Belajar kepada Al-Ghazali: Bagaimana Mencapai Puncak Intelektual dan Spiritual.
(Catatan Iseng soal Ihya Ulumuddin bag-8)
Imam Al-Ghazali setidaknya mendalami lalu menguasai empat hal hingga mencapai puncak intelektual dan spiritualnya.
Pertama, ilmu Kalam. Ini tentang akidah. Kekinian ilmu ini lebih dikenal dengan teologi. Berasal dari theos yang berarti ketuhanan dan logos yang bisa berarti ilmu.
Istilah teologi ini khas Kristen. Dalam khazanah Islam klasik adalah ilmu Kalam. Disebut ilmu Kalam karena ini membahas soal tema pokok dalam Islam; Kalamullah, Al-Quran.
Kalamullah ini pernah menjadu perdebatan dan diskusi yang menarik pada dinasti Abbasiyah di masa Kholifah ke-7, Al-Makmun. Perdebatannya pada; apakah Al-Quran yang dicetak (mushaf) itu Kalamullah atau tidak?
Ada yang bilang itu "Kalamullah" lalu ditimpali bahwa itu lembaran, kitab. Ada yang bilang itu mushaf biasa, lalu ditimpali lagi; itu Kalamullah. Dan seterusnya. Perdebatan itu terjadi pada sebuah "mihnah" semacam pengadilan.
Akidah yang dianut Al-Ghazali adalah akidah Asy'ariyah yang sepertinya paling banyak dianut oleh umat Islam di Indonesia, disamping Al-Maturidiyah.
Al-Ghazali belajar ilmu Kalam kepada gurunya yang bernama Imam Al-Juwaini. Dikenal juga dengan Imam Al-Haromain yang mengarang kitab fikih bermadzhab Syafii, Nihayatul Mathlab. Ajibnya, Kitab ini kemudian mendapat respon dari Al-Ghazali yang membuat kitab Al-Mankhul min Ta'liqotul Ushul yang isinya mengenai kitab karya gurunya tersebut.
Dalam urusan akidah Asy'ariyah Imam Al-Juwaini membuat kitab, Al-Irsyad. Ini pun kemudian direspon Al-Ghazali dengan membuat kitab Al-iqtishod fil I'tiqod. Kitab ini kemudian dimasukkan ke dalam Ihya Ulumuddin bagian akidah.
Al-Ghazali adalah penganut akidah Asy'ariyah dan pernah mengeritik akidah ini. Menarik bukan?
Ciri-ciri Akidah Asy'ariyah diantaranya adalah memahami Allah melalui sifat dua puluh. Karenanya banyak yang menyebutnya dengan akidah dua puluh.
Akidah ini pernah dibantah oleh para pengikut muktazilah yang dikenal dengan al-mu'aththilah. Dan Al-Ghazali dalam Al-Munqidz Minad-Dholal menegaskan bahwa ia pun memperdalam dan memehami betul soal muktazilah ini.
Muktazilah ini adalah aliran yang tidak mensifati Allah. Menurut pandangan Muktazilah, jika ada sifat Allah, itu berarti ada dua Allah. Maksudnya, kalau Allah punya sifat, maka itu berarti Allah lebih dari satu. Terlebih jika sifat Allah itu sesuatu yang bukan "qadim" alias "hadits".
Sederhananya, kaum Muktazilah itu mempertanyakan soal sifat Allah, apakah qadim atau hadits? Jika hadits, maka berarti ada sesuatu yang baru (hadits) pada diri Allah.
Nah, Al-Ghazali membantah semua argumentasi itu dengan pemahamannya soal akidah. Ini bisa dilihat pada Ihya Ulumuddin di bagian akidah.
Setelah Ilmu Kalam, Al-Ghazali memperdalam "thuruq ahlut Ta'lim". Ini merujuk kepada Syiah Ismailiyah dan terkait dengan posisi sekaligus jabatan yang pernah Al-Ghazali pegang.
Ya, pada dinasti Saljuk pada masa kerajaan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad (Irak) Al-Ghazali pernah menjabat sebagai penasihat kerajaan. Semacam penjaga ideologi negara.
Dinasti Abbasiyah yang berideologi Asy'ariyah punya "saingan", yaitu kerajaan Fathimiyah. Ideologi dinasti Fathimiyah ini adalah Syi'ah Ismailiyah.
Berbeda dengan Syiah yang banyak terdapat di Iran saat ini yang merupakan Syi'ah itsna Asy'ariyah alias yang mengikuti dua belas imam. Syiah Ismailiyah merujuk kepada nama Ismail. Anak dari imam ketujuh Syiah, Jakfar As-Shodiq. Ciri khas Syiah Ismailiyah adalah cenderung memperdalam kebatinan atau spiritualitas. Karenanya Al-Ghazali dalam Al-Munqidz Minad-Dholal menggunakan kata "bathiniy" untuk Syiah Ismailiyah ini.
Nah, kholifah Nidzomul Mulk meminta Al-Ghazali untuk mengeritik soal Syiah Ismailiyah. Di sini, dalam hal ini, bisa menjadi pelajaran dan semacam prinsip, yaitu; sebelum mengeritik, seorang pengeritik mesti memahami dan menguasai terlebih dahulu apa yang dikritik. Ini yang Al-Ghazali lakukan.
Setelah menguasai soal Syiah Ismailiyah, Al-Ghazali pun membuat kitab Fadhoihul Bathiniyah. Tentu saja isinya soal kritik terhadap Syiah Ismailiyah. Bahkan, Al-Ghazali bilang, mereka (para penganut Syiah Ismailiyah) adalah orang-orang yang tidak pernah sampai pada puncak kebenaran karena "taklidul imam". Hanya menjadi pengikut imam.
Sampai sini, keisengan saya disentil. Al-Ghazali seakan mengajak untuk memperdalam, menguasai tentang sesuatu (ilmu) lalu berusaha untuk berpendapat dengan pandangan yang lebih segar. Sederhananya ijtihad.
Setelah Ilmu Kalam dan thuruq ahlu ta'lim, Al-Ghazali memperdalam soal filsafat. Filsafat ya g diperdalam adalah filsafat Ibnu Sina.
Setidaknya ada tiga kitab filsafat Ibnu Sina yang Al-Ghazali pelajari. Yaitu, Asy-Syifa, Al-'isyarot wat-Tanbihat, dan Annajah.
Ketiga kitab tersebut dikunyah benar-benar oleh Al-Ghazali sampai "lontok". Setelah benar-benar menguasainya, Al-Ghazali membuat kitab Maqashid Al-Falasifah alias tujuan filsafat. Lagi-lagi, tak cukup sampai di situ, Al-Ghazali yang sudah menguasai dan tahu betul filsafat Ibnu Sina, kemudian membuat kritik terhadap filsafat dengan kitabnya, Tahafutul Falasifah.
Ibarat kata, seperti orang yang menikah dan berumah tangga. Semakin lama semakin mengenal bagaimana sosok masing-masing. Bagaimana "daleman", sifat, sikap, dan keseluruhan hidup pasangan. Ketika benar-benar sudah tahu, si suami atau istri bisa "mengeritik" pasangannya. Tentu saja, tujuannya untuk perbaikan pasangan. Bukan untuk ajang debat dan merebut kemenangan. Bukan untuk membuat yang satu lebih baik dari yang lain. Bukan untuk pembuktian dan perwujudan superioritas.
Hal terakhir yang diperdalam Al-Ghazali adalah tasawuf. Dan ini, beliau tegaskan adalah jalan yang ia suka dan ridhoi.
Keisengan saya bilang, kalau melihat perjalanan intelektualitas Al-Ghazali, setidaknya ada beberapa hal yang mesti saya lakukan.
Pertama, menjadikan akidah sebagai landasan. Sebagai dasar. Sebagai pondasi kehidupan. Kedua, setelah punya dasar akidah, saya mesti mengisi dan mengasah otak dan akal. Untuk tafakkur dan tadabbur. Karena ini yang menjadi pembeda saya dengan makhluk Allah yang lain. Ini terkait lahiriyah. Ketiga, mengasah rasa batiniyah. Kepekaan jiwa.
Sederhananya; dasarnya diri dan kehidupan saya adalah akidah. Lalu mesti diperkuat dengan kemampuan berpikir. Kemudian diperhalus dan diperindah dengan tasawuf.
Oh, betapa indah. Sanggupkah?
Allahu A'lamu bisshowab.
Sawangan Baru
Komentar
Posting Komentar