Mereka yang Sesat Menyesatkan dan Bodoh Membodohkan
(Menenangkan kegelisahan atas berita hoax, fitnah, dan propaganda di group WhatsApp. Bag-1)
Ketika membuka gawai, saya seperti membuka lemari informasi. Mata ini disajikan berbagai hal. Dari yang asik, menggelitik, dan menarik, hingga hal yang bikin tensi darah naik.
Saya ingin acuh dan tak peduli pada seliweran informasi itu. Sayangnya, tak jarang sikap, ucapan, dan hal yang saya lakukan dipengaruhi oleh informasi-informasi itu. Misalnya, saya memutuskan tahun ini tidak berlebaran ke rumah teman-teman karena informasi-informasi perihal Covid-19 masih memberi bayangan yang menyeramkan. Atau misalnya, ketika saya terpaksa mesti pergi ke suatu tempat saat pandemi ini, itu karena saya mencari informasi yang berhubungan dengan tempat tujuan dan saat perjalanan ke sana.
Ya, selain tidak bisa lepas dari gawai, karena saya lebih sering menulis dengan alat ini, sepertinya saya memang tidak bisa lepas dari informasi karena punya pengaruh dalam hidup saya ini.
Selain akses informasi, gawai bisa memfasilitasi saya untuk berkomunikasi dengan orang lain. Lewat aplikasi semacam WhatsApp, saya bisa ngobrol, diskusi, hingga melihat wajah orang lain lewat fitur video.
Komunikasi yang terjadi di WA pun tidak hanya antar pribadi, dua orang saja, tapi bisa juga berkelompok atau komunitas dan biasa disebut group WhatsApp. Di WA saya saja, tercatat lebih dari 70 group.
Ternyata, WhatsApp pun mengalami perkembangan fungsi begitu aduhai. Selain komunikasi, aplikasi ini pun bisa menjadi wadah berbagi informasi, berita, hingga bisnis dan usaha. Sungguh, inilah salah satu bukti kemajuan teknologi.
Nah, di sinilah mulai dinamika yang ajib terjadi. Tak jarang, seorang teman bahkan saudara dan keluarga, menyebar tautan sebuah portal berita, tulisan seseorang, gambar, sampai video, yang isinya bersifat informatif.
Sayangnya, seringkali apa yang disebar masih buram kebenarannya. Hingga belakangan, muncul istilah hoax atau berita bohong. Selain itu, hal-hal yang bersifat propaganda dan provokatif pun sering berseliweran di WhatsApp.
Karena hal itu, akhirnya saya menulis Sabar Sebelum Sebar yang dimuat fikih.id beberapa waktu yang lalu. Yah, ini memang kegelisahan pribadi. Begitu subyektif. Setidaknya, itu buat pengingat diri saya sendiri: agar berhati-hati dalam menerima sebuah informasi. Agar hati-hati dalam menyebar informasi.
Kegelisahan saya semakin jadi, karena masih saja mendapati informasi yang kebenarannya belum pasti di grup-grup WA yang saya ikuti. Saya yang bukan siapa-siapa dan tak punya hak menghakimi, akhirnya hanya bisa membuat cerita ini. Lagi-lagi, untuk pengingat diri sendiri.
Beruntung dan Alhamdulillahnya, saya mendapati sebuah situs yang saya kira bisa mengobati kegelisahan ini.
Awalnya, saya lihat salah satu teman yang menyebar sebuah tautan di media sosialnya. Saya klik. Saya langsung melotot. Seperti eureka. Seakan mendapat jawaban dari pertanyaan yang begitu lama saya harapkan.
Di tautan itu berisi video-video tentang bagaimana melatih logika. Dari situ saya menemukan hipotesis sementara, yaitu; orang-orang yang asal sebar sebuah informasi adalah mereka yang belum berpikir kritis.
Ya, berpikir kritis adalah kunci. Inilah senjata untuk menghadapi gempuran informasi hoax dan propaganda. Ini pun bisa menjadi perisai alias tameng untuk diri sendiri dari serangan dan jejalan informasi yang sesat dan menyesatkan. Inilah salah satu cara untuk menghindar dari jalan bodoh dan membodohkan.
Saya tidak bisa menghindari bahwa segala sesuatu menyimpan sisi positif dan negatif. Satu sisi baik, tapi ada hal buruk di sisi yang lain. Begitu juga dengan kemajuan teknologi. Banyak informasi akan mudah didapati. Nah, karena saking banyaknya informasi, tak jarang malah melahirkan keremangan dan keburaman perihal kebenaran. Informasi menjadi samar, mana yang benar mana yang tidak. Mana hoax mana bukan. Mana propaganda mana yang bukan. Karenanya berpikir kritis menjadi penting. Ini untuk mempertanyakan bagaimana informasi yang tersaji itu. Kenapa informasi itu dibuat. Hingga apakah informasi itu tepat dan akurat. Dan akhirnya sikap, ucap, dan laku yang akan diputuskan tidak sesat menyesatkan.
Ya, saya perlu melatih logika ini agar tidak masuk golongan orang yang sesat menyesatkan dengan asal sebar (asal sharing) kembali informasi yang datang. Agar saya tidak termasuk golongan orang bodoh yang membodohkan dengan memberi dan menyebar berita hoax.
Dan semoga, ini bisa menjadi pelajaran buat diri saya sendiri agar lebih berhati-hati dalam menerima informasi. Terlebih ketika ingin memutuskan untuk menyebarluaskannya kembali.
Sawangan Baru, 26052020
Komentar
Posting Komentar