Belajar tentang Ilmu Mu'amalah dan Mukasyafah Kepada Ulama Radikal: Imam Al-Ghazali.

(Catatan Iseng perihal Ihya Ulumuddin bag-9)

Saya tak tahu pasti kapan pergeseran makna kata radikal mulai terjadi.  Hingga tak sedikit yang mengira kata radikal itu identik dengan hal negatif. Padahal di KBBI radikal setidaknya  diartikan dengan sampai ke hal yang prinsip serta maju dalam berpikir atau bertindak. Positif, bukan?

Saya yang baru, sedang, dan akan terus mempelajari karya Al-Ghazali tak sungkan untuk bilang, Al-Ghazali adalah ulama yang radikal. Sebab Al-Ghazali memikirkan sesuatu hingga ke akar-akarnya. Sampai ke intisarinya. Terus mencari kebenaran sesuatu itu sampai ke "tulang sumsumnya".

Dalam kitabnya Al-Munqidz Minad-Dholal, diceritakan bagaimana Imam Al-Ghazali melihat pertumbuhan manusia. Ketika lahir, manusia dalam keadaan Fitrah. Seperti hadits nabi: Kullu mauluudin yuuladu 'alal fitroti... (Hingga akhir hadits). Ini seperti teori tabularasa John Locke yang menyatakan seorang anak itu seperti kertas putih. Bersih. 

Karena radikal, Al-Ghazali melihat pertumbuhan seseorang dengan pandangan berbeda. Ketika melihat seorang anak Nasrani, anak itu tidak tumbuh kecuali dalam kehidupan Nasrani. Begitu pun dengan anak Yahudi, tidak tumbuh kecuali dalam kehidupan Yahudi. Pun anak Islam, tidak tumbuh kecuali dalam kehidupan Islam.

Al-Ghazali melihat pertumbuhan itu sebagai bentuk "taqlid" alias hanya mengikuti orang tua dan guru-gurunya menurut agama masing-masing. Dan bagi Al-Ghazali, ilmu yang didapat dari "taklid" bukanlah ilmu yang sebenarnya. Bukanlah hakekat ilmu. 

Al-Ghazali menegaskan bahwa "taklid" pada anak-anak itu diawali oleh dikte-dikte para orang tua dan guru-guru mereka. Dan "dikte-dikte" atau "doktrin-doktrin keturunan" ini bukanlah hakikat ilmu. Bukan ilmu yang sebenarnya. 

Baginya, ilmu yang sebenarnya alias hakikat ilmu adalah ilmu al-yakin (Al-'Ilmu al-Yaqini). Apa itu ilmu yakin?

Ilmu yakin adalah ilmu yang mengungkap dan menyibak semua pengetahuan yang tidak menyisakan ragu sedikitpun. Ya, tidak ada keraguan pada apa yang diketahui. 

Ilmu dan Pengetahuan itu tidak akan goyang walau ada Seseorang yang menggoyahkan dengan jurus mengubah batu jadi emas dan menyulap kayu jadi ular. 

Dalam Al-Munqidz Minad-Dholal, Al-Ghazali menyontohkan dengan pengetahuan bahwa angka sepuluh lebih banyak dan lebih besar dari tiga. Nah, pengetahuan ini tidak goyah walau itu tadi, ada yang bilang salah lalu menunjukkan jurus mengubah batu jadi emas dan menyulap kayu  jadi ular. Pengetahuan yang tidak goyah inilah yang dimaksud dengan ilmu yakin. Bagaimana memperolehnya?

Al-Ghazali menyontohkan dengan cara mempertanyakan kembali apa yang telah diketahui. Ya, kembali mempertanyakan; "apakah yang kita ketahui ini benar-benar benar? benar-benar ilmu? Atau hanya "taklid"?

Dalam filsafat ada istilah epistemologi. Ini adalah ilmu tentang bagaiman mengetahui sesuatu. Nah, epistimologi Al-Ghazali adalah terus mempertanyakan, melihat, meneliti, dan menelusuri apapun yang kita ketahui hingga sampai pada titik ketika ilmu atau apapun yang kita ketahui tersebut kokoh, tidak ada yang bisa menggoyahkan lagi, tidak ada yang bisa menyangkal dan meragukannya lagi. 

Ya, kira-kira seperti itu proses epistimologi Al-Ghazali. Tentang epistimologi ini, kita bisa temukan dalam Ihya Ulumuddin pada bab ilmu. Pada bagian pertama kitabnya. 

Dalam epistimologi Islam ada empat tingkatan ilmu; ilmu, Zhan, Syak, dan Wahm.

tingkatan pertama adalah "al-ilmu". Alatnya adalah Burhan alias dalil dan bukti yang kuat. Jadilah ilmu. 

Misalnya, satu ditambah satu hasilnya dua. Misal yang lain; ibu jari adalah jempol. Ideologi negara Indonesia adalah Pancasila. Kalau pengetahuan dan ilmu ini  dipakai untuk urusan akidah, maka akan kokohlah akidah seseorang. 

Tingkatan kedua adalah "al-zhon". Sangkaan. Kebenaran ilmu atau pengetahuan pada tingkatan ini bisa dibilang di atas 50 persen. 70 persen misalnya. Pada tingkatan ini sesuatu yang dilihat, diteliti, cenderung mendekati benar. 

Tingkatan ilmu yang kedua ini banyak diaplikasikan pada ilmu fikih. Ya, Ilmu fikih bisa dibilang ilmu zhon. Sebab ilmu fikih sangat erat dengan ijtihad. Tentu saja ijtihad para ulama. 

Tingkatan ketiga adalah "as-syak". Pada tingkatan ini, kebenaran sebuah ilmu atau sesuatu yang diketahui masih diragukan kebenarannya. Posisinya "Fifty-Fifty", "50-50", antara benar dan salah. Walau begitu, bagi Al-Ghazali, syak atau keraguan adalah tangga menuju yakin. Dan pemikiran ini banyak mempengaruhi skeptisisme-nya Descartes. 

Tingkatan terakhir adalah "al-Wahm". Ini terjadi ketika sebuah ilmu atau pengetahuan lebih mendekati pada kekeliruan dan kesalahan. Sederhananya, benarnya di bawah 50 persen. 

Nah, soal ilmu dan pengetahuan ini pulalah di antara sebab Al-Ghazali membuat Ihya Ulumuddin. Seperti pernah saya tulis di catatan iseng saya sebelumnya, soal matinya ilmu-ilmu agama yang bisa dilihat juga pada mukadimah Ihya. 

Ya, Al-Ghazali melihat, saat itu, masyarakat mengira ilmu pengetahuan adalah fatwa-fatwa pemerintah. Padahal fatwa tersebut menurut Al-Ghazali adalah "kepentingan" oknum-oknum ulama untuk memperoleh harta dan jabatan. 

Kemudian, masyarakat mengira bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari mereka yang menang pada perdebatan (jidal). (Dalam istilah filsafat ada dialektika. Hasil dari dialektika lebih condong pada sangkaan). Dan ini bagi Al-Ghazali bukan hakekat ilmu pengetahuan. 

Lalu Al-Ghazali melihat masyarakat mengira bahwa ilmu pengetahuan adalah kata-kata indah dari para penasihat. Semacam bualan. Gombalan. Rayuan. Bagi Imam Al-Ghazali, itu pun bukan ilmu pengetahuan. 

Pandangan-pandangan itulah yang sepertinya membuat Al-Ghazali menyatakan bahwa ilmu-ilmu agama telah mati.

Padahal, ilmu (tentu saja ilmu yang benar-benar ilmu) bagi Al-Ghazali adalah salah satu jalan untuk menuju akhirat. Karenanya Al-Ghazali menegaskan bahwa beliau mengarang ihya agar bisa dijadikan dorongan serta pegangan bagi para masyarakat dalam mempelajari ilmu muamalah dan ilmu mukasyafah yang keduanya adalah bekal untuk menuju akhirat.

Ya, dalam Ihya Ulumuddin, setidaknya dua ilmu inilah yang dijelaskan oleh Al-Ghazali. Tentu saja dijelaskan hakikat dan pengertian semua hal yang terkait muamalah dan mukasyafah. 

Al-Ghazali menekankan ilmu mua'malah, selain diketahui dan dipahami, mesti diamalkan. Sementara ilmu mukasyafah cukup diketahui dan dipahami. Sebab, ilmu muamalah Benyak berhubungan dengan "luar diri" sementara ilmu mukasyafah "ke dalam diri". 

Nah, keisengan saya, lagi-lagi tersentil. Soal ilmu "mukasyafah". Ini seperti hal-hal yang bersifat "bathiniy" alias batiniah. Tak terlihat. Sesuatu yang tertutup tabir misteri. Sesuatu yang tak bisa diketahui dengan inderawi. 

Goenawan Mohamad, penulis Catatan Pinggir Tempo, pmenulis soal "Entah". Meski tulisan GM ini untuk "menyentil" ilmu dan agama di masa pandemik cofid-19 ini (walau untuk menyentil agama, tak banyak rujukan yang diceritakan) tapi saya tertarik dengan argumentasi yang dibangun, yaitu soal ketidaktahuan alias Entah. 

Baginya, "Entah" (ketidak dan kebelum-tahuan) ini dimulai sejak Descartes bilang "yang saya ketahui sepenuhnya adalah saya tidak tahu apa-apa." 

Entah terus berlanjut. Tentu saja menjadi problem yang mesti diselesaikan. GM menyebut akar kata problem adalah sesuatu yang dilemoar ke depan kita- untuk dipecahkan dan diterobos. Ya, Entah hadir di depan dan selalu menyertai perjalanan hidup manusia. 

Hingga datanglah masa modern yang mencoba menghadapi dan memecahkan Entah alias kebodohan ini. Dengan semangat Aufklarung mencoba mendesak Entah dengan menggiring manusia masuk ke "zaman penalaran", "age of reason". Orang-orang mulai didorong untuk "sapre Aude!" (Beranilah untuk mengetahui). Sampai di sini, ada proses epistimologi. 

Sayangnya, saya kok mengira bahwa GM membatasi sesuatu yang mesti diketahui itu lebih kepada lahiriah. Yang kasat mata. Terlebih ketika GM cerita soal jumlah korban yang terjangkit. Padahal yang disentilnya adalah sesuatu yang tak kasat mata; virus cofid-19. Dan ilmu pun, bagi saya, sesuatu yang awalnya abstrak. Tak terlihat. Hingga ada proses epistimologi yang berusaha mewujudkan sesuatu yang tak tampak itu. 

Nah, jika GM membaca Ihya Ulumuddin sepertinya akan asik. Sebab seperti yang sudah saya bilang, Ihya Ulumuddin adalah kitab yang tak hanya membahas hal yang bersifat lahiriah, tapi batiniah juga. Ini bisa dilihat dari berbagai pembahasan di dalamnya yang banyak memuat soal "asror".

Asror adalah kata jamak dari "sirrun" yang artinya rahasia. Nah, hal yang rahasia itu dekat dan lekat dengan yang tak tampak. Seperti Entah-nya GM. Dan sesuatu yang tak tampak itu sepertinya bisa diketahui dengan proses epistimologi ilmu mukasyafah. Ilmu yang menyingkapkan. Ilmu yang membuka. 

Jadi, walau GM bilang yang tidak kita tahu banyak, (dan saya tambahkan) yang rahasia tak terhingga, hal gaib tak terkira, kebodohan merajalela dalam diri kita, semua itu bisa dikikis perlahan dengan sesuatu yang gaib pula namun ada pada setiap diri manusia. Al-Ghazali menyebutnya dengan "dzauq" yang bisa dilatih "kepekaannya" dengan terus membersihkan diri (hati dan jiwa). Caranya bisa dengan dzikir dan melakukan hal-hal lain yang bisa membuat Allah semakin cinta pada kita.

Dan semakin tegas saya bilang; saya makin tertarik belajar kepada ulama radikal bernama; Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Abu Hamid Al-Ghozali At-Thusi, ini.

Allahu A'lamu bisshowab wa ilaihi as-alulhidayah.

Sawangan Baru

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)