Hei, Kita Ini Ngontrak!

(Catatan Iseng Ihya Ulumuddin bag-7)

Hal baik dan buruk itu seperti kamar-kamar kontrakan. Berdempetan. Nempel. Bertetangga. Tapi terpisah. Punya ruang dan kehidupan masing-masing. Tapi, namanya kontrakan pasti ada satu pemiliknya yang menyewakan. Nah, pemilik hal baik dan buruk itu, tentu saja Allah. 

Allah sudah memberitahu mana yang buruk dan mana yang baik lewat ajarannya yang bernama agama. Bisa dibilang agama itu ya ajaran hidup. Namanya hidup tak lepas dari hal (dan nilai) baik dan buruk. Pun bisa dibilang agama itu tata cara dan panduan dalam menjalani kehidupan. Dan orang-orang yang menjalani tata cara itu disebut orang (yang tengah) beragama. 

Walau keduanya (baik dan buruk) bersumber dari Allah, tapi perlu ditekankan, tata cara dan panduan itu pasti mengajarkan yang benar. Mengajarkan yang baik. Kalau ada ajaran yang tidak benar, kalau ada yang melakukan hal buruk, bisa dipastikan orang itu keluar dari panduan. Keluar dari jalur. Kalau mobil keluar dari jalur, biasanya pembawa berita di televisi menyebutnya sebagai kecelakaan. Entah mobilnya terjungkal, masuk jurang, atau menabrak pohon jengkol. Dan kecelakaan itu seringkali disebabkan oleh kelalaian pengemudi. 

Begitu juga dengan hal buruk yang terjadi, menimpa, dan dialami, bisa dipastikan karena ulah manusianya sendiri. Karena hakekatnya, sejatinya, Allah adalah sumber kebaikan dan menginginkan semua mahluknya berbuat baik sesuai yang diajarkan. Kalau di sekolah, seperti murid-murid yang suka bolos, tawuran, dan melanggar peraturan. Dan murid (orang) tipe seperti ini tak sedikit. 

Parah dan anehnya, ketika melakukan hal buruk malah menyalahkan dan mengembalikan keburukan itu ke sekolah. Misalnya, ada murid-murid suatu sekolah yang tawuran. Biasanya, yang disalahkan dan menjadi kambing hitam adalah pihak sekolah. Sekolahnya gak benar lah, gurunya gak mendidik dengan benar lah, dan stigma-stigma lain. Padahal, bisa dipastikan tak ada satupun sekolah yang mengajarkan muridnya agar mahir dan lincah tawuran. Tak ada satu guru pun yang mengajarkan bahwa lihai berantem dan melukai orang lain itu ibadah. Jadi, jika ada yang melakukan hal buruk dan tak elok bisa dipastikan itu karena manusianya sendiri. Ini seperti yang ditegaskan Allah lewat surat An-Nisa ayat 79. 

Imam Jalalain menafsirkan ayat ini dengan; “Apa pun yang kamu peroleh (hai manusia) yang berupa kebaikan, maka itu dari Allah. Artinya, manusia diberi Allah karunia dan kemurahan-Nya. Dan apa pun yang menimpamu (berupa keburukan atau bencana) maka itu akibat (dari) dirimu sendiri. Artinya karena kamu melakukan hal-hal yang mengundang datangnya bencana itu.”

Senada dengan itu, Dr. Quraisy Syihab pun menfasirkan dengan; "Wahai Nabi, semua kenikmatan, kesehatan dan keselamatan yang kamu rasakan adalah karunia dan kebaikan Allah yang diberikan kepadamu. Sedang kesusahan, kesulitan, bahaya, dan keburukan yang menimpa kamu adalah berasal dari dirimu sendiri, sebagai akibat dari dosa yang telah kamu perbuat." Meski dalam tafsiran bapaknya Najwa Shihab ayat itu ditujukan pada nabi, tapi hakikatnya ditujukan kepada manusia.

Kesadaran akan hal ini (hal baik dari Allah dan hal buruk karena ulah manusia sendiri) mesti dimiliki oleh siapapun. Nah, Bapaknya Hamid alias Abu Hamid Al-Ghazali ketika menulis kitab Ihya Ulumuddin sepertinya telah mengusai kesadaran ini dengan tulen. Setidaknya, hal Ini bisa ditemukan dalam mukadimahnya.

و استخير تعالى ثالثا، فيما انبعث له عزمى من تحرير كتاب فى إحياء علوم الدين

Al-Ghazali memohon kebaikan kepada Allah atas selesainya kitab Ihya Ulumuddin karangannya. Al-Ghazali sadar, Allah lah yang membangkitkan keinginan, hasrat, dan cita-citanya untuk menulis kitab ini. Ya, Allah lah yang menggerakkan keinginannya. Kalau Allah tidak membangkitkan keinginan dalam diri Al-Ghazali untuk menulis, sepertinya kitab Ihya Ulumuddin tak akan pernah tercipta. Ini seperti hidayah. Allah bebas merdeka untuk memberi hidayahnya pada siapapun dan kapanpun. Terserah Allah. 

Jadi, jika ada orang yang (terlalu) bangga pada hal baik yang diperbuatnya, bisa dipastikan ia belum sadar ada "sentuhan tangan" Allah dalam perbuatan baiknya. Seperti mereka yang "ngontrak" dan tak sadar belum bayar uang sewa bulanannya. Kalau sudah begitu, tunggu saja ketukan pintu sang pemilik kontrakan yang datang mengingatkan. Lalu menagih. 

Allahu A'lamu bisshowab

Sawangan Baru

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)