Ilmu Kalam, Salah Satu Jalan untuk Mencari Kebenaran.

(catatan iseng tentang Ihya Ulumuddin bag-12)

Imam Al-Ghazali dawuh: kalau ingin mencari kebenaran (Al-Haq) setidaknya bisa menggunakan salah satu metode yang dipakai oleh empat kelompok ini; Mutakallim alias ahli kalam, bathiniyah, filsafat, dan tasawuf. Jika tidak menggunakan salah satu metode ini, Al-Ghazali tegaskan gak akan ada harapan Al-Haq bisa ditemukan.

Metode pertama adalah yang dipakai para mutakallim. Para ahli ilmu Kalam. Kelompok ini bisa dibilang ahli "ra'y wan nazhor". Ahli penalaran. Metode yang dipakai kelompok ini adalah metode penalaran dan rasional. Bagaimana lahirnya kelompok ini?

Awalnya keimanan dan akidah umat Islam adem ayem. Tentrem. Tenang. Sederhana dan gak neko-neko seperti keyakinan nenek dan umi saya; "pokoknya shalat, ngaji, jalanin perintah Allah, insyaallah selamet dan berkah." 

Ya, kira-kira seperti itu keadaannya. Tak ada yang "ngerecokin" akidah dan keimanan umat Islam. 

Hingga kelompok ahlu bid'ah datang. Keadaan iman dan akidah umat islam mulai beriak. Ada gelombang, seperti ombak. di antara kelompok itu ada Muktazilah, mujassimah, dan lain-lain. 

Para ahli bid'ah ini di antaranya mempertanyakan soal  hal pokok: Al-quran alias Kalamullah. Terjadilah dialektika, perdebatan. Lalu lahirlah ilmu Kalam. 

Dalam istilah Kristen, ilmu ini dikenal dengan teologi. Berakar kata: Theos yang berati ketuhanan dan logos yang berarti ilmu atau pengetahuan. Jadi, ini adalah ilmu tentang ketuhanan.

Ilmu Kalam ini kalau dalam Kristen ada ilmu aplogetika. Yaitu, ilmu untuk mempertahankan keyakinan yang dimiliki seseorang. Dan Ini terjadi, karena ada serangan dari pihak lain yang mencoba menghancurkan keyakinan seseorang.

Hal ini sesuai dengan tujuan ilmu Kalam menurut Al-Ghazali yaitu; mempertahankan, menjaga, dan mengawal akidah ahlus Sunnah pada pengikutnya. Di antaranya, dari "goyangan" ahlul bid'ah tadi. 

Nah, sayangnya, banyak ulama yang tidak suka dengan ilmu kalam. Pasalnya, metode yang sering dipakai adalah debat. Ya, dalam perjalanannya, ilmu Kalam ini banyak terisi perdebatan. 

Tak sedikit ulama salaf yang tidak suka dengan ilmu-ilmu yang menggunakan metode rasional. Misalnya Imam Hambali, Imam Syafi'i, dan lain-lain. Dan efeknya, tak "klop" juga dengan ilmu Kalam. 

Karena itu tadi, di dalam ilmu Kalam banyak berisi perdebatan. Perdebatan menuntut adanya argumentasi-argumentasi kuat yang menyakinkan. Dan bisa dipastikan kerja-kerja argumentatif semacam itu sangat perlu dan butuh sentuhan rasional.

Tapi, tak semua ulama tidak suka dengan ilmu ini. Misalnya, Ulama masyhur pengarang Mafatihul Ghaib, Fakhruddin Ar-Rozi yang suka berkeliling untuk berdebat. Perjalanan (berdebat) Ini bisa dilihat pada karyanya yang lain, yaitu al-Munazhoroh.

Al-Ghazali pun ahli debat. Tapi ia tidak menyukai perdebatan. Ya, Al-Ghazali tidak begitu "sreg" dengan kebenaran yang dihasilkan dari perdebatan. Tidak suka hasil yang nongol dari hal polemik seperti debat. 

Namun, debat perlu dan penting juga. Terlebih para para mutakallim menggunakan metode ini untuk menghadapi "tweet war" para ahli bid'ah yang seringkali menggunakan argumentasi logika dan filsafat. 

Karena keadaan dan situasi, sepertinya, mau tidak mau, terpaksa, para ulama ahli ilmu Kalam akhirnya menggunakan metode rasional juga. Karena ini dibutuhkan untuk menjawab semua argumentasi logika dari para ahli bid'ah.

Di antara cara yang dipakai dalam berdebat ini adalah tartibul muqoddimat. Ini seperti silogisme-nya Aristoteles. Teori tentang bagaimana mengambil kesimpulan dari premis-premis (pernyataan) yang ada.

Misalnya: ada pintu di kamar mandi (premis A) kamar mandi bagian dari rumah (premis b), jadi, pintu bagian dari rumah (kesimpulan). 

Kemampuan tartibul muqoddimat ini menjadi vital dikuasai para ulama. Sebab, salah satu yang dipertanyakan Mu'tazilah adalah soal sifat Allah; qodim atau haadits? Kalau haadits, itu berarti Allah ada banyak. Tidak Esa. Pun sebaliknya. 

Ya, argumentasi yang dibangun kaum Mu'tazilah sangat rasional dan meyakinkan. Jika ulama yang berakidah Asy'ariyah tidak mampu menjawabnya, maka bisa runtuh akidahnya.

Metode rasional dalam perdebatan ini, meski ajib, dan tujuannya pun sangat baik, bahkan Al-Ghazali sangat menguasainya, tapi ia tetap kurang "sreg" jika dipakai untuk mencari kebenaran (al-Haq). Bahkan baginya, sedikit manfaat dalam debat. 

Walau sedikit manfaatnya, sepertinya perlu juga untuk kita menguasai ilmu-ilmu yang mengokohkan akidah kita. Terlebih jika ada yang ingin menggoyahkannya. 

Agar tidak sekadar "taklid" alias menerima akidah turunan dari orang tua saja. Kalau, landasannya keropos, kapanpun bisa runtuh. Ambyar.

Apa itu akidah Asy'ariyah? Apa akidah Al-Maturidiyah? Kenapa akidah kita mengikuti Asy'ariyah? Kenapa disebut juga dengan akidah dua puluh? Apa saja sifat-sifat wajib Allah? Dan pertanyaan-pertanyaan mendasar lain yang mesti kita tahu jawabannya. 

Itulah pentingnya kenapa kita tahu. Betapa asiknya menjadi orang yang tahu. Apalagi jadi orang yang berilmu. 

Dalam Ihya saja, dua ayat pertama yang digunakan Al-Gahazali dalam membangun landasan logika tentang keutamaan ilmu adalah ayat yang menegaskan kedudukan dan derajat yang amat tinggi bagi orang-orang yang berilmu. 

Keisengan saya pun bilang: kalau landasan (ilmu dan pengetahuan) kokoh ini dipakai untuk urusan dunia, bagaimana kira-kira? Misalnya, profesi seseorang sebagai pedagang. Ia mempelajari seluk beluk dunia dagang. Hingga benar-benar menguasainya. 

Untuk hal ini, akan kita bahas pada tulisan selanjutnya. Sebab Al-Ghazali membahasnya pada bagian berbeda, soal macam-macam ilmu. Termasuk bagaimana pandangan beliau soal ilmu-ilmu dunia. Hingga ilmu yang perlu dan tak perlu dipelajari. 

Insyaallah.

Allahu A'lamu bisshowab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)