Kata Bang Haji Oma: "Terlaluh"
Inna ma'al 'usri yusro memang ajib. Jika diyakini, bisa "berojolin" sikap dan pola pikir optimis. Siapapun sepertinya akan sepakat; ini positif. Ini Baik.
Eit tunggu dulu. Tak selamanya yang baik itu baik, tak melulu yang tak baik itu tak baik. Dalam matematika yang katanya ilmu eksak alias ilmu pasti itu, pun tak selamanya positif itu positif dan tak selalu yang negatif itu negatif. Tentunya, ada penyebabnya.
Misalnya, sehat. Kalau boleh, sehat ini dilambangkan positif. Tentunya sehat ini dicari dan dijaga. Tapi, jika lambang positif itu berupa penyakit, misalnya cofid-19 yang saat ini masih mewabah, tentu hal positif itu akan dihindari, bukan?
Dari sini, keisengan saya bilang; betapa rapuh nilai positif dan negatif. Betapa samar baik dan buruk. Keduanya hanya dibatasi oleh sudut pandang dan hal-hal yang menyertai Atau menjadi sebab.
Begitu juga dalam ilmu fiqih. Hal haram tak selamanya haram. Pun halal tak selalu halal. Wajib pun begitu. Tak melulu menjadi wajib. Karenanya, Islam itu begitu luwes dan dinamis. Bahkan sangat mudah. Agama yang sangat memberi kemudahan bagi para pengikutnya.
Sayangnya, tak jarang saya menemui orang yang justeru mempersulit hidupnya. Terutama perihal ibadahnya. Misalnya pembahasan yang layaknya petasan ketika rombongan besan datang, yaitu pembatasan solat di masjid saat Corona mewabah.
Masih ada saja yang memaksakan solat berjamaah di masjid. Hal itu si hal mereka. Sah-sah saja. Silakan. Tapi, Kalau ada salah satu jamaah yang positif cofid-19, lalu menularkan jamaah yang lain, gimana? Mempersulit diri sendiri bukan? Dan masih banyak contoh yang lain.
Keisengan saya bilang; setidaknya, ada dua hal yang membuat orang kaku, saklek, dan akhirnya malah mempersulit diri sendiri dalam beribadah, dalam beragama.
Pertama. Ketidaktahuan (Saya ingin bilang kebodohan, tapi kok rasanya kasar). Nah, mereka-mereka yang kaku, saklek, dalam mengerjakan satu ibadah, seringkali karena mereka gak tahu kalau ada hal lain yang lebih mudah dan sama-sama bernilai ibadah.
Misalnya; wudhu. Kalau gak ada air ya bisa tayammum dengan debu. Kalau masih ada yang saklek nanya; Kalau gak ada debu juga gimana? Jawab aja; "tempelin aja tangan lu ke tembok atau ke lantai atau kalau perlu pantat kuali abis emak lu goreng jengkol, isyaallah ada debu di sana."
Ketidaktahuan ini bisa diatasi dengan belajar. Karenanya belajar itu wajib dilakukan sampe seseorang dibungkus kafan. Dari lahir sampai mati. "Uthlubul 'ilma minal Mahdi ilal lahdi."
Imam Al-Ghazali pun pernah bilang; "gak ada sebab seseorang gak mau belajar, kecuali sombong." Ya, seseorang yang gak mau belajar adalah orang sombong. Penyebab ia gak mau belajar pun karena sombong. Na'udzubillah. Masih ingat cerita kenapa iblis diusir dari surga, kan?
Nah, kalau ada yang bilang, tidak sempat buat ngaji atau belajar karena melakukan kewajiban lain, misalnya mencari nafkah untuk keluarga. Tanya kepadanya; "elu hidup selama dua puluh empat jam, seminggu, sebulan, setahun, atau seumur hidup lu cuma buat nyari nafkah, emangnya?"
Ada kaidah ushul yang menyatakan jika wajib dengan sunah, maka yang mesti didahulukan adalah hal wajib. Jika wajib dengab wajib, maka keduanya mesti dilakukan. Tapi, mesti dilihat skala prioritasnya. Mana yang wajibnya melebih wajib yang lain.
Misalnya, seorang istri diminta suaminya untuk nyabutin uban, tapi ternyata ibunya dalam waktu yang sama, meminta si istri tersebut yang tak lain anaknya, untuk beli kerupuk ke warung. Mana yang mesti didahulukan? Suami atau ibu kandung? Keduanya kewajiban. Nah, seperti yang tadi itu, dahulukan yang wajibnya lebih wajib.
Penyebab kedua adalah sikap fanatik yang berlebihan terhadap suatu aliran. Dalam Islam, perbedaan pendapat dan pandangan itu wajar. Hal yang biasa terjadi. Malah, bisa menjadi Rahmat.
Lihat saja contohnya pada empat madzhab fikih; Syafi'i, Hanafi, Maliki, dan Hambali. Di antaranya memiliki hubungan guru dan murid. Muridnya tidak setuju dengan pendapat gurunya. Lalu membuat pendapat dan pandangan lain. Tentu saja dengan landasan dalil dan ilmu. Sang guru mempersilakan dan memperbolehkan muridnya berbeda pendapat.
Perlu dicatat, walau berbeda pendapat dan pandangan siap fikih, soal ibadah, mereka tetap saling menghormati. Sungguh, indah bukan?
Nah, fenomena mereka yang saklek dalam beragama, dan kaku dalam beribadah, bisa jadi karena hanya mempelajari satu ajaran. Dan menganggap bahwa apa yang dipelajarinya itu paling benar.
Sikap merasa paling benar ini sah-sah saja, malah menjadi wajib dimiliki oleh setiap orang. Tapi. Tapi. Tapi, merasa paling benar itu dilakukan untuk diri sendiri saja. Tidak ke orang lain.
Tidak perlu menginginkan orang lain melakukan hal yang sama. Apalagi sampai memaksakan. Apalagi sampai bilang ajaran yang lain itu tidak benar. Karena jika merasa paling benar itu "ke luar" bukan "ke dalam" hanya akan meluberkan sikap tak elok. Dikit-dikit bilang bid'ah (bid'ah kok sedikit?), Gampang menyalahkan orang lain, dan sikap lain yang sering buat saya ngelus dada.
Kalau begitu, boleh dibilang, beragama itu jangan terlalu. Terlalu kanan ya jangan. Terlalu kiri juga jangan. Kan, kata nabi "Khoirul umuri ausathuha", urusan dan pekerjaan apapun yang baik itu yang di tengah-tengah. Tidak terlalu.
Konon, sayyidina Ali bin Abi Tholib pernah bilang; "jangan terlalu membenci seseorang karena bisa jadi besok kamu mencintainya. Dan, jangan terlalu mencintai seseorang karena bisa jadi esok kamu membencinya."
Saya kok jadi tertarik dengan konsep "jangan terlalu" di sini ya. Ini terkait dengan ayat pembuka tulisan ini; dibalik kesulitan ada kemudahan. Nah, kalau terlalu, dan melulu melihat ini, sepertinya pun kurang elok. Sebab, perlu disadari juga, dibalik kemudahan ada kesulitan.
Inna ma'al 'usri yusro, tepat ketika seseorang tengah menghadapi kesulitan. Tapi bagi mereka yang tengah bahagia, enak, nyaman, dan mengalami kemudahan-kemudahan hidup, pemahamannya mesti dibalik (mafhum mukholafah).
Ya, mafhum mukholafahnya, di balik kemudahan ada kesulitan. Dibalik kesenangan ada kesedihan. Hal ini, agar ada kesadaran agar tidak terlalu. Ya, yang satu menumbuhkan optimis, yang lain menimbulkan kesadaran dan waspada. Semuanya melahirkan sikap yang tidak terlalu. Yang sedih tidak terlalu. Yang senang tidak terlalu.
Begitu juga, dibalik apa yang kita lihat baik (positif) ada hal buruk (negatif) yang mengikuti. Termasuk dalam urusan ibadah dan beragama. Karenanya, kalau kata Kiayi Fakhruddin, pimpinan majelis Ratib dan ta'lim Ittihadussyubban Sawangan Baru; "ngaji itu penting, bukan yang penting ngaji!"
Allahu A'lamu bisshowab.
Komentar
Posting Komentar