. Di tingkat ini, keesaan atau ketunggalan menjadi sintetik. Menjadi sumber yang menghasilkan hal-hal lain. Ini berupa potensi-potensi Wujud. Potensi-potensi keberadaan Tuhan. Diciptanya Nur Muhammad. Ketiga, wahidiyat di tingkat ini, keesaan atau ketunggalan dari Wujud yang tunggal menjadi beranekaragam. Nur Muhammad menjadi berbagai ciptaan lain. Tiga kedudukan pertama ini merupakan wujud dunia di dalam kesadaran Ilahi yang mendahului penciptaan itu sendiri.
Kedudukan keempat adalah alam arwah. Alam ini adalah alam ruh. Rohani. Batiniyah. Selanjutnya, kedudukan kelima, alam misal. Alam ide-ide. Alam yang mulai ditangkap makhluk, manusia dalam dimensi akal dan hatinyam. Kedudukan selanjutnya adalah alam ajsam. Alam ini adalah alam benda-benda. Alam yang bisa dilihat dan disentuh oleh pancaindera. Tiga alam ini adalah alam-alam ciptaan. Alam aktual.
"Maqom" ketujuh, yang terakhir adalah kedudukan paling rendah, tetapi sekaligus juga yang paling tinggi dari tiga alam aktual, yaitu alam insan (kamil). Insan kamil inilah yang justeru akan tampil sebagai intipati rohani. Yang dengannya makhluk kembali kepada Khaliknya.
Syamsuddin As-Samatrani (abad ke-17) menggambarkan keselarasan antara martabat tujuh dengan peringkat pengenalan diri manusia (keadaan kesadarannya) sebagai berikut:
"Kepada satu kata lagi, apabila ingat kita akan diri (af'al), martabatnya (ialah) alam arwah, alam misal, alam ajsam, (alam) insan. Apabila ingat kita akan diri kita asma, makamat asma: martabat wahidiyat. Apabila ingat kita akan sifat, makamnya (sifat): martabat wahdat. Apabila tiadalah ingat diri kita, sifat, asma, dan af'al, martabat (nya ialah) ahadiyat.
Sufi melayu pun memandang makrokosnos dan mikrokosnos sebagai teks. Konsep penciptaan sebagai penulisan di lauh mahfuz pun tak asing bagi Sufi Melayu. (Al-Attas, S.M.N , Islam dalam sejarah dan Kebudayaan Melayu Kuala lumpur, 1972). Di antaranya adalah Hamzah Fansuri, Abdurrauf dari Singkel yang mengarang daka'ik al-Huruf, serta pengarang Syair Bahr An-Nisa (laut perempuan) dan lain-lain.
Al-Attas S.M.N, dalam Concluding Postcript to the Origin of the Malay Sha'ir, (Kuala Lumpur, 1971) menyatakan: kita ialah Huruf Mulia yang tidak meninggalkan tempat
Kediaman kita di Puncak Gunung,
Di sana aku ialah kau, dan kita semua ialah kau, dan kau adalah dia.
Di dalam "kitab al-harakat" atau kitab gerakan, Syamsuddin As-Samatrani menggambarkan alam misal sebagai teks yang terdiri dari huruf-huruf:
"Alam misal itulah sudah tersalin
Di dalam maklumat yang lagi batin
Khattnya besar hurufnya sakin,
Itulah rupa sekalian ka'in (Syair Martabat tujuh, MS. Jakarta KBG.)
Dalam Syair perahu tertulis;
Insan itulah terlalu kamilun,
Ialah pohon sekalian raji'un
Sungguh sepohon tiada lenyap
Kedua matanya adalah mushap.
Begitulah, Karya-karya sastra dalam tradisi mistik Islam Melayu pun tak terlepas dari renungan-renungan para Sufi. Hal ini tak terlepas dari proses "suluk" para Sufi.
Apa dan bagaimana "suluk", akan kita bahas di bagian berikutnya.
Allahu a'lam bisshowab.
Pondok Labu
Komentar
Posting Komentar