Banyak Binatang dalam diri ini

Bagian pertama.

Ada yang bercerita pada saya tentang proses penciptaan manusia. Semua kisah nya bersumber dari Al-quran. Lebih dari dua puluh delapan ayat ia gelontorkan. Dan semuanya membuat saya seperti menatap cermin. Kemudian "falyanzhuril insaanu mimma khuliqo" sambil melihat diri sendiri, seraya berucap: saya hanyalah tanah. Suatu saat akan kembali menjadi tanah.

Tanah ini diubah oleh Sang Pencipta menjadi segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging. Diberi tulang belulang dalam rahim perempuan. Kemudian menjadi bayi. Dan perlahan tumbuh menjadi makhluk bernama manusia. Yang nantinya akan kembali menjadi tanah.

Apakah ini keberuntungan atau bukan, entah. Secara fisik, tanah bernama manusia ini tidak ditumbuhi berbagai macam tumbuhan. Tidak ditinggali berbagai macam binatang. Tidak menjadi tempat pembuangan segala kotoran manusia. Tidak diinjak-injak, bahkan diludahi, dikencingi, dan diberaki oleh manusia. Tapi setelah melihat diri sendiri, tanah ini pun mengalami semua itu. Bahkan ikut melakukan beberapanya. Terutama yang terakhir; meludahi, mengencingi, dan memberaki. Sungguh, saya minta ampun untuk semua itu.

Mata saya makin memelototi diri sendiri. Mulai ujung kuku di kaki. Sampai bagian dada. Untuk melihat bagian leher sampai kepala saya mesti melihat cermin. Padahal, bagian leher dan kepala adalah pusat bagaimana dan siapa diri ini. Apakah ini yang menyebabkan saya sering melihat wajah manusia lain dibanding melihat wajah sendiri. Sering melihat mata, telinga, mulut, dan kepala orang lain dibanding melihat diri sendiri. Karena mata ini jarang melihat cermin? Dan sering saya melihat orang lain dengan kesenangan, kebahagiaan, bahkan kepuasan, jika melihat orang lain memiliki kekurangan? Astagfirullah. Ampuni saya.

Padahal, saya dan mereka sama-sama tanah. Selain tumbuhan, banyak binatang yang tinggal di diri ini. Karenanya tak jarang saya bertingkah, berlaku, bersikap, dan memiliki insting seperti binatang. Kemampuan akal dan berpikir dalam diri ini, sering saya abaikan penggunaannya. Padahal, selain ketaqwaan, hanya ini yang membedakan saya dengan binatang-binatang itu.

Saya sering menyebut mereka anjing, babi, kunyuk, monyet, bangsat, kampret, buaya, ular, dan nama-nama binatang lain. Padahal semua itu pun ada pada diri saya. Binatang-binatang itu hidup dalam tanah ini. Dalam diri ini. Jika orang-orang melihat diri ini dalam bentuk manusia dan berwajah manusia. Itu hanya kebetulan saja. Sebab, sesekali binatang-binatang dalam diri ini akan menampakkan diri. Satu persatu. Bergantian.

Lihat saja, suara dan kata-kata yang keluar dari mulut saya terkadang seperti gonggongan anjing. Malah mirip nyalak serigala. Bahkan terkadang melebihi. Karena bisa ularpun terkadang keluar dari mulut ini. Tak sedikit orang-orang yang sakit karena bisa dari mulut ini. Kuku-kuku serigala, harimau, dan macan, pun tak ketinggalan menjelma menjadi kuku-kuku saya. Merobek dan melukai orang lain.

Kelakuan saya pun sering menggunakan hukum rimba: memakan siapa saja yang lebih lemah dan tak berdaya dibanding diri ini. Ya, perut ini adalah perut binatang. Gigi-gigi ini adalah gigi-gigi binatang. Ada kepuasan dalam diri ini ketika orang lain berada di bawah saya. Sungguh, teramat binatang diri ini.

Namanya binatang, terkadang punya rasa sayang. Seperti kucing yang meneteki anak-anaknya. Angsa-angsa, ayam-ayam, beburung yang memberikan makan pada anak-anaknya. Memberikan perhatian pada mereka yang disayangi. Sayangnya, rasa sayang ini pun terbatas pada mereka yang dikenal dan dekat. Sayang dalam diri ini jarang diberikan pada orang lain. Pada semua makhluk. Saya masih seperti binatang. Memberikan sayang, kepedulian, dan perhatian hanya kepada mereka yang saya suka dan inginkan saja. Malah, kepada mereka yang lain, yang saya tidak suka, yang berbeda, tak sungkan untuk mengintimidasi. Bahkan melukai dan menyakiti.

Ya, saya masih memilah dan memilih siapa saja yang akan saya sayangi. Padahal sayang mestinya untuk semua. Tak pandang apakah ia manusia, binatang, ataukah tumbuhan. Sebab semuanya sama sepertu saya; berasal dari tanah. Entah kepada mereka yang diciptakan dari cahaya dan api seperti malaikat dan iblis. Saya jarang, bahkan tak pernah melihat fisik mereka. 

Meski tak boleh, terkadang saya iri dengan malaikat dan iblis. Mereka yang diciptakan dari cahaya dan api sudah jelas kehidupannya. Malaikat yang hanya terus menyembah Tuhan. Iblis yang akan terus menjauhkan manusia dari Tuhan. Mereka sudah jelas untuk apa diciptakan dan akan bagaimana menjalani kehidupan. Sementara saya yang diciptakan dari tanah ini, sering kehilangan arah dan tidak tahu kenapa saya diciptakan. Malah, sering lupa asal muasal saya diciptakan. Semuanya menyebabkan saya jauh dan semakin jauh dari Tuhan.

Ketika ingin mendekati Tuhan, setidaknya membuat lebih dekat, saya sering lupa bahwa saya diciptakan dari tanah. Sering saya merasa sebagai langit yang berada di ketinggian. Tak jarang saya berlaku seperti binatang. Dan ketika saya melakukan kesalahan, selalu saja iblis yang saya jadikan kambing hitam. Padahal, menyakiti orang, mengecewakan orang, dan hal-hal yang merugikan orang lain adalah kelakuan saya. Perbuatan saya. Bukan perbuatan iblis. Apakah ini keberuntungan yang lain; ada iblis yang bisa dijadikan kambing hitam untuk disalahkan.

Ya Tuhan, sungguh tanah-Mu bernama manusia ini, sering lupa dan khilaf. Maafkanlah. Terimakasih atas anugerah tangan, kaki, perut, mata, mulut, telinga,dan segala yang ada di tubuh ini. Termasuk dengan otak, akal, dan pikiran yang ada di kepala ini. Tak ketinggalan, terimakasih atas segala hidayah, taufik, rahmat, dan segala cinta yang Kau berikan dalam dada ini. Dalam hati ini. Izinkan saya bercermin. Melihat binatang-binatang yang ada, lahir lalu tumbuh, dan tinggal di diri ini. Agar saya bisa pelihara mereka dengan baik. Menjaga agar mereka tidak liar dan buas lalu menampakkan diri kepada orang lain lewat diri ini. Ampuni saya Tuhan.

Sawangan Baru

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)