Belajar kepada Imam Al-Ghazali: Bagaimana Proses Terciptanya Ilmu Pengetahuan
(Catatan iseng perihal Ihya Ulumuddin bag-11)
Jangan heran, jika bertebaran kaum nyinyir di media sosial. Sebab, orang-orang seperti itu dari dulu sudah ada.
Pada zaman Yunani kuno ada kelompok orang yang dinamakan kaum Sofis. Mereka adalah orang-orang yang suka (mempertanyakan dan meragukan) menggangu siapapun yang punya pendapat. Tujuannya bukan untuk mencari kebenaran, tapi memang untuk menggangu saja. Al-Ghozali menyebut mereka dengan "safsatoh".
Dalam filsafat, memang ada aliran relativisme. Aliran ini, tidak mempercayai adanya kebenaran tunggal. Pun ada skeptisisme yang selalu meragukan dan mempertanyakan soal kebenaran sesuatu.
Imam Al-Ghazali pun pernah mengalami hal semacam ini. Hingga di titik puncak skepstinya itulah, Al-Ghazali mengalami krisis intelektual dan spiritual.
saat itu, Al-Ghazali mengalami goncangan batin yang dahsyat, sebab ilmu pengetahuan yang beliau miliki dipenuhi keraguan. Bukan Al-'Ilmu al-yaqini. Dalam Al-Munqidz Minad-Dholal, diceritakan Al-Ghozali mengalaminya selama dua bulan.
Alhamdulillah, Al-Ghazali perlahan sembuh dari skeptisisme, paham "safsatoh" yang akut ini. Tapi, ajibnya, beliau sembuh bukan karena kerja pikirannya. Bukan karena proses penalarannya. Bukan pula karena usaha logikanya. Tapi, karena ada "cahaya" Allah yang masuk ke dadanya. Ke hatinya.
Karenanya, Al-Ghazali menegaskan prinsip awal dan kunci segala ilmu pengetahuan adalah "Nurullah" cahaya Allah.
Jadi, ilmu pengetahuan itu terbentuk bukan karena kerja akal lebih dulu, tapi karena ada cahaya yang Allah "lemparkan" kepada manusia.
Sederhananya; sumber dan awal ilmu pengetahuan tercipta adalah karena ada cahaya Allah. Cahaya Allah itu kemudian diterima oleh manusia. Lalu akal dan logika manusia menerangkannya.
Cahaya Allah (Nurullah) itu seperti ide, Ilham, atau bisikan yang seringkali datang tiba-tiba. Pun bisa hilang sekejap mata. Dan datangnya semua itu pada manusia adalah salah satu bentuk rahmat Allah.
Al-Ghazali menegaskan: siapapun yang mengira bahwa ilmu pengetahuan hanya datang dari proses atau kerja otak, logika, dan nalar belaka, sesungguhnya itu hanya mempersempit Rahmat Allah yang maha luas.
Hal ini bisa ditemukan pada para novelis, cerpenis, penyair, atau sastrawan. Kebanyakan, dalam proses kreatifnya, mereka mendapat ide terlebih dahulu. Ide itu ditangkap. Lalu diolah sedemikian rupa oleh akal, nalar, dan logika hingga jadilah sebuah karya.
Perlu diingat, cahaya Allah ini adalah "gift" yang datangnya seringkali tiba-tiba. Manusia tidak bisa menentukan kapan cahaya Allah ini datang.
Tugas manusia terus mempersiapkan diri agar ketika cahaya Allah datang, serta merta langsung bisa ditangkap dan diterima.
Saya jadi teringat ketika mondok di Al-Amien Prenduan dulu. Saya sering kesal dengan kewajiban membawa buku dan pulpen ke mana pun. Tentu saja selain kamar mandi dan WC. Perintah itu dari Kiayi langsung.
Ternyata, di balik kewajiban itu, tersimpan kebaikan. kiayi Idris Djauhari (allahummagfirlahu) seakan-akan ingin saya bisa langsung mencatat "ide" ketika cahaya Allah datang. Ya, sepertinya, inilah jawaban dan penjelas atas kenakalan saya dulu.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana agar bisa mendapat cahaya Allah? Agar bisa mendapat ide?
Nabi Muhammad menegaskan agar kita menjaga jarak dengan urusan-urusan dan pengaruh-pengaruh duniawi. Terlebih yang bersifat materialis.
Misalnya, ketika kerja mencari nafkah. Kerja apapun. Tentu saja yang halal. Cahaya Allah akan sulit masuk ke dalam diri kita, jika dalam pikiran kita tujuan kita kerja hanya materi belaka. Sebaliknya, ketika kita kerja karena tujuan akhirat (ibadah, mengembangkan diri, mencari kebenaran, dll), kerja kita tanpa pamrih, cahaya Allah akan mudah datang.
Nah, rumus ilmu pengetahuan seperti inilah yang akhirnya mengembalikan ilmu-ilmu jaliyat; Hissiyat; dhoruriyat, dan aqliyat kepada posisinya semula: sebagai Al-'Ilmu al-yaqini.
Kepercayaan saya pada ajibnya kitab Ihya Ulumuddin pun utuh kembali. Terang lagi. Bahwa apapun yang ditulis Al-Ghazali dalam kitab ini adalah hasil dari proses pencarin beliau terhadap hakekat dan kebenaran ilmu pengetahuan.
Dan sepertinya, hal itu pula yang melandasi Al-Ghazali menempatkan ilmu sebagai pembahasan pertama dalam Ihya Ulumuddin.
Ya, Imam Al-Ghazali memulai Ihya dengan bab ilmu. Bahasan soal ilmu ini, Al-Ghazali membaginya kepada 7 bagian.
Bagian pertamanya membahas tentang keutamaan ilmu, pengajaran, dan belajar.
Asik dan ajibnya Al-Ghazali dalam membahas satu hal bisa dipastikan menyertai dalil. Ya, landasan logika yang dibangun Al-Ghazali dalam membahas sesuatu sangat berdasar. Ada dasar yang kuat.
Kalau dalam skripsi, tesis, atau disertasi ini semacam landasan dan kerangka berpikir.
Untuk keutamaan ilmu, Al-Ghazali menggunakan 15 ayat Al-Quran dari surat yang berbeda-beda.
Secara berurut, yaitu: Ali Imron ayat 18, Al-mujadalah ayat 11, Az-Zumar ayat 9, Fathir ayat 28, Ar-Ra'd ayat 43, An-Naml ayat 40, Al-Qoshosh ayat 80, Al-'Ankabut ayat 43, An-Nisa ayat 83, Al-A'rof ayat 26, Al-A'rof ayat 52, Al-A'rof ayat 7, Al-'Ankabut ayat 49, dan Ar-Rohman ayat 3 sampai 4.
Jika dibongkar, semua ayat-ayat itu memang berkenaan dengan keutamaan ilmu.
Menariknya, Al-Ghazali tidak memulainya dengan menjelaskan apa itu ilmu. Yang dibahas malah kedudukan dan posisi orang-orang yang berilmu. Terbukti dari landasan dalil yang dipakai yaitu surat Ali Imron ayat 18.
Al-Ghazali seperti ingin menunjukkan bahwa ilmu itu benda. Semacam alat. Benda atau alat tidak akan berfungsi jika tidak ada yang menggunakan. Terlebih jika tidak ada yang memiliki.
Quraisy Shihab dalam tafsirnya menyatakan orang-orang yang berilmu menjadi golongan nomor tiga setelah Allah dan malaikat yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah.
Landasan dan dasar kedua yang digunakan Al-Ghazali adalah surat al-mujadalah ayat 11.
Ini ayat masyhur di kalangan masyarakat. Tentang bagaimana Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu.
Untuk ayat ini, Al-Ghazali mengutip perkataan Ibnu Abas yang menyatakan bahwa ulama mempunyai 700 derajat di atas orang orang yang beriman. Dan jarak (tempuh) antara satu derajat dengan yang lain adalah selama 500 tahun.
Bisa dibilang, dua ayat pertama yang digunakan Al-Ghazali dalam membangun argumentasi atau dasar logikanya untuk membahas keutamaan ilmu adalah posisi atau kedudukan orang yang berilmu dan derajatnya.
Ini menarik. Tentu saja menggelitik keisengan saya. Pasalnya, tak jarang saya dinasihati agar dalam melakukan apapun mesti ada landasannya. Mesti ada alasannya. Seringkali landasan yang dimaksud adalah ilmu. Agar yang dikerjakan itu tidak asal. Tidak sembarangan.
Kenapa Al-Ghazali mengutarakan lebih dulu soal posisi, kedudukan, dan derajat orang-orang yang berilmu?
Keisengan saya bilang; ini terkait tujuan dan hasil. Ya, layaknya manusia, setiap kita biasanya akan lebih bersemangat dan bergairah ketika sudah tahu tujuan dan hasil dari apa yang dikerjakan.
Saya membayangkan ketika orang-orang yang bekerja pada hari gajian. Wajah mereka lebih sumringah. Lebih semangat kerja. Walaupun mungkin semangat dan sumringahnya hanya di hari dan tanggal itu.
Walaupun mestinya gajian tidak dijadikan tujuan dalam bekerja, tapi ini bisa menjadi semacam motivasi diri.
Karena termotivasi, para pegawai bisa lebih semangat, rajin, dan sungguh-sungguh dalam bekerja.
Ya, ini semacam motivasi. Al-Ghazali seakan menawarkan posisi, kedudukan, kemuliaan, keutamaan, dan derajat yang amat tinggi bagi siapapun yang berilmu: setelah Allah dan malaikat.
Al-Ghazali seperti seseorang yang menawarkan posisi yang tinggi kepada mereka yang berilmu. Logikanya, siapapun yang menawarkan sebuah posisi, ia berada di atas posisi yang ditawarkan. Atau setidaknya pernah merasakan berada di posisi itu.
Dan sekali lagi saya ingin pertegas, Al-Ghazali meyakini hanya yang masuk kategori Al-'Ilmu al-yaqini saja yang benar-benar ilmu pengetahuan.
Ini berarti ketika Al-Ghazali mencantumkan kedua ayat ini, Al-Ghazali benar-benar tahu posisi yang ditawarkan bagi orang-orang yang berilmu. Pun sangat tahu tentang derajat orang-orang yang berilmu.
Dengan kata lain; jika ingin posisi dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah, maka kita mesti mempunyai ilmu. Jika ingin derajat yang tinggi, maka kita wajib punya ilmu.
Bagaimana caranya? Ya, belajar. Sampai kapan? Sampai mati.
Kalau ada yang nyinyir: "belajar terus tapi gak gak ada hasilnya!, Biarkan saja. Dari dulu orang-orang Sofis dan "safsatoh" sudah ada. Dan bagi Al-Ghazali mereka adalah golongan paling rendah dalam masyarakat
Allahu A'lamu bisshowab wal jawab.
Komentar
Posting Komentar