Membaca Sastra, Membaca Diri: Mengenal Ilahi (bag-4)

Membaca Sastra, Membaca diri: mengenal Ilahi (bag-4)

(Al-Quran adalah Adi-sastra)

Bagi para Sufi, Al-quran menjadi teladan kesusastraan. Yaitu sebagai perbendaharaan "intipati semula", "citra semula", dan "kesempurnaan semula". Terutama puisi.

Puitika para Sufi adalah ajaran mengenai kata (kalam) "al-a'la" yang termaktub di dalam teks suci (Al-Quran) maupun di dalam puisi yang ditafsir secara simbolik itu sendiri. Sederhananya, puitika tasawuf mengaitkan Al-Quran dan sastra dengan lebih erat. Seperti Jalaluddin Rumi yang hidup di abad XIII. Rumi menggambarkan Al-Quran dengan kekasih yang berpurdah. Sebagai bentuk kejelitaan. Makna-makna yang diselubungi dengan pakaian (kata-kata).

Rumi pernah menulis tentang penyair yang sempurna, sebagai berikut: "Dia mesti menyediakan meja perayaan dari sajak pujiannya agar supaya penuh dengan pelbagai hidangan. Jangan ada tamu, walau seorang pun, yang tinggal lapar. Di meja itu masing-masing seharusnya mendapat makanan. Meja itu bagai Al-Quran. Maka Al-Quran merangkum tujuh pikiran. Al-Quran dipakai dan dinikmati oleh siapapum. Rakyat jelata hingga yang arif" (Asal-usul Sastera Turki. I. Jalaluddin Rumi. 1979).

Dalam puitika sufi, kesusastraan seolah-olah terpancar dari Teks Suci (Al-Quran). Tentu saja sambil memindahkan struktur-struktur falsafinya, beserta motif-motif dan citra-citranya. Selain itu, dalam proses "renungan diri", kesusastraan dalam tradisi Sufi seperti mengekalkan hubungan yang selaras dengan makro- dan mikrokosmos yang tetap "menyerupai" manusia. Tentu saja didasari oleh peringkat estetika yang dikuasai emosi "intelectualized" (yang diberi pengetahuan) dan teratur.

Kesusastraan sebagai emanasi (penyebaran) estetik dari kitab suci (Al-Quran) memberi pengaruh pada akal dan sekaligus juga pada perasaan pembacanya. Karenanya kesuaastraan menjadi salah satu alat penting bagi pembentukan psikologi sosial. Misalnya, kasidah; bentuk puisi Arab yang mengambil manusia sebagai pokok materi. Dengan kata lain: kasidah adalah manusia. Ini seperti pendapat Al-Hashimi dan Ibn Rashiq.

Teks yang mengibaratkan kasidah dengan tubuh manusia ini menyebut tiga genre puisi Arab Klasik yang terpenting, dan yang sekaligus menjadi bagian-bagian utama dari kasidah: pertama, "nasib" yaitu sajak cinta pada permulaan kasidah. Kedua, "hijah" yakni berisi cemooh. Dan ketiga, "madh" yang berupa sanjungan. Dan jika bagian-bagian ini digabungkan, akan menjadi model kecil bagi seluruh puisi Arab dengan genre-genrenya.

Hal ini ditegaskan oleh Ibn Rashiq yang mengatakan; "segenap puisi (Arab) terdiri dari dua jenis: madh dan hijah. Madh adalah asal "risa" (ratapan), "fahr" (sanjungan kepada diri sendiri), "tasybib" (sama dengan nasib) dan segala "wasf" (deskripsi), serta segala apa yang memperbaiki akhlak, seperti ungkapan-ungkapan kebijaksanaan, nasihat, kata-kata tentang kefanaan dunia dan zuhud. Adapun "hijah" ialah segala yang sebaliknya dari itu.

Dari segi bentuk dan isi, puisi Arab diperankan oleh "bait". Bait yang bisa berarti rumah. Rumah atau bait yang dimaksud adalah susunan kata-kata atau kalimat yang menyatukan bunyi (lafz) yang disuarakan. Termasuk arti (ma'na) yang tersirat.

Bait, dalam tradisi sufi pun diumpamakan sebagai manusia secara antropomorfis. "Lafz" diartikan sebagai tubuh. "Ma'na" diartikan sebagai jiwa. Pun diumpamakan secara antropoid. "Lafz" diartikan sebagai pakaian dan perhiasan. "Ma'na" diartikan sebagai gadis jelita.

Ibn Tabataba pada abad X mengatakan: "kalam (kata) yang tidak bermakna bagai tubuh yang tidak berjiwa. Kalam mesti memiliki tubuh dan jiwa, tubuhnya adalah bunyi dan jiwanya adalah makna. "Lafz" dan "ma'na" seperti perhiasan untuk si gadis jelita."

Penyair Parsi, Abdurahman Jami menggambarkan Al-Quran sebagai gadis jelita yang kemudian dituang dalam bentuk puisi sebagai berikut:

"Tiada jelita yang setara dengan kalam berirama//Rahasia kecantikannya tersimpan dalam dirinya sendiri//Menahannya susah dan penawar hati sukar//Terutama bila sedang mengejar kalbu manusia.//Dipakainya busana indah dari irama,//Dan menyulam tepinya dengan rima.//Dia hiasi kakinya dengan gelang radif,//Ditambahnya kecantikan dahinya dengan tahi lalat khayali.//Dengan tasybih membikin wajahnya berseri-seri bagai rembulan,//Merampas akal beratus orang yang sesat jalan//Dengan tajnis menyisir rambutnya dalam dua bagian yang sama,//Menganyamnya dalam dua kepang yang tepat sama.//Dengan tarse' membuat bibirnya bertabur mutiara//Dan ikal kecil kasturi bagai anting mutiaranya.//Dengan iham menjadikan matanya bermain,//Mata itu mengacau sekalian orang yang dikaruniai khayali.//Menutup kepala dengan ikak mayang majaz,//Dan dengan tirai membikin hakikat lebih dekat".

Tak jarang para Sufi menafsirkan hubungan antara Allah-jagat raya-manusia melalui puisi. Kata-kata Allah "dicerminkan" dan "diturunkan" dalam bentuk puisi. Dan puisi dibentuk dengan kata-kata.

Terkait kata-kata, seperti sebelumnya, akan kita bahas di bagian selanjutnya

Allahu a'lam bisshowab

Pondok Labu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)