Modal Dengkul, keringat, dan otak

Membaca tulisan Bondan Winarno seperti menonton film-film action. Ketika seorang antagonis menginginkan sebuah tatanan dunia baru (new world order). Para "bad man" dan "bad boy" itu membuat dunia chaos untuk kemudian menggantikannya dengan yang baru. Tentu saja dengan keadaan yang lebih baik versi mereka. Ya, seperti revolusi, tapi ekstrem.

Begitupula dengan "Modal Dengkul" karangan tokoh yang terkenal dengan "maknyus" dalam bukunya "Seratus Kiat Jurus Sukses Kaum Bisnis" ini. Diceritakan tentang lingkungan sangat kumuh di New York pada 1974. Di bagian timur Manhattan. Ditinggali golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Begitu rendah, yang suatu hari api melumat habis flat nomor 519 di East 11th street di situ. Singkat cerita, para kepala keluarganya "ngeriung". Mereka kehilangan tempat tinggal tapi tidak kehilangan semangat. Api (musibah) yang membakar habis tempat tinggal mereka ternyata ikut membakar semangat untuk berbenah. Hingga lahirlah sebuah koperasi.

Berbekal pinjaman lunak dari pemerintah sebesar 176.800 dolar mereka bangkit. Tentu saja, uang segitu tak cukup untuk membangun sebuah "kampung". Pemerintah pun menegaskan itu dengan berharap agar mereka memungut modal sendiri dari koperasi. "Harus ada jalan keluar!" menjadi motto. Kesepakatan pun terjadi. Mereka (para anggota koperasi) akan bekerja bersama-sama membangun "kampung". Termasuk rela dibayar rendah. Tiga dolar perjam, jatah mereka tak dibayar penuh. Dari 40 jam kerja seminggu, hanya dibayar 32 jam. Sisanya itu yang kemudian dijadikab modal sendiri seperti yang diinginkan pemerintah. Keringat mereka dihargai sebagai modal dalan arti yang sebenar-benarnya.

Ternyata, setelah dihitung dan bangunan selesai, modal keringat para anggota koperasi itu mencapai 189.600 dolar. Dengan cara itu, koperasi dapat menetapkan tarif sewa apartemen berisi dua kamar tidur dengan lebih murah. Yaitu 175 dolar perbulan. Tak hanya itu, mereka pun mempelopori penggunaan tenaga angin yang dikonversi menjadi listrik untuk tempat tinggal yang mereka bangun. Lalu mereka dengan bangga bilang: "di New York, saat ini terdapat tiga pembangkit tenaga listrik: Brooklyn Union Gas, Con Edison, dan 519 East 11th street".

Gerakan mereka kemudian diikuti kelompok dan masyarakat lain. Hingga timbul 1.350 koperasi perumahan model begitu. Modal keringat. Kalau di Indonesia sepertinya sama dengan modal dengkul. Sayangnya, sering dikonotasikan negati, bahkan menjadi olok-olok serta sinisme. Beruntung, Indonesia punya presiden ke-empat yang mengatakan bahwa beliau menjadi presiden bermodal dengkul. "Itupun dengkul Amien Rais," tegasnya. Ya, beliau adalah Abdurahman Wahid alias Gusdur.

Gusdur seperti ingin mengingatkan dan membuktikan bahwa manusia adalah sumber daya yang penting dalam setiap pembangunan. Ambik contoh negara lain, Jepang, misalnya. Ketika Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom, Jepang Remuk. Meski tak punya banyak sumber daya alam, mereka bisa bangkit. Dan kuncinya adalah sumber daya manusia yang lengkap dengan dengkul, keringat, dan otaknya. Bahkan konon, banyak orang Amerika menyesali pengeboman di negeri sakura itu. Lantaran bila Jepang tidak dibom pada 1945, mungkin pertumbuhan mereka tak semaju sekarang.

Bagi banyak orang Amerika mungkin menyesal, tapi bagi Indonesia, konon pengeboman itu pula yang memberi celah dan kesempatan agar proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan yang kemudian berbenah dalam pembangunan infrastruktur. Dan terlihat, pembangunan infrastruktur yang diharap bisa ikut meningkatkan kualitas manusianya, mampu membuat IPM (indeks pembangunan Manusia) Indonesia meningkat.

Pada 2017 IPM Indonesia masuk dalam kategori High Human Development di angka 70,81. Naik 0,63 poin dari tahun sebelumnya. Ya, IPM yang memiliki tiga kategori (umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak) dan bisa menjadi indikator kualitas hidup manusia Indonesia meningkat, tapi tentu saja masih menyisakan PR yang mesti diselesaikan.

Ya, setidaknya, usaha pembangunan manusia Indonesia tidak mesti dilakukan lewat "pengeboman" atau "kebakaran" terlebih dahulu. Itu yang mesti disyukuri terlebih dahulu. Tentu saja syukur dalam arti positif: terus menginstropeksi, memperbaiki, dan membenahi segala macam yang perlu dirapikan. Termasuk modal dengkul, modal keringat, dan modal otak yang perlu dipertimbangkan dengan serius untuk digunakan dengan santai.
Sawangan Baru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)