Bisa Jadi: Fanatisme dan Chauvinisme (bag. 1)
Ketika asik malam mingguan di puncak sambil menikmati jagung bakar dan sekuteng, tiba-tiba Kia bertanya pada Kulub: "kenapa Kia seperti orang fanatik ya?" Kia pun menjelaskan tentang apa yang ia pikir dan rasakan terhadap Kulub.
Itu bersumber dari rasa cinta, sayang, dan begitu nyamannya ia berada di dekat Kulub. Apapun yang dilakukan selalu menghadirkan kesenangan, kegembiraan, dan kebahagiaan. Meski tak menampik, terkadang mereka terlibat debat lantaran beda pendapat dan pikiran. Tapi debat itu selalu menemui jalan keluar. Dan membuat keduanya semakin yakin dengan arah dan tujuan mereka ke depan sebagai suami istri.
Kulub pun merasakan hal yang sama. Ia menegaskan itu. "Sepertinya, kenapa rasa nyaman itu hadir, karena rasa takut dalam diri kita berdua tertutupi. Dan harapan kita terpenuhi," terang Kulub.
"Seperti Al-khauf dan Al-Roja, ya Kak?"
Kulub mengatakan; bisa jadi. Setiap manusia memiliki ketakutan. Itu fitrah dan naluri dasar. Dan itu membuat seseorang akan mencari tempat atau sesuatu yang bisa melindunginya dari rasa takut. Ada proses. Ada hal yang ditempuh untuk menutupi.
"Ada memiliki (to have) dan menjadi (to be)," lanjut Kulub yang menjelaskan rasa takut yang dimiliki manusia memang bawaan orok. Bawaan lahir. Dan tentu saja itu tidak bisa dihilangkan tapi bisa diredam atau dihalau.
Proses menjadi (to be) itu kembali ke diri seseorang. Apakah ia akan terus memilih menjadi takut atau tidak. Dan tentu saja, fitrah manusia juga akan berusaha menghindari dan melawan kelemahan-kelemahan dalam diri, bukan?
Kulub mengingatkan Kia untuk hati-hati. Jangan tergelincir pada terlalu. Terlalu takut atau terlalu berani. Ini bahaya. "Kalau sudah terlalu seperti itu, justeru akan lebih condong kepada fanatik," lanjut Kulub sambil menghisap Pilter setelah menyeruput sekuteng.
"Fanatik bisa disebabkan banyak faktor. Diantaranya rasa takut. Terlebih rasa takut yang berbenturan dengan realitas," jelas Kulub yang langsung diminta Kia menjelaskan lebih jauh maksudnya.
"Begini. Kakak mau cerita tentang seorang anak muda dengan optimisme tinggi memandang masa depan. Optimismenya saat itu, menutupi rasa takut. Karena memang begitulah optimisme." Kulub nerhenti sejenak untjk menghisap rokoknya. Kia menyeruput sekuteng. Angin dan udara puncak memang menuntut sesuatu yang hangat.
"Selain itu, ada harapan di situ. Dan harapan juga sama seperti optimisme: meredam rasa takut. Sayangnya, tak jarang, justeru realitas yang dialami berkebalikan dengan apa yang diharapkan. Mulailah kekhawatiran dan kecemasan yang bagian dari rasa takut itu muncul. Ini fitrah." Kulub menawari lagi Kia jagung bakar. Kia menolak.
"Nah, hingga pada titik tertentu. Titik ketika takutnya memuncak. Seseorang mulai mencari sesuatu yang bisa meredam semua itu agar bisa tenang. Ya, tenang. Dan perlu Kia ingat, Proses pencariannya itu pun fitrah. Seseorang akan melawan rasa tidak enak yang mengganggunya, bukan?" Kia masih diam. Ia terus memandang calon suaminya.
"Misalnya, Kita. Kita sama-sama takut kehilangan, makanya kita berusaha melakukan apapun agar tidak terjadi kehilangan. Kita menjaga komunikasi. Sering berinteraksi. Dan hal-hal lain yang membuat kita semakin jauh dari kehilangan. Dan ketika itu terjadi, ketika kita semakin jauh dari kehilangan, lahirlah rasa nyaman. Lahirlah keyakinan. Lahirlah pandangan bahwa Kia memang yang terbaik buat Kakak dan Kakak yang terbaik buat Kia."
"Kakak, bukan lagi ngegombal, kan?" ledek Kia.
"Hadehhhh, nih cewek atu kayaknya minta dibully nih," seloroh Kulub lalu serius kembali menjelaskan pandangan dan keyakinan tadi, perlahan membuat mereka memiliki satu pandangan terhadap kebenaran.
Kia tak tinggal diam. Ia pun menoba memberi contoh yang lain. Kia menyebut lapar. Ketika seseorang lapar maka yang dicari adalah yang bisa membuat kenyang. Begitu juga dengan haus dan minum. "Seperti itu bukan, Kak?"
"Bisa jadi," timpal Kulub lalu kembali bersuara tentang pandangan seseorang terhadap sesuatu. Termasuk agama, politik, dan hal-hal lain. Sayangnya, bagi Kulub, pandangan dan keyakinan tentang sebuah kebenaran itu tak jarang malah menggelincirkan. Terlebih jika didasari dengan merasa dan meyakini pandangannya tersebutlah yang paling benar. Dan tidak berusaha juga tidak mau mencari sumber kebenaran yang lain. Di titik itulah awal mula terbentuknya fanatik atau fanatisme alias pandangan yang berlebihan terhadap sesuatu yang diyakini benar. Alias merasa dan meyakini paling benar.
Kalau hanya untuk pribadi, tidak sampai termanifestasi pada sikap dan perilaku bersosial terhadap orang lain, ini tidak soal. Sebab, kalau sudah keluar dari ranah pribadi, maka akan berbeda. Kebenaran menjadi relatif. Sayangnya, merasa paling benar yang kemudian menjadi fanatik, melihat selain dirinya hanyalah sebagai yang lain. Yang berbeda.
"Nah, seseorang ketika berhadapan atau menemui yang berbeda dan lain dari dirinya akan bersikap dengan dua hal: pertama, menerima dan menjangkaunya. Kedua, menjauh dan menjaga jarak," tegas Kulub yang ditimpali Kia dengan menyatakan masih bagus kalau hanya menjaga jarak. Sayangnya, sikap defensif itu sering berubah menjadi ofensif. Yang bersangkutan akan berusaha melawan pandangan yang lain. Tak jarang, akan memaksa. Bahkan berlaku merusak dan bersikap destruktif terhadap yang beda.
Kia diam. Senyum tiga detik. Lalu, "Kak, Kia menduga, bisa jadi, itulah yang menyebabkan pertikaian, konflik, bahkan perang, ya Kak. Karena tidak bisa menerima perbedaan. Karena merasa dirinyalah yang paling benar. Terlebih jika itu terkait agama".
"Bisa jadi. Sebab agama bagi sebagian orang adalah hal final. Tidak bisa diganggu gugat sedikitpun. Makanya, agama menjadi hal yang sensitif. Kalau kata orang betawi: senggol bacok."
"Fanatisme jika dihubungkan dengan negara bisa jadi ada hubungannya dengan chauvinisme dong kak?"
"Bisa jadi. Ya karena berlebihan itu tadi. Makanya kita diajarin melihat sesuatu itu yang sedang-sedang saja. Di tengah-tengah saja. Khoirul umuuri ausathuha. Dan yang terpenting, kita diajari: hubbul wathon minal iman."
"Terus kalau kia gimana, yang udah fanatik sayang dan cinta ke Kakak?"
"Tepok jidat, mulai deh gombelnya." Kulub mengacak-acak jilbab yang menutupi kepala Kia dengan usapan tangannya. Tentu tidak sampai merobek dan membuat berantakan jilbab Kia.
"Kan tadi Kakak, dah bilang, sayang. Kalau terbatas pada diri, pada keyakinan diri sendiri. Itu bukan soal. Seperti kita, kalau keyakinan sayang dan cinta fanatik tadi hanya terbatas pada dan untuk diri kita berdua, ya gak apa-apa. Malah bagus. Tapi ya itu, jangan sampai apa yang kita yakini paling benar tadi, diluapkan juga ke orang lain. Karena pasti berbenturan. Nah, orang fanatik biasanya tidak suka dengan perbedaan. Dia akan menolak bahkan melawan. Makanya yang ada malah konflik."
"Padahal akan lebih bijak jika melihat perbedaan sebagai fitrah juga. Perbedaan, keragaman, dan kemajemukan, itu fitrah manusia juga kan, Kak, dalam posisinya sebagai makhluk sosial. Kecuali kalau dia hidup sendiri, tak ada yang lain. Dan semua itu seharusnya diterima. Bukannya menjauh. Disinilah diperlukan pikiran dan hati yang terbuka. Karena kebenaran itu memiliki banyak sudut pandang."
"Ki, semakin ke sini, Tlsemakin terlihatvkualitas Kia. Memang sudah pantas jadi ibu dari anak-anak Kakak."
"Ah, Kakak." senyum Kia makin mengembang. "Kak, kia makin sayang ke Kakak ketika Kakak banyak omong seperti ini. Jujur, hal kayak ginilah yang salah satu Kia kangenin dari Kakak."
"Hadeh. Tepok jidat."
Sawangan Baru
Komentar
Posting Komentar