Bisakah "Hidup Abadi?"
(catatan iseng tentang Ihya Ulumuddin bag-5)
Dalam Ilmu Balaghoh ada istilah "baroatu al-isti'lal". Ini adalah kemampuan dan keterampilan seseorang dalam membuat pendahuluan dalam karya tulisnya.
Kata pengantar atau kalimat pembuka menjadi vital. Karena hal itu layaknya sandi atau "password" pada gawai. Secanggih apapun isi gawai, akan menjadi ompong jika kata kunci untuk membukanya tak diketahui.
Di kalangan teman-teman pegiat literasi dan sastra pun, seringkali saya ditekankan untuk membuat kalimat-kalimat yang aduhai di awal paragraf. Karena itu akan seperti indahnya senyum dan eloknya wajah seorang perempuan; sangat memikat dan begitu nikmat untuk dilihat.
Di Al-Quran pun surat yang menjadi pembuka dinamakan Al-Fatihah. Menurut
Syekh Muhammad Ali As-Shabuni dalam Shafwatut Tafasir, surat ini mencakup tujuan asasi Al-Qur’an secara umum. Ya, begitu pun dalam mukadimah Ihya Ulumuddin. Sepertinya pun memuat keseluruhan isinya. Tentu saja sekilas dan ringkas.
Ya, begitulah kira-kira pentingnya sebuah mukadimah. Dan sepertinya Abu Hamid Al-Ghazali mengerti betul tentang ini. Karenanya dalam mukadimah Ihya Ulumuddin, pembaca disuguhkan tentang bagaimana kitab ini. Dari landasan disusunnya, apa saja isi di dalamnya, hingga tujuan kitab ini dibuat.
Nah, ketika saya mengikuti pengajian Ihya Ulumuddin. Saya langsung tertarik dengan kalimat pertama, dalam mukadimahnya;
احمد الله اولا، حمدا كثيرا متواليا
Perlu dicatat, Al-Ghazali, selain ulama (ahli ilmu-ilmu agama), beliau pun seorang filosof. Apapun (kata dan kalimat) yang ditulis bisa dipastikan ada landasan logis di dalamnya. Kenapa kata ini yang dipakai, kenapa kalimat itu yang ditulis, misalnya, saya kira punya alasan logis.
Tentu saja logika ini pun dibangun atas landasan dalil. Lihat saja di setiap pembahasan pada Kitab Ihya ini, Al-Ghazali pasti mengawali dengan dalil-dalil dari Al-Quran dan Al-Hadits sebagai landasan. Jadi, bisa dibilang, Al-Ghazali menyeimbangkan antara dalil Naqli dan 'Aqli.
Pada tulisan sebelumnya, saya sedikit membahas tentang kalimat pembuka Ihya Ulumuddin yang berupa pujian kepada Allah. Al-Ghazali menggunakan diksi pujian yang banyak dan terus menerus.
Pada kalimat ini, Al-Ghazali seperti ingin menegaskan agar kita terus menerus memuji Allah. Memuji yang banyak. Tak henti. Meskipun semua pujian itu bisa dibilang tak akan cukup dan tak bisa untuk dibandingkan, apalagi disandingkan, dengan kebesaran dan keagungan Allah.
Di satu sisi, Al-Ghazali menekankan untuk terus menerus memuji Allah, dan di sisi lain Al-Ghazali seperti ingin menyadarkan bahwa kata dan kalimat pujian kepada Tuhan tak sebanding dengan Keagungan-Nya. Ya, Al-Ghazali seakan menekankan sisi kesadaran yang mesti dibangun pada diri manusia ketika bertindak, berucap, bersikap, berpikir, dan melakukan apapun.
Di kalimat awal mukadimah Ihya ini, bisa jadi, Al-Ghazali ingin bilang agar pembaca sadar bahwa yang Maha Terpuji hanya Allah. Yang Maha paling Agung hanyalah Allah. Yang Maha Paling Besar hanyalah Allah. Banyaknya pujian yang diucapkan, tak akan cukup untuk menandingi keagungan, keterpujian, dan kebesaran-Nya. Dan lagi-lagi, manusia amatlah kecil. Begitu kecil. Sangat kecil. Pun bisa jadi, seterpuji-seterpujinya manusia, tak ada bandingnya dengan Allah Yang Maha Paling Terpuji. Karena kecil itu, sepatutnya terus berlindung kepada Yang Maha Paling Besar. Karena ketidakterpujian itu, sepatutnya terus memohon kepada Yang Maha Paling Terpuji.
Selain itu, kata yang mengusik keisengan dan perhatian saya adalah "ahmadu". Benak saya langsung mengarah kepada Khotib Jumat, para penceramah, dan mereka yang suka pidato. Kata pembuka setelah salam biasanya "alhamdu". Tentu saja ada perbedaan.
"Ahmadu" bisa diterjemahkan dengan: aku memuji. Sementara "alhamdu" bisa berarti pujian. Saya tidak ingin membahas lebih jauh soal Alif lam nakiroh yang terdapat di kata alhamdu dan makna yang terdaoat di dalamnyam. Saya lebih tertarik penggunaan diksi Al-Ghazali yang menyatakan bahwa Aku (Al-Ghazali) tengah memuji. Kenapa saya bilang tengah? Karena yang dipakai adalah fi'il mudhori' alias kata kerja yang menunjukan tengah atau sedang dilakukan. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan present tense.
AL-ghazali pun tidak menggunakan kata Madhi, atau kata kerja lampau. Dalam bahasa Inggris, past tense. Kalau Al-Ghazali menggunakan kata Madhi maka itu berarti pekerjaan (memuji) itu telah selesai dan tuntas dikerjakan. Saat ini, pekerjaan itu sudah tidak dikerjakan lagi.
Bisa jadi, penulis kitab ihya ini, memang sengaja menggunakan kata kerja sekarang karena ingin pembaca tahu bahwa ia sedang memuji Allah. Walau Al-Ghazali telah wafat pada 505 Hijriyah atau 1111 Masehi, tapi ketika membaca pembuka kitab ini, kita seakan-akan diperlihatkan Al-Ghazali sedang dan masih memuji Allah. Seakan-akan beliau masih hidup. Abadi.
Saya jadi teringat Pramoedya Ananta Toer yang bilang; "orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Karena menulis itu adalah kerja keabadian." Ya, selain kitab-kitab karyanya, Al-Ghazali pun sangat lihai memilih diksi untuk karyanya. Dan Imam Al-Ghazali pun pernah bilang; "jika engkau bukan anak seorang raja, bukan pula ulama besar, maka menulislah."
Allahu A'lamu bisshowab.
Komentar
Posting Komentar