Fanatisme dan chauvinisme (bag. 2)
Eksistensi seseorang terkait dua hal. Memiliki (to have) dan menjadi (to be). Apa yang dimiliki dan apa menjadi apa, tak jarang menjadi barometer dan ukuran bagaimana orang lain memandang seseorang. Ya, orang-orang macam ini masih bergantung dan melihat pada dua hal juga. Pertama, apa yang dimiliki dan jadi apa menjadi ukuran seseorang di mata orang lain. Baginya, kedua hal ini menjadi modal untuk eksistensi dirinya. Lalu kedua, ada harap, fantasi, atau keinginan orang lain menganggapnya ada karena kedua hal tersebut.
Ketika seseorang sudah merasa, lalu meyakini (apa yang dimiliki dan menjadi apa) sebagai kebenaran tunggal dan paling benar akan melihat yang lain sebagai yang salah. Dan orang-orang yang terjebak pada fanatisme akan selalu menolak hal-hal yang beda. Menampik pendapat orang lain. Baginya, pemdapat dan keyakinannyalah yangbpaling benar. Selainnya tidak benar. Terlebih jika keyakinannya itu terkait emosional.
Dalam ilmu psikologi ada teori yang mengatakan: ketika emosional seseorang meningkat, maka daya nalar dan kritisnya menurun. Sebaliknya, jika nalar dan kritisnya meningkat, emosionalnya menurun. Ini terkait dengan pikiran dan perasaan yang mesti seimbang. Perasaan itu labil dan rapuh, maka pikiran yang akan menguatkan. Pikiran itu keras, perasaanlah yang akan melembutkan.
Pikiran dan perasaan berperan penting dalam keputusan seseorang untuk bersikap. Di sinilah urgensinya menjaga keseimbangan antara pikiran dan perasaan. Dan ini, bagi orang-orang yang fanatik sering tidak berlaku.
Jalan fikiran mereka yang fanatik tertutup perasaan. Terhalang emosional. Bisa dikatakan itu bermula dari perasaan dan anggapan sendiri bahwa orang lain yang berbeda pandangan dan pendapat tidak menyukai dirinya, dan bahkan mengancam eksistensi dirinya. Perasaan ini berkembang sedemikian rupa sehinga menyebabkan frustrasi. Frustrasi menumbuhkan rasa takut dan tidak percaya kepada orang lain.
Hal negatif lain selanjutnya adalah perasaan itu (tidak sukanya orang lain, anggapan orang lain sebagai ancaman, frustasi, takut, tidak percaya pada orang lain) berkembang menjadi rasa benci kepada orang lain. Sebagai orang yang merasa terancam maka secara psikologis ia terdorong untuk membela diri dari ancaman, dan dengan prinsip lebih baik menyerang lebih dahulu daripada diserang, maka orang itu menjadi agressif. Misalnya pandangan seseorang tentang ajaran agama.
Baginya (orang fanatik) tidak ada ajaran agama yang benar dan paling benar selain agamanya. Ketika ini menyentuh ranah publik, negara misalnya, maka ia akan berhadapan dengan pandangan-pandangan lain yang berbeda. Ketika perbedaan itu dianggap sebagai ancaman, maka formula tadi (tidak suka, tidak percaya, ancaman dan seterusnya) akan terjadi. Ia akan mengarah pada agresifitas.
Misalnya mendirikan negara khilafah. Orang-orang yang fanatik akan hal ini, bisa dikatakan akan menyerang hal-hal dan pihak-pihak yang dianggap sebagai ancaman. Pemerintah, organisasi-organisasi, dan setiap orang yang berbeda akan diserang. Cara yang digunakan bermacam-macam. Termasuk konsep NKRI bersyariah yang digaungkan Rizieq Shihab.
Sebagai muslim, ketika mendengar hal-hal terkait agama yang saya yakini, tentu akan tertarik. Pun sepertinya orang islam (fanatik, belum, dan tidak) akan begitu. NKRI bersyariah yang digaungkan imam besar FPI sejak masa pilpres 2014 itu terkesan seperti mengatasnamakan Islam. Karena menggunakan simbol dan kata yang erat dengan islam, yaitu syariah.
Sayangnya, konsep dan gaung NKRI bersyariah membuat saya seperti makan makanan kesukaan. Begitu nikmat di lidah dan mulut. Sayangnya, ketika hendak menelannya. Makanan itu terhenti di tenggorokan. Lantaran ada yang belum selesai. Ada yang belum tuntas.
Seperti Denny JA dalam esainya yang berjudul $NKRI Bersyariah ATAU Ruang Publik Yang Manusiawi? Denny JA seperti seorang perempuan kritis terjdap pacaranya yang meminta kepastian. Bagaimana kerangka konseptual dari gagasan “NKRI Bersyariah". apa yang dimaksud dengan kata “syariah” dalam frase “NKRI Bersyariah?” Apakah syariah yang dimaksudkan adalah syariah simbolik-partikular atau syariah substantif-universal?
Termasuk pertanyaan lanjutan secara operasional. Apakah yang dimaksud dengan NKRI Bersyariah itu adalah model pelaksanaan syariah di Arab Saudi, Republik Islam Iran, rezim Taliban di Afganistan, ataukah model pelaksanaan syariah di Turki, Malaysia, Pakistan?
Bersambung....
Komentar
Posting Komentar