Silaturahmi dan Sastra Kehidupan yang begitu Indah Dinikmati



(Catatan dari percakapan group WA, Averose)

Kitsch. Kata Ini mulai dipakai oleh orang Jerman pada pertengahan abad ke-19 sebagai lawan dari kata Kunst (seni).

Kitsch, bisa berarti seni selera rendah, seni murahan, loakan, rongsokan, rombengan atau seni yang telah kehilangan rasa. Sementara Kunst seperti logam mulia, emas tulen. Kitsch barang imitasi.

Milan Kundera membuat daftar kosakata kreatif baru untuk menjelaskan beberapa segi kemuskilan sesi sastra pada bab yang diberinya judul "Sixty-three Words" Dalam bukunya The art of the novel (Faber and Faber, London/Boston, 1988). Di antara 63 kata yang dipilihnya terdapat juga kitsch, yang dijelaskannya sebagai seni bermutu rendah. 

Sastrawan Austria Hermann Broch (1886-1951) pun menerjemahkan kata kitsch menjadi "art de pacotille". Seni bermutu rendah. 

Broch cerita soal puncak kesejarahan kata ini berasal dari romantisme sentimental abad ke-19, abad yang lebih romantik dan kurang realistis di Jerman dan Eropa Tengah yang dibandingkan dengan di tempat lain.

Ya, Kistch dan Kunts walau terkait seni, tapi ia bicara soal nilai. Kundera dalam bab berjudul "Jerusalem Address: The Novel and Euorope", bilang akan tetap ada nilai-nilai universal pada hampir semua hal di dunia ini. Ini berkebalikan dengan dengan Arief Budiman (Soe Hok Djin) dalam tulisannya "Mencari Sastra yang Berpijak di Bumi: Sastra Kontekstual." Arief Budiman mendasari pendapatnya ini atas pandangan bahwa para sastrawan menciptakan karya-karya sastra yang memikii nilai universal. 

Ini ia kritik sebab, bila bernilai universal, maka karya sastra bisa punya arti bagi semua orang, dari zaman dulu hingga zaman yang akan datang, dimanapun dan kepada siapapun. 

Sepertinya Arief Budiman tak menemukan hal itu. Karena nilai satu karya sastra bisa diterima oleh sebagian orang, sementara yang lain tidak. 

Sepertinya ini pula di antara yang mendasari istilah sastra gelap. Karena ada karya sastra yang tak bisa dipahami oleh sebagian orang. Meminjam istilah dan kelakar Maman S Mahayana, sastra gelap itu hanya bisa dipahami oleh Tuhan, bahkan mungkin penulisnya sendiri tak paham.

Sutardji Calzoum Bachri pun ikut membahas soal sastra gelap ini lewat tulisannya di Kompas, Minggu, 14 Desember 1997. Pada tulisan berjudul Pantun itu, Bang Tardji cerita soal sampiran pada pantun.

Kata-kata dalam sampiran tidak harus menampilkan keterikatan hubungan makna atau keterikatan secara akal sehat dengan kata-kata atau makna dari larik isi pantun. 

Sesama sampiran pun, kata bang Tardji, tidak diwajibkan untuk saling ada hubungan yang wajar atau masuk akal. Sering kalimat-kalimat dalam larik sampiran berucap sendiri-sendiri tidak saling mendukung dan merupakan pernyataan yang terpisah atau tak berhubungan, dan kalau dihubungkan menjadi tidak masuk akal atau tidak wajar. 

Itu semua dimungkinkan, karena yang penting pada sampiran ialah jumlah suku katanya dan bunyi suku kata terakhirnya saja. 

Karenanya, sampiran menampilkan bahasa yang tidak umum (wajar), aneh, tidak masuk akal sehat, meracau, bahasa igau, bermain-main, bunyi-bunyi, dan semacamnya.

Beda dengan larik isi yang biasanya mengandung hal-hal yang masuk akal, konvensi umum, kenyataan empirik, rasional atau sesuai dengan akal sehat, atau harapan-harapan manusiawi yang umum.

Larik isi dengan keseuaian jumlah suku kata dan bunyi suku kata terakhir membuat larik sampiran menjadi sah. Walau terasa tak masuk akal, berlebihan, kacau, ngawur, seperti mimpi atau igauan. 

Bagi Tardji, sampiran merupakan wadah yang cenderung menampilkan pengucapan yang unik, irasional, kacau, atau mengigau. Sementara larik isi cenderung menampilkan pengertian (bahasa) umum, konvensional, rasional, ihwal yang masuk akal, kenyataan empirik. 

Bang Tardji bilang: ucapan yang aneh, meracau, nonsens, bisa sah saja dalam sampiran sejauh ia berbunyi. Dengan kata lain pada sampiran orang bisa menghadirkan semacam the otherness of language.

Ini ditegaskan bahwa sampiran berfungsi sebagai mediun untuk mengantarkan larik isi pantun (massage). Dan sebagai medium ia hanya dibebani syarat jumlah bunyi (jumlah suku kata) dan bunyi akhir tiap latin sampirab bersesuaian dengan jumlah suku kata (jumlah bunyi) dan bunyi akhir tiap larik isi yang dipadankan untuknya. 

Ini ada kaitannya dengab paham individualisme dan kebebasannya (individual). Kebenaran mulai cenderung dilihat tidak secara umum tetapi lebih merupakan pengalaman dan penghayatan individual. 

Terlepas kitsch Atau Kunst, hal-hal yang berarti dan bernilai universal atau tidak, sampiran atau isi, Caknun yang dalam salah satu tulisannya oin membahas hal ini ke dalam hal lebih sederhana, yaitu soal bungkus dan isi.

Ya, percakapan yang terjadi di group WA pun itu seperti kiitsch atau Kunst yang emas sejati atau imitasi bisa didapati. Laiknya larik sampiran yang asal bunyi atau larik isi yang membawa pesan pun bisa ditemui. Termasuk hal-hal yang berarti universal atau individual pun bisa ikut dinikmati. 

Ya, semua itu bisa saya dapati pada percakapan di group Averose, angkatan ke-28 TMI Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Madura. 

Dari semua itu, setidaknya saya dapati bahwa inilah silaturahmi. Diantaranya silaturahmi virtual lewat kata-kata di WA. Tak peduli bungkus atau isi, tak melihat Kitsch atau Kunst, tak melihat sampiran atau isi, semuanya lebur dalam satu wadah, silaturahmi. 

Silaturahmi menampung sekaligus melebur dan meremangkan semua perbedaan. Beda pilihan politik, beda pendapat hingga berdebat, dan beda-beda lainnya. 

Ah andai saja, semua orang di negeri ini bisa  mengutamakan dan mendahulukan silaturahmi. Andai saja semua orang bisa mengamalkan salah satu tugasnya untuk saling mengenal dan tahu perbedaan-perbedaan. Sepertinya, akan tercipta sastra kehidupan yang bisa dinikmati lebih dalam lagi.

Sawangan Baru, 31052020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)