Pokoknya, kalau tidak sesuai, salah! Hukum!



Malin Kundang telah terkutuk. Tak seorangpun mencoba memahaminya. Perahunya kandas. Dalam legenda, pemuda itu durhaka kemudian menjadi batu. Ibunya telah mengucapkan kutuk atas dirinya. Perempuan tua yang miskin itu kecewa dan sakit hati: anak tunggalnya tak mau mengenalnya lagi, ketika ia singgah sebentar di desa kelahirannya sebagai seorang kaya setelah mengembara bertahun-tahun. 

Kisah turun temurun ini seakan berkata, bahwa dewa-dewa, Tuhan memihak sang ibu. Bisa dibilang bahwa semua soal berakhir dengan beres: bagaimanapun, setiap pendurhaka harus celaka. 

Lalu tak seorangpun patut memaafkan Si Malin Kundang. Kita tak pernah merasa perlu memahami perasaan-perasaannya. 

Ada kisah lain. Tentang Adam dan Hawa yang mencicipi buah khuldi. Mereka berdua dikeluarkan dari surga. Dilemparkan ke dunia. Lalu persoalan pun terlihat beres: Kesalahan terarah kepada Iblis.

Laku Iblis-lah yang menggelincirkan Adam dan Hawa. Lalu kita tak tak patut memahami dan mengerti lebih jauh lagi. Sebab, kesalahan sudah terarah dan diarahkan. Lalu kita merasa tak patut lagi melihatnya apalagi mempertanyakan: soal Iblis, soal rasa penasaran Adam dan Hawa (manusia) terhadap khuldi, soal sayang dan cinta Adam kepada Hawa, dan hal lain yang masih misteri.

Kita seakan tak perlu bertanya lalu berusaha mencari jawab lantaran semua itu dianggap beres; lewat salahnya iblis yang serta merta menjadi "kambing hitam." Sementara Adam dan Hawa hanyalah korban dari laku Iblis.

Kemudian ada lagi kisah lain. Cerita epik Syeikh Siti Jenar dengan Sunan Kalijaga. Berakhir dengan dipenggalnya kepala Siti Jenar. Dan pemahaman kebanyakan kita pun beres dan dianggap mapan: bahwa Siti Jenar bersalah karena ajaran wihdatul wujud atau manunggaling kawula gustinya "dianggap" menyimpang. 

Lagi-lagi, seakan kita tak patut memahami, mencari tahu hal-hal lain yang menempel dan terjadi dengan kisah itu. Sebab, kesalahan sudah tersemat pada seseorang. Dan orang bersalah itu telah mendapat hukuman.

Dan masih banyak kisah lain yang menunjukkan bahwa kesalahan dan hukuman seakan jalan akhir. Ketika kesalahan sudah beralamat dan dipunya seseorang, dan ia telah mendapat hukuman maka tak perlu menelusuri lebih dalam dan jauh lagi. 

Mereka yang bersalah, dipandang berdosa, dicap durhaka, distempel tak baik, dan berlaku menyimpang dari peraturan (moral dan nilai) kolektif atau (setidaknya) keluar dari jalur mesti dihukum. Setelahnya, urusan dianggap selesai. Beres. Tak perlu lagi ada yang mempersoalkan. Karena yang bersalah telah dihukum. Susah celaka. Seakan semua berhenti di situ. Finish. Tamat. 

Lagi-lagi tak patut ada yang mempertanyakan atau setidaknya mencoba memahami hal lain dari mereka yang dianggap bersalah dan berdosa tadi. Tak perlu lagi memahami perasaan-perasaannya, pikiran-pikirannya, hal-hal yang membentuknya hingga bersikap demikian. Termasuk tak patut lagi bertanya-tanya soal kenapa dan bagaimana hingga kesalahan itu terjadi dan hukuman melekat pada mereka. Tak perlu. Cukup. Selesai.

Hingga ketika kita mendapati seseorang melakukan kesalahan, kita pun akan segera merespon bahwa ia mesti dihukum. Dengan ia mendapat hukuman urusan selesai. Perkara beres. 

Hukuman seakan jawaban dari setiap ketidakberesan. Hukuman seakan menjadi penyeselaian dari kesalahan. 

Di situlah kita terperangkap pada doktrin semu: semua hal yang terkait dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan harus dihukum lalu tak ada kompromi lagi. Tak perlu ada pertanyaan lagi. Selesai dan beres dengan hukuman baginya. 

Hal dan sikap serupa, saya temukan pada pesan berantai di beberapa group WA. Meski beragam tema, tapi ada kesamaan pola. 

Akhir-akhir ini misalnya, soal komunisme dan tentu saja bahaya serta kesalahannya. Lalu soal satu aliran agama dan kepercayaan yang dianggap sesat. Kemudian soal pandemi dan berbagai perbedaan sikap. Hingga soal pemerintah dan kebijakannya. 

Pola pada pesan berantai tersebut memiliki kesamaan yang terletak pada mengedepankan kesalahan. Tentu saja disertai bahayanya. Lalu direspon oleh kebanyakan orang yang tentu saja mengamini soal bahaya dan kesalahan dari yang disebar itu. Bisa ditebak ujungnya, sikap menghukumi. Justifikasi.  Harus dihukum. Dan urusan selesai dengan menyandangkan kesalahan pada sesuatu (atau seseorang) lalu ditutup dengan hukuman.

Misalnya soal bahaya komunisme. Beberapa video beredar. Isinya tentu saja seperti ingin menampakkan bahwa di negeri ini masih ada komunis-komunis yang pastinya masih dan akan selalu dianggap berbahaya. Karenanya, mesti dimusnahkan dan dihancurkan. Tak perlu lagi memahami apa itu komunisme. Tak perlu lagi melihat seseorang sebagai manusia ketika ia berpaham komunis. Dan hal lainnya.

Contoh lain yang saya dapati di group WA. Soal aliran yang dianggap sesat dari satu agama. Tak perlu lagi ada pemahaman soal bagaimana aliran tersebut. Tak perlu lagi melihat manusianya ketika ia sudah menjadi penganut ajaran tersebut. Pokoknya jika salah, maka ia mesti dihukum. Pokoknya kalau tidak sesuai dengan kepercayaan yang kita anut selama ini, pasti sesat, dan mesti "disikat!" 

Lucunya, biasanya pesan berantai tersebut menyebar dengan kalimat pengantar: "mohon tanggapannya", "apakah ini benar?", "Dapat dari group sebelah", "siapa tahu di group ini ada yang tahu kebenarannya", "viralkan", "jangan berhenti di anda", dan kalimat-kalimat lain yang bagi saya kalimat-kalimat itu tendensius (untuk tidak menggunakan kata bodoh dan membodohkan). 

Hal ini membuat saya membuat hipotesis sementara: pertama, si pengirim pesan dikuasai kemalasan. Malas mencari sendiri kebenaran. 

Kedua, ia setuju dengan isi pesan berantai tersebut. Terlepas dari salah atau benar. Ia menyebar karena ingin penegasan. Ketika apa yang ia sebar mendapat dukungan dan pembenaran, maka semakin kuat pendapatnya. Sebaliknya, ia akan mencari pembenaran di tempat lain. Pun ketika ia meyakini bahwa pesan itu salah.

Ketiga, mereka yang benar-benar belum paham soal duduk perkaranya. Baginya pesan berantai itu menarik dan laik untuk disebarluaskan. Itu saja.

Ini semakin menegaskan sikap asal sebar itu fatal.  Terlebih ketika yang disebar terkait doktrin soal kesalahan dan hukuman yang tak perlu dipertanyakan atau dipahami lagi. 

Perlahan "image" dan "citra" soal kesalahan yang mesti dihukum lalu dihilangkan semakin memenuhi benak setiap orang. Di sinilah awal muncul hal sensitif. Layaknya bensin. Sedikit saja terpercik api, akan berkobar. 

Bagi saya inilah yang lebih berbahaya. Berawal dari pesan berantai. Lalu terbangun image dan citra di benak setiap orang. Muncul sensitivitas. Suatu saat ada oknum yang menyulut. Berkobarlah kemarahan. Kebencian. Teriakan. 

Ya, sepertinya kita memang mesti mempertanyakan dan memahami lagi apa-apa yang ada di benak. Seperti Al-Ghazali yang mempertanyakan semua hal yang telah ia ketahui. Hingga benar-benar mendapat jawaban yang benar-benar benar. 

Sepertinya kita patut untuk tidak hanya melihat ini dan itu salah tanpa upaya mempertanyakan dan mencari jawaban sesungguhnya. Tidak hanya melihat Si Malin Kundang Durhaka, Iblis yang membuat Adam dan Hawa mencicipi buah khuldi lalu dikeluarkan dari surga. 

Karena selain hukuman, kesalahan pun bisa menjadi pelajaran, bukan? 

Lebih jauh tapi sangat dekat: kita pun bisa salah, tapi bisa belajar dari kesalahan, bukan? 

Kita pun tak suka bila terus menerus salah dan dicap orang bersalah selamanya, bukan? 

Allahu A'lamu bisshowab

Sawangan Baru 01062020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)