Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

(Menenangkan kegelisahan atas berita hoax, fitnah, dan propaganda di grup WhatsApp. Bag-3)


Dalam ilmu fikih, setiap pembahasan akan didahului oleh pengertian secara bahasa dan isthilah. "Lughotan wa ishtilahan". Kedua hal ini mesti diketahui agar benar-benar paham. 

Misalnya sholat. Pengertian secara bahasa (kata) berarti al-du'a alias doa. Ya, salat berarti doa. Berdoa. Doa berakar kata da'a-yad'u yang berarti memanggil. Bisa dikatakan, orang yang salat tengah berdoa memanggil Allah. Apakah pengertian ini cukup untuk menjelaskan tentang salat? Tentu saja tidak. Sebab kalau berhenti di situ, bakalan ada anggapan bahwa ketika kita sudah berdoa, maka kita sudah salat. Tentu ini keliru. karenanya, ada pemahaman yang mesti diketahui selanjutnya, yaitu secara istilah. Salat secara istilah adalah gerakan yang dimulai dari takbir dan diakhiri salam. Nah, pengertian istilah ini, mwmpertegas tentang apa itu salat. 

cara memahami dalam ilmu fikih ini, sepertinya relevan digunakan untuk memahami hal lain. Misalnya, memahami pesan berantai di group WhatsApp. 

Pesan apapun, terutama tautan portal online, tulisan seseorang, potongan video, gambar, dan lainnya, jika menggunakan metode pemahaman fikih ini, maka sepertinya bisa untuk melumpuhkan berita-berita hoax, fitnah, dan propaganda. Dan ini dibutuhkan kerja otak alias berpikir. Bukankah, salah satu yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah berpikir?

Sayangnya, pada dasarnya bawaan otak manusia cenderung dangkal, instan, dan dipengaruhi emosi. Ini bisa dibilang sistem terendah dari kerja otak. Nah, jika sistem ini yang dipakai dalam menanggapi setiap informasi yang datang ke WhatsApp (dan media sosial lainnya), maka hasilnya sangat diragukan. Tidak kokoh. Kalau meminjam istilah Al-Ghazali; tidak "burhani".

Tapi, otak manusia pun bisa berpikir secara mendalam, sistematis, dan perlahan. Boleh dibilang ini tingkatan yang lebih tinggi. Sistem kerja otak yang tak biasa. Sebab, sistem otak yang ini, memerlukan usaha dan upaya yang lebih dan tak biasa. Misalnya, ketika mendapat suatu informasi di WhatsApp, jika memakai sistem kerja otak yang ini, maka hasilnya akan lebih rasional.

Usaha lebih untuk melatih kerja otak pada sistem yang kedua ini sebenarnya tidak begitu berat, bahkan enteng dan ringan, terlebih jika dibiasakan, yaitu dengan bertanya. Ya, bertanya. Atau lebih tepatnya mempertanyakan perihal informasi yang ada di WhatsApp (dan media sosial lainnya) dengan kritis. 

Setidaknya ada dua hal yang perlu dilihat dan dipertanyakan dari setiap informasi yang datang. Dan ini lagi-lagi seperti metode penjelasan dalam ilmu fikih. Yaitu lughotan dan isthilahan.

Lughotan terkait kata-kata dan bahasa. Misalnya salat tadi. Hal ini, mesti dipahami dan dimengerti betul agar pembahasan dan diskusi soal salat bisa nyambung. 

Nah, terkait informasi di WA, maka perlu diperhatikan kata-kata kunci yang terdapat di dalamnya. Contohnya terjadi di Averose, Group alumni angkatan ke-28 pondok pesantren Al-Amien Prenduan yang saya ikuti. Kemarin, ada teman yang mengirim pesan berantai yang isinya soal kebohongan virus Corona. 

Untuk memahami pesan tersebut, mesti dilihat kata-kata kuncinya. Atau paragraf kunci. Saya ambil paragraf pembuka dari pesan berantai tersebut. (Saya tulis apa adanya hanya menambah tanda kutip, tanpa mengubah apapun,)

"Mereka ( Tenaga Medis ) cuma korban penipuan, semua ini settingan, bohongan. Virus Covid 19 H beneran ada, dan seperti flu lainnya, tapi lebih ringan, namun mudah menular karena sudah di tambahi asam amino 4x lipat."

Jika menggunakan pemahaman "lughotan" maka ada beberapa kata kunci di kalimat tersebut, yaitu: Tenaga Medis, Korban penipuan, Covid-19, dan asam amino. (Kalau mau ada yang menambahkan, silakan).

Dari kata-kata kunci tersebut, bisa diduga bahwa paragraf ini membahas soal Tenaga Medis yang menjadi korban dari kebohongan "settingan" virus Cofid-19. Terlepas dari kaidah penulisan (banyak kata yang tidak menggunakan kaidah kepenulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar), paragraf ini ingin menegaskan soal kebohongan (mungkin konspirasi) Covid-19. Bisa diprediksi, kalimat-kalimat selanjutnya berisi soal penguatan dari statemen atau pernyataan yang tertulis di paragraf ini. 

Nah, jika menggunakan berpikir kritis, setelah tahu kata-kata kunci, maka kalimat itu mesti dipertanyakan. Misalnya; apa yang buat Tenaga Medis jadi korban penipuan? Siapa yang menipu? Adakah buktinya? Kok, bisa Covid-19 dibilang kebohongan? Apa benar Covid-19 sama dengan flu yang lain? Apa itu asam amino? Siapa yang menambahi asam amino? Dimana ditambahinya? Untuk apa? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Nah, semua jawaban pertanyaan itu mesti didapatkan di paragraf-paragraf selanjutnya. Jika ada yang tak terjawab, maka pernyataan atau statement di paragraf tersebut perlu dipertanyakan kebenarannya. 

Pemahaman "lughotan" ini menjadi kunci agar ketika menerima pesan berantai yang isinya informasi, bisa dipahami maksudnya apa. Dan kita bisa membuat kesimpulan tentang pesan tersebut. 

Sederhananya, perhatikan kalimat yang dibaca. Pahami arti dari setiap kata yang menyusun kalimat tersebut. Tentukan kata kunci. Lalu buat pertanyaan-pertanyaan. Cari jawabannya. Lalu simpulkan.

Perlu dicatat, kata-kata ambigu alias kata-kaya yang punya lebih dari satu arti. Pun mesti diperhatikan. Misalnya dari paragraf di atas ada "flu lainnya". Sekilas, kalau dibiarkan, ini menjadi dua kata yang biasa saja. Tapi, jika menggunakan metode berpikir kritis, ini bisa menimbulkan pertanyaan; memang ada flu yang lain? Apa saja jenis-jenis flu? Kalau sama dan banyak jenis flu, kenapa namanya berbeda-beda? Dan pertanyaan-pertanyaan. Lain. 

Selanjutnya, adalah pemahaman "isthilahan". Secara bahasa ini berarti istilah. Tapi, dalam hal ini, saya mengartikannya dengan konteks. Ya, konteks.

Konteks terkait dengan alasan, latar belakang, landasan di balik munculnya sebuah pernyataan. Ini seperti landasan pemikiran pada skripsi. Sederhananya, kalau orang, seperti dalang. Wayang adalah pernyataannya. Layaknya pertanyaan siapa dalangnya? 

Konteks bisa berupa kejadian-kejadian, ideologi, atau hal-hal lain yang mendorong seseorang untuk melontarkan pernyataan tertentu. 

Kalau kita ambil contoh paragraf soal kebohongan Covid-19 tadi. Tanggapan dan sikap orang-orang akan berbeda tergantung dari latar belakang munculnya pernyataan tersebut. 

Nah, mengetahui dan memahami konteks, atau latar belakang, termasuk maksud tersembunyi dari informasi yang masuk ke WhatsApp menjadi sangat penting. Sebab ini bisa menggiring pada kesimpulan dan keputusan yang tepat. 

Endilalah, bicara soal pemahaman Lughotan dan isthilahan ini kok saya jadi teringat Gusdur (Allahu yarhamhu). Konon pada suatu acara, Gusdur sebagai salah satu pembicara tertidur. Najkan hingga mendengkur. Setelah tiba giliran Gusdur bicara, ia dibangunkan oleh orang di sebelahnya. Ajaibnya, Gusdur bicara lancar, jelas, dan nyambung dengan materi yang disampaikan pembicara-pembicara sebelumnya. Seolah Gusdur tadi tidak tidur. Padahal benar tidur. Usai acara, Gusdur ditanya seseorang. "Gus, kok sampeyan bisa nyambung dengan materi pembicara sebelumnya tadi. Padahal saya yakin banget, kalau sampeyan tadi tidur pulas. Kok bisa? Sampeyan punya ilmu ladunni ya?" 

Dengan santainya Gusdur bilang; "Ladunni opo toh? Saya tuh tadi perhatikan kata-kata terakhir dari pembicara sebelumnya. Wong saya yakin, apa yang dibicarakan setelahnya gak jauh-jauh dari itu kok. Karena capek dan ngantuk, ya saya tidur dulu," ucap Gusdur lalu tertawa. 

Jawaban Gusdur terkesan bercanda. Tapi, saya melihat Gusdur telah memahami materi, situasi, dan kondisi secara "lughotan dan isthilahan". Gusdur telah memahami kata-kata, istilah, definisi, dan konteks dari sesuatu.

Jadi, sebelum menyepakati atau tidak, mengiyakan atau tidak, mendukung atau tidak, dari pesan atau informasi yang datang ke WhatsApp, alangkah aduhainya jika diawali dengan dua pemahaman ini: "lughotan dan isthilahan".


Allahu A'lamu bisshowab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)