Belajar kepada Imam Al-Ghazali perihal Puncak Ilmu Pengetahuan
(Catatan Iseng perihal Ihya Ulumuddin)
Di batu nisannya terukir kalimat berbahasa Arab. Padahal perempuan ini orang Jerman. Namanya Anna Schimmel. Ia seorang peneliti soal Islam. Hingga ia begitu cinta Islam dan Nabinya, walau tak sampai memeluknya.
Kalimat berbahasa Arab di nisan Anna Schimmel adalah hadits nabi Muhammad. Diriwayatkan oleh Abu Nuaim dalam Huliyyatul Aulia, dari perkataan Sufyan Stauri. Menurut Imam Al-'Iraqi ini dari Ali Bin Abi Thalib.
Hadits pendek ini, dahsyat. Jauh sebelum Anna Schimmel, Abu Hamid Al-Ghazali pun mengurai hadits pendek ini menjadi pembahasan epistimologi yang panjang. Ya, epistimologi; proses bagaimana mencari pengetahuan, bagaimana mencari kebenaran.
Seperti pada tulisan saya sebelumnya. Epistimologi Al-Ghazali adalah mempertanyakan terus menerus tentang apa yang (telah) diketahui hingga pengetahuan itu tidak goyang lagi. Hingga pengetahuan itu tidak bisa digoyahkan lagi oleh keraguan-raguan. Karena bagi Imam Ghazali, ilmu atau pengetahuan yang sebenarnya adalah ilmu yakin (Al-'Ilmu al-yaqini).
Hal pertama yang dilakukan Al-Ghazali adalah membongkar dirinya sendiri. Ia periksa kembali semua ilmu dan pengetahuan yang ada pada dirinya. Walhasil, Al-Ghazali hanya menemukan kekosongan kecuali ilmu jaliyat (Al-'Ilmu al-jaliyat) ilmu yang benar-benar tampak dan pasti.
ilmu Jaliyat ini ia temukan terbagi kepada dua; ilmu hissiyat dan ilmu dhoruriyat.
Ilmu Dhoruriyat adalah ilmu bawaan. Semacam aksioma alias kaidah dasar. Ilmu ini adalah "gift" dari Allah. Setiap orang telah diberikan dari sebelum lahir.
Ilmu Dhoruriyat ini ada kaitannya dengan akil baligh. Sebab, ilmu ini akan mulai tampak setelah seseorang baligh. Ia mulai bisa membedakan mana yang bagus mana yang jelek. Perlahan, seiring waktu akan semakin bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Karenanya seseorang baru terikat dengan hukum-hukum dan peraturan agama setelah akil baligh. Sebab, di saat itu, ilmu Dhoruriyat mulai tampak dan digunakan.
Perlu dicatat, ilmu Dhoruriyat ini adalah nikmat yang tak terhingga yang seringkali kita alfa untuk mensyukurinya.
Sementara Ilmu hissiyat bisa juga dibilang ilmu inderawi. Ya, ilmu yang didapat dari panca indera. Mirip tapi tak sama dengan aliran behaviorisme.
Nah, karena Imam Al-Ghazali adalah ulama radikal. Tak berhenti di situ. Al-Ghazali kembali membongkar ilmu hissiyyat ini. Ia kembali mempertanyakan soal keyakinannya soal ilmu inderawi ini. Agar benar-benar ilmu yang ada pada dirinya adalah al-ilmu al-yaqini.
Baginya, indera terkuat dari manusia adalah indera penglihatan. Al-Ghazali melakukan semacam riset dan percobaan untuk membuktikan bahwa ilmu hissiyyat ini masuk kategori "Al-'Ilmu al-yaqini".
Pertama, ketika melihat bayangan suatu benda diam, tak bergerak. Ini pengetahuan dan ilmu yang diperoleh dari indera penglihatan. Ilmu ini tidak boleh goyah oleh keraguan-raguan.
Jika melihat bayangan tadi masuk "Al-'Ilmu al-yaqini" maka bayangan yang dilihat diam, tak bergerak tadi itu tetap seperti itu. Tidak berubah. Tidak bergerak. Terus diam.
Sayangnya, bayangan (yang dilihat indera penglihatan) itu perlahan berubah. Pembuktian ini meruntuhkan bahwa ilmu hissiyyat adalah ilmu yakin.
Hingga yang tersisa adalah ilmu Dhoruriyat tadi. Ilmu yang Imam Al-Ghazali menyebutnya dengan ilmu "al-'aqliyat minal awwaliyyat".
Untuk ilmu Dhoruriyat ini Al-Ghazali memberi contoh dengan logika seperti ini: sesuatu yang tidak ada dan ada, tidak bisa melekat pada satu hal bersamaan, dalam satu waktu.
Misalnya, ketika kita bilang ada lampu di langit-langit pada jam 1 lewat 2 menit. Maka pada saat yang sama, kita tidak bisa untuk bilang tidak ada lampu di langit-langit itu. Pun sebaliknya.
Contoh lain dari Al-Ghazali. Satu hal yang bersifat "haadits" tidak bisa bersifat "qaadim" dalam satu waktu.
Haadits itu tercipta dalam runtutan waktu tertentu. Karena terikat waktu, maka bisa dipastikan ada awal dan akhir. Sementara "qadim" itu kekal dan sudah ada dari dulu tanpa ada yang mengadakan.
Dalam contoh ini, Al-Ghazali bicara soal akidah. Akidah As'ariyah. Masih ingat soal mu'tazilah yang mempertanyakan soal ini? Inilah di antara jawaban kokoh Al-Ghazali soal itu.
Karenanya, bisa dibilang, akidah imam Al-Ghazali dibangun oleh kekuatan logika kokoh yang melahirkan ilmu yang yakin.
Ternyata, setelah tahu bahwa ilmu yang tersisa dan dianggap (paling) benar (bagi al-Ghazali dalam dirinya sendiri) adalah ilmu al-'aqliyat min awwaliyyat yang disebutnya ilmu Dhoruriyat, al-Ghazali tak berhenti sampai di situ.
Ia kembali mempertanyakan soal "amannya" ilmu ini. Apakah benar-benar kokoh. Apakah benar-benar tidak bisa disentuh keragu-raguan sedikit pun.
Sayangnya, ilmu bawaan akal atau ilmu Dhoruriyat ini pun masih menyisakan ruang untuk keraguan-raguan. Jadi, bisa dibilang, Al-Ghazali tak memiliki ilmu yakini. Itu berarti ia tak punya ilmu. Bisa dibilang, puncak ilmu pengetahuan adalah kekosongan?
Bagi pecinta ilmu, keadaan ini pasti sangat mengguncangkan. Pasti melahirkan kekecewaan yang dalam. Dan sepertinya bisa mengarah pada gangguan kejiwaan.
Ya, di masa ini, Al-Ghazali mengalami krisis intelektual dan spiritual.
Perlu dicatat, Al-Ghazali hidup di abad ke-5 hijriyah. Di abad ini, Islam tengah mengalami puncak kejayaan. Diantaranya ilmu pengetahuan yang sangat berkembang. Diceritakan Al-Ghazali mendalami dan menguasai semua ilmu pengetahuan yang sedang berkembang tersebut.
Jadi, bisa dibayangkan, bagaimana keadaan Al-Ghazali ketika samudera pengetahuan yang ia pelajari ternyata tak membuatnya sampai pada hakekat ilmu. Tidak mengantarnya pada ilmu yakin. Semuanya kosong.
Krisis intelektual dan spiritual Al-Ghazali tersebut terjadi ketika ia masih di Baghdad. Apa yang ia lakukan?
Dalam Al-Munqidz Minad-Dholal, ia menegaskan berhenti sejenak dari mencari jawab.
Lalu hadits "annasu niyamun, faidzaa maata, intabahu" inilah yang menjadi semacam penyadar sekaligus penghibur Al-Ghazali yang di kemudian hari memutuskan untuk mendalami tasawuf dan meninggalkan Baghdad.
Ya, Al-Ghazali melihat semua ilmu yang diketahui adalah seperti mimpi seseorang saat tidur. Dalam mimpi ia seperti melihat realitas. Tapi ketika bangun, semuanya hilang.
Nah, Al-Ghazali menegaskan tentang segala hal yang berkaitan dengan akal hanyalah fatamorgana, khayalan, tak nyata, seperti mimpi. Ya, semua ilmu dan pengetahuan itu (ilmu jaliyat; hissiyat dan aqliyat) bagi Al-Ghazali seperti semu. Bukan hakekat.
Karenanya, ia memutuskan untuk memperdalam dan menjali kehidup sufi dengan bertasawuf. Bagi Al-Ghazali dalam tasawuf, tak jarang, lepas dari aturan-aturan aqliyat tadi.
Di sinilah letak pemahaman Al-Ghazali perihal tasawuf. Sebab, kehidupan dunia layaknya sebuah mimpi pada tidur seseorang. Dan ketika bangun tidur (di dunia) ini pun hakikatnya masih di alam mimpi.
Hal-hal menakjubkan, indah, ajib, dan apapun yang terjadi dan ada di dunia hanyalah fatamorgana. Hanya mimpi dalam tidur yang seolah-olah itu nyata. Padahal, ketika bangun dari tidur, semua itu hilang.
Dan manusia akan menyadari bahwa kehidupannya di dunia ini fatamorgana dan semu adalah pada saat mati. Ya, ketika mati itulah, manusia sadar. "intabahu."
Jadi, bisa dibilang, kehidupan yang sesungguhnya adalah setelah kehidupan di dunia. Dan itu dimulai setelah manusia mati.
Sebelum membahas soal tasawufnua Imam Al-Ghazali, yang ingin saya tekankan adalah soal apa yang dituangkan Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin. Bisa dipastikan semuanya adalah ilmu yang diyakini sebagai ilmu yakin.
Karenanya, bisa dijadikan rujukan untuk menjalani kehidupan di dunia. Sekaligus sebagai bekal untuk kehidupan setelahnya.
Bagaimana kedalaman pandangan Al-Ghazali soal ilmu, akan kita bahasa di tulisan selanjutnya.
puncak ilmu pengetahuan adalah kekosongan.
BalasHapusBagai mimpi, ketika tersadar semua tak ada.
Yang ada cuma..
Ikut ah belajar tasawuf.