Jihad yang Santai nan Penuh Estetika
(Menenangkan kegelisahan atas berita hoax, fitnah, dan propaganda di group WhatsApp. Bag-2)
Berpikir kritis beda dengan kritik. Kritik berkarib dengan mencari (-cari) kesalahan, kekurangan, atau kelemahan dari pendapat atau hasil pemikiran orang lain. Sementara berpikir kritis lebih kepada cara berpikir sistematis, logis, dan obyektif dalam melihat dan menilai sesuatu.
Saya teringat waktu mondok dulu, ada istilah "jasus" untuk bagian bahasa. Beberapa santri ditunjuk untuk mencari siapa yang melanggar peraturan berbahasa di pondok. Mereka inilah para Jasus. Walau tak satu pun yang tahu siapa saja yang menjadi Jasus, kecuali dirinya sendiri, pengurus bagian bahasa, dan Allah, banyak santri yang tak suka pada Jasus. Ini karena mereka seperti tengah mencari-cari kesalahan.
Ini bisa didiskusikan dan diperdebatkan lagi perihal apa itu kritik. Bagaimana kritik yang baik. Kenapa perlu kritik. Tapi, yang ingin saya tegaskan adalah berpikir kritis beda dengan kritik.
Terkait, seliwerannya informasi di WhatsApp (pun di media sosial lainnya), setidaknya, salah satu cara ampuh dan sakti yang bisa dipakai untuk membuat berita hoax tiarap dan lumpuh adalah berpikir kritis. Kok bisa?
Ya, ketika menerima informasi berupa tulisan, berita, gambar, video, dan hal lain di WhatsApp, seorang yang berpikir kritis tidak serta merta menerimanya sebagai kebenaran. Apalagi langsung menyebarluaskannya. Pemikir kritis akan mengecek kembali sumber informasi tersebut. Apakah valid. Apakah bisa dipercaya. Apakah benar. Dan seterusnya hingga bisa diambil kesimpulan bahwa informasi itu layak diterima atau tidak lalu pantas atau tidak untuk disebarluaskan. Jadi, bisa dipastikan, mereka yang asal sebar adalah mereka yang belum (atau tidak) berpikir kritis.
Ciri orang yang berpikir kritis lainnya adalah tidak mudah tersinggung ketika dikritik. Ya, ia akan terbuka dengan segala saran, nasihat, kritik, dan pendapat orang lain terkait pendapat atau hasil pemikirannya.
Ini terkait teori emosional yang bilang; ketika emosional seseorang tinggi, maka penalaran dan kemampuannya berpikir (logis) akan rendah. Nah, orang yang tersinggung karena dikritik, bisa jadi ia tengah dikuasai emosional.
Ciri lainnya adalah selalu mempertimbangkan sisi baik dan buruk sebelum memutuskan sesuatu. Nah, orang yang asal sebar, sepertinya tidak melakukan hal ini. Ia tidak melihat efek dan dampak dari apa yang dilakukan. Dan bisa dipastikan, ia belum (dan tidak) tahu apa yang disebar itu benar atau tidak.
Saya akui, saya pun masih belajar untuk bisa berpikir kritis. Sebab ini seperti peribahasa; ala bisa karena biasa. Ya, saya yang bodoh ini mesti membiasakan diri untuk berpikir kritis. Sebab berpikir kritis itu sebuah keterampilan. Agar terampil maka perlu dilakukan terus menerus. Dilatih terus menerus. Agar saya terbiasa dan pada akhirnya saya bisa untuk berpikir kritis.
Sebab ada hal berbahaya dan sering saya remehkan adalah serangan terhadap pikiran atau akal sehat. Malah, ada yang lebih berbahaya lagi; menyerang pikiran dan akal sehat dengan serangan atas nama pikiran dan akal sehat.
Dan saya teringat konsep "hifzhul aql" alias menjaga pikiran yang menjadi salah satu "Maqashid Syari'ah". Jadi, menjaga akal sehat dan pikiran bisa dibilang jihad. Atau setidaknya tengah berjuang menjalankan perintah dalam agama. Dan ini, sepertinya jihad yang "santai" bahkan penuh estetika.
Sebab berpikir kritis adalah seni. Bagaimana logika bisa melindungi diri dari kejahatan dan ancaman terhadap akal sehat dan pikiran. Berpikir kritis pun akan membantu mengembangkan sikap keragu-raguan (skeptisisme) yang sehat. Maksudnya, meragukan sesuatu dengan etika dan mempertanyakan secara rasional, bukan serta merta menolak untuk percaya.
Lagi-lagi saya teringat Abu Hamid Al-Ghazali (Allahu yarhamhu). Al-Ghazali bisa dikatakan menggunakan metode berpikir kritis ini. Sebab, dalam proses pencarian "Al-Haq", Al-Ghazali pernah mengalami skeptisisme. Bahkan parah. Hingga pernah di titik tidak menemukan semua hal yang dipelajari dari ilmu Kalam, ta'lim, filsafat, dan tasawuf adalah kebenaran. Cerita tentang perjalanan "skeptis" Al-Ghazali ini bisa dilihat pada kitab Al-Munqidz Minad-Dholal.
Nah, skeptis atau ragu-ragu itu perlu. Tapi yang sehat. Maksudnya ya itu tadi, tidak langsung mempercayai sebuah informasi yang masuk ke WhatsApp (dan media sosial lainnya).
Konsep Keterampilan atau seni berpikir kritis ini mengajarkan setiap orang (termasuk saya) untuk mempertanyakan setiap informasi yang diterima dengan rasional.
Ini bukan berarti kita jadi agresif lalu serta-merta menolak setiap informasi yang ada di WhatsApp. Tidak.tidak seperti itu. Berpikir kritis adalah proses latihan, pembiasaan diri untuk menganalisis suatu informasi terlebih dahulu sebelum setuju atau tidak setuju, sebelum menyangkal atau mendukung, sebelum pro atau kontra. Dan akhirnya, jihad santai nan penuh estetika ini akan membantu kita mengambil keputusan yang lebih baik.
Sawangan Baru, 27052020
Komentar
Posting Komentar