Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)

(Sistem Kesusastraan Sufi Melayu)

Dalam tradisi Sufi, pembentukan sistem karya sastra adalah sejumlah pemahaman tertentu tentang proses penciptaan yang "meniru" paradigma penciptaan Allah, yaitu penciptaan melalui manusia.

Dalam tradisi budaya Islam manapun, tradisi sufi Melayu menganggap hanya Allah saja sebagai Pencipta sejati. Ilmu Allah mengandung ide-ide umum (ayan sabita) tentang semua benda. Kodrat-Nya sebagai Rahmat. Kemudian Rahmat-Nya menampilkan ide-ide umum tersebut sebagai benda-benda dalam alam syahadat (dunia ciptaan).

Menurut Vladimir Braginsky dalam Tasawuf dan Sastera Melayu, ada dua proses dan tahapan yang dialami manusia dalam proses penciptaan tersebut. Pertama, tahap reseptif. Pada tahap ini manusia mampu menerima pancaran tenaga kreatif Allah yang menyerupai cahaya. Nur Muhammad.

Ya, Nabi Muhammad adalah logos azali. Logos bisa berarti, kata, jejak, langkah, pandangan, dan ilmu. Pancaran Cahaya Muhammad itu turun dari Allah. Lalu melimpah ke dalam kalbu nurani (sirr/rahasia) manusia, penyair atau hati safinya (hati/jiwa yang tulus, murni). Cahaya Muhammad atau cahaya nurani itu bisa berupa ilham dan ide yang kreatif. Cahaya yang "menyinari" itulah yang kemudian menjadikan nyata ide-ide umum yang terkandung di dalam kalbu rohani. Selanjutnya ide umum seolah-olah bertransformasi di hati jasmani (fisik) di alam hayal. Di dunia imajinasi manusia. Di dunia akal manusia. Dan ini kemudian menjadi sebuah ide khusus atau ide citra (makna, arti, isi). Penggambaran sesuatu yang memiliki makna, arti, dan isi. Ide-citra dalam dunia hayal, imajinasi, dan ide manusia inilah yang kemudian membentuk "struktur mental". Struktur mental dari sebuah karya sastra yang belum jadi (atau masih dalam potensi saja).

Ini seperti konsep Al-Imam Al-Ghazali dalam mencari kebenaran dan pengetahuan. Al-Ghazali menegaskan tentang kebenaran dan pengetahuan hakiki yang berupa Nur Muhammad. Cahaya Muhammad yang hanya bisa diterima oleh hati.

Tahap kedua adalah tahap agentif. Ini adalah tahap proses penciptaan. Selama masa pengarangan, penyair menyesuaikan "struktur mental" yang ada dalam dunia imajinasi, ide, dan hayalnya tentang sesuatu. Kemudian itu dituangkan dalam bentuk karangan. karangan tersebut tentunya dituangkan dengan kata-kata yang ditulis atau berbunyi (bunyi, lafz). Tahap pada proses ini membentuk struktur yang disebut struktur verbal. Di tahap inilah seseorang menghasilkan sebuah karya (karangan, rencana, dll) sebagai sesuatu yang sudah jadi atau sudah ada (aktual).

Maka sifat karya sastra paling mustahak (pantas) ialah terletak pada kesempurnaan (kamal) rohani dan manfaat (faedah) yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Selain itu, Vladimir menambahkan bahwa karya sastra yang berhasil dalam tradisi mistik Islam adalah karya yang mengandung makna agama, mistik, atau makna didaktik. Dan tentu saja itu tersembunyi di dalam struktur karangan yang paling hakiki. Dan yang tak kalah penting adalah karya tersebut bisa diterima oleh kalbu rohani dan akal pembaca.

Selain itu, yang tak bisa dikesampingkan dalam karya sastra adalah sisi keindahan. Yakni penjelmaan keelokan Ilahi yang dapat dirasakan dengan pancaindera dan dikenali dengan jiwa atau hati pembaca. Pun pengarangnya. Dengan demikian, proses penciptaan akan menghasilkan sebuah sistem kompleks dari "keselarasan dan ketidakselarasan" dalam pandangan penciptaan manusia. Ada dua hal yang dilihat sejajar dalam proses penciptaan manusia dalam karya sastra. Dua sisi yang sejajar. Satu sisi adalah penciptaan Tuhan. Sisi yang lain adalah penciptaan manusia.

Dari sisi Tuhan; Pencipta (khalik) yang tidak dinyatakan, di sisi penciptaan manusia; berupa Nur Muhammad yang (bisa) dinyatakan. Sisi Tuhan, berupa Ide-ide umum, sisi manusia berupa ide-ide citra khusus (makna, arti, isi). Sisi Tuhan berupa Struktur mental, sisi manusia berupa struktur verbal (lafz, bunyi). Sisi Tuhan berupa Kamal (kesempurnaan), di sisi manusia berupa manfaat (faedah).

Keselarasan antara; persepsi dengan kalbu rohani, persepsi dengan akal, persepsi dengan jiwa akan membentuk "saluran" yang menghubungkan antara pengarang dengan Tuhan sebagai pemberi kreatif, pada satu pihak, dan dengan pembaca sebagai perseptor karya yang diciptakan, pada pihak yang lain.

Tak ketinggalan etika atau adab para Sufi dalam proses penciptaan, dalam proses mengarang, pun menjadi hal yang patut diperhatikan. Bagaimana adab para Sufi dalam membuat karangan? Akan kita bahas di bagian selanjutnya.

Allahu a'lam bisshowab

Pondok Labu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)