Mengenal diri agar Mengetahui Allah lewat Sastera dan Kesusasteraan (bag. 3)
Al-Quran semacam Adi-Sastera.
Makrokosmos dan mikrokosmos merupakan salinan teks yang sama. Karenanya manusia (alam besar maupun kecil) sama-sama dipandang sebagai urutan huruf. Dan ini mengandung bunyi. Lebih dalam lagi, mengandung makna. Kemudian mengandung ilmu dengan tingkatan-tingkatannya.
Cara menguasai ilmu tersebut ialah dengan pembacaan. "Iqro". Membaca ke dalam teks hingga mencapai dan mengenal Absolut Realitas Tertinggi. Pembacaan yang dimaksud adalah pembacaan meditatif. Penghayatan. Sebab, kehidupan (jagat raya dan manusia) adalah "naskah" atau salinan teks-teks suci. Seperti Al-Quran dan dzikir (syahadat, Asma Allah). Dan puisi merupakan salah satu persuratan dan penciptaan, menjadi yang paling dekat dengan Al-Quran.
Kaidah-kaidah puisi memungkinkan manusia untuk menghayati "intipati azali" yang merupakan wujud dalam bentuk batin. Bentuk yang belum dinyatakan dan disingkapkan atau dilahirkan. Keberhasilan (kesempurnaan) setiap penghayatan, ditentukan oleh sejauh mana si penyair berhasil mendekati "intipati azali", "kebenaran semula", "citra semula" dari motif.
Jalaluddin As-Suyuti dalam Kesempurnaan Dalam Ilmu-Ilmu Tentang Al-Quran. Bab tentang I'jaz Al-Quran mengatakan bahwa Al-Quran sebagai teks yang tak dapat ditiru dan tak berbanding, tampil sebagai penampung arti (ma'ani) yang diucapkan dengan kata (alfaz). Termasuk struktur arti dan struktur kata, semuanya merupakan yang terbaik. Dari segi ilmu puitika dan retorika, Al-Quran semacam penjelmaan "adi-sastera". Al-quran menjadi teladan kesusasteraan. Yaitu sebagai perbendaharaan "intipati semula", "citra semula", dan "kesempurnaan semula".
Puitika Sufi membangun sebuah tingkat baru di atas puitika Arab Klasik, yaitu tingkat mistik yang berupa ajaran mengenai kata (kalam) "al-a'la" yang termaktub di dalam teks suci maupun di dalam puisi yang ditafsir secara simbolik. Sederhananya, puitika tasawuf mengaitkan Al-Quran dan sastera dengan lebih erat. Seperti Jalaluddin Rumi yang hidup di abad XIII.
Rumi membandingkan Al-Quran dengan kekasih yang berpurdah, sebagai kejelitaan. Yaitu makna yang diselubungi dengan pakaian (kata-kata). Rumi pernah menulis tentang penyair yang sempurna, sebagai berikut:
"Dia mesti menyediakan meja perayaan dari sajak pujiannya agar supaya penuh dengan pelbagai hidangan. Jangan ada tamu, walau seorang pun, yang tinggal lapar. Di meja itu masing-masing seharusnya mendapat makanan. Meja itu bagai Al-Quran. Maka Al-Quran merangkum tujuh pikiran. Al-Quran dipakai dan dinikmati oleh siapapum. Rakyat jelata hingga yang arif" (Asal-usul Sastera Turki. I. Jalaluddin Rumi. 1979)
Dalam puitika sufi, kesusasteraan seolah-olah terpancar dari Teks Suci (Al-Quran). Sambil memindahkan struktur-struktur falsafinya, beserta motif-motif dan citra-citra. Selain itu, dalam proses "renungan diri" kesusasteraan mengekalkan hubungan yang selaras dengan makro- dan mikrokosmos, serta tetap "menyerupai" manusia. Dan itu didasari oleh peringkat estetika yang dikuasai emosi "intelectualized" dan teratur.
Kesusasteraan sebagai emanasi estetik dari kitab suci (Al-Quran) memberi pengaruh pada akal dan sekaligus juga pada perasaan pembacanya. Karenanya kesuasteraan menjadi salah satu alat penting bagi pembentukan psikologi sosial. Misalnya, kasidah bentuk puisi Arab yang mengambil manusia sebagai pokok materi. Dengan kata lain: kasidah adalah manusia. Ini seperti pendapat Al-Hashimi dan Ibn Rashiq.
Teks yang mengibaratkan kasidah dengan tubuh manusia ini menyebut tiga genre puisi Arab Klasik yang terpenting, dan yang sekaligus menjadi bagian-bagian utama dari kasidah: "nasib" (sajak cinta pada permulaan kasidah), "hijah" (cemooh), dan "madh" (sanjungan). Dan jika bagian-bagian ini digabungkan, akan menjadi model kecil bagi seluruh puisi Arab dengan genre-genrenya.
Hal ini ditegaskan oleh Ibn Rashiq yang mengatakan; "segenap pyisi terdiri dari dua jenis: madh dan hijah. Madh adalah asal "risa" (ratapan), "fahr" (sanjungan kepada diri sendiri), "tasybib" (sama dengan nasib) dan segala "wasf" (deskripsi), serta segala apa yang memperbaiki akhlak, seperti ungkapan-ungkapan kebijaksanaan, nasihat, kata-kata tentang kefanaan dunia dan zuhud. Adapun hijah ialah segaka yang sebaliknya dari itu.
Bersambung.....
Komentar
Posting Komentar