Semuanya, Maafkan Saya Lahir Batinmu
Semuanya, Maafkan Saya Lahir Batinmu
Saya belum merasa lebaran. Padahal hari ini 1 sawal. Dan tadi malam, takbir berkumandang seperti palang pintu besan, saling bersahutan membelah sunyi malam.
Malah, bagi sebagian orang, apa yang saya kerjakan di hari pertama lebaran ini, amatlah remeh dan "receh". Ya, setelah azan subuh, saya putuskan untuk ngopi dan merokok.
Sekilat, saya ingin balas dendam pada kata imsak yang sebulan kemarin benar-benar membatasi nikmat berbentuk rokok dan kopi.
Ya, saya sadar. Saya tak relijiius. Bukan pemeluk agama yang taat. Bukan ustadz. Bukan ulama. Bahkan masih sangat bodoh perihal ilmu dan pengetahuan agama. Semuanya itu membuat saya tak mengerti makna dan apa saja Pahala yang ada pada Ramadhan.
Mungkin pahala dan makna itu makhluk gaib, jadi saya benar-benar tidak tahu, bagaimana bentuk pahala, bagaimana wujud makna dari Ramadhan.
Saya membayangkan andai makna dan pahala itu berwujud seperti rokok atau kopi yang saya hisap, tampak, bisa dilihat, disentuh, diraba, dan dirasakan langsung, sepertinya saya akan memperlakukan ramadhan seperti benda yang paling saya cinta.
Padahal, banyak ustadz yang bilang soal makna dan pahala di bulan Ramadhan. Tentu saja disertai dalil yang mempertajam perihal itu. Malah, tak sedikit ustadz yang bilang balasan ibadah di bulan Ramadhan berkali-kali lipat dibanding bulan yang lain.
Tapi ya itu. Sungguh, saya masih belum paham soal itu semua. Mungkin, kalau kata Abu Nawa; memang saya tak pantas jadi ahli surga dan tak kuat dengan gejolaknya api neraka. Walhasil, Ramadhan seperti berlalu begitu saja.
Dan tadi, saya mengawali hari pertama lebaran justeru dengan menikmati kopi dan rokok. Padahal, sejak kemarin sore hingga saya menulis cerita ini, ucapan selamat merayakan Idul Fitri berseliweran di WhatsApp.
Saya masih belum bisa menjawab, apakah saya masuk kategori orang yang layak merayakan idul Fitri? Apakah saya sudah menjadi hamba yang takwa seperti tujuan puasa? Apakah saya pantas untuk semua itu? Kok, rasa-rasanya saya malu untuk merayakan lebaran. Rasa-rasanya saya belum benar-benar jadi hamba yang takwa.
Karena pertimbangan itu, saya tak mengirim ucapan selamat berlebaran, selamat Idul Fitri, dan ucapan-ucapan senada yang lain.
Sayangnya, dari kecil saya dibiasakan untuk melakukan beberapa hal ketika lebaran. Diantaranya; setelah salat subuh. Mandi, makan, pakai baju baru, salat id di masjid, ziarah ke makam orang tua, kumpul keluarga, silaturahmi ke tetangga, hingga bermaaf-maafan.
Semua itu, perlahan menjadi tradisi. Bahkan menjadi adat. Lalu saya teringat ada ustadz yang bilang soal salah satu kaidah ushul fikih yang menyatakan "al-'adatu muhakkamtun", adat (kebiasaan) bisa menjadi landasan hukum.
Sepertinya, karena landasan tradisi dan kebiasaan itulah yang membuat akhirnya saya salat Idul Fitri bersama keluarga di mushola depan rumah. Tak banyak yang jadi jamaah. Karena, lebaran kali ini, memang lagi masanya pandemi Covid-19. Dan pemerintah menganjurkan untuk salat 'Id bersama keluarga saja.
Usai salat 'Id kami bersalam-salaman. Dan benar bersentuh-sentuhan. Bahkan berpelukan dan "cipika cipiki". Terlebih ketika saya meminta maaf kepada Umi. Rasanya tak terhingga kesalahan saya sebagai anak. Bahkan sepertinya, apapaun yang saya lakukan tak akan pernah mampu untuk membalas semua kebaikan Umi.
Usai salat 'Id, kami ziarahke pemakaman keluarga yang jaraknya hanya beberapa langkah dari rumah. Di belakang rumah. Usai ziarah. Saya yang belum tidur dari kemarin malam, memilih untuk tidur. Jadi, saya tak kumpul keluarga dan tidak mendatangi tetangga. Sungguh kacau dan jahat, bukan?
Sore, setelah bangun. Kulub datang dan bilang soal maaf dan memaafkan yang timpang. Pasalnya memaafkan lebih berat dari rindu. Memaafkan lebih sulit dilakukan. Dan ini bukan soal basa basi. Ini soal Allah yang tidak akan memaafkan kesalahan, ketika itu dilakukan oleh seorang hamba ke hamba yang lain sebelum hamba yang lain itu memaafkan.
Ini seperti salah satu tulisan Gusmus yang mengutip hadits nabi soal orang yang bangkrut. Ya, orang yang bangkrut, kata nabi, adalah mereka yang ketika dibangkitkan di hari pertimbangan nanti, amalnya habis karena diambil oleh orang-orang yang pernah menerima perlakuan salah kita. Itu karena belum dimaafkan.
Makanya, saya angkat jempol, salut, dan hormat pada mereka yang bisa memaafkan kesalahan orang lain. Benar-benar memaafkan. Karena hanya sedikit orang yang bisa melakukannya. Dan bagi saya, orang macam ini adalah orang istimewa dan luar biasa.
Karenanya, sampai malam pertama lebaran ini, saya hanya bisa mengirim pesan ke beberapa group dan teman yang isinya saya meminta maaf atas semua kesalahan. Dan saya tak berani membuat kata-kata puitis apalagi sampai menempelkan foto diri. Apakah layak dan elok orang yang bersalah dan punya banyak kesalahan menampilkam wajah sumringah saat meminta maaf?
Ya, saya hanya mengirim pesan seperti judul tulisan ini. Karena yang lebih saya butuhkan adalah maaf lahir batin dari si penerima pesan. Karena objek dan tokoh utama adalah sang penerima pesan sebagai orang yang memaafkan. Bukan saya. Ya, yang sangat saya harapkan adalah Anda, Kamu, kalian memaafkan saya lahir batinmu.
Walau berat, sulit, dan tak banyak orang yang bisa memaafkan lahir batin, saya harap Anda, kamu, dan kalian bisa menjadi orang yang sedikit itu. Dan saya yakin Anda, kamu, dan kalian bisa jadi orang yang istimewa itu.
Ya, sekiranya, semuanya, maafkan saya lahir batinmu.
Sawangan Baru, hari pertama lebaran 1441 H.
Komentar
Posting Komentar