Nama Anak
(Catatan Iseng untuk dan dari Ihya Ulumuddin)
Sulit Istiqomah. Saya semakin "melek" untuk hal ini. Benarlah jika ada yang bilang; "istiqomah melebihi seribu karomah." Karena memang saya seperti mengurai benang kusut untuk urusan yang satu ini. Kalaupun masuk kategori istikomah, letak keistikomahan saya ya pada kebelum-istikomahan itu sendiri.
Awalnya, di Ramadhan tahun ini, niat saya seperti huruf o; bulat; akan ngaji Ihya Ulumuddin karya Abu Hamid Al-Imam Al-Ghazali. Baru ikut ngaji beberapa lembar, endilalah, saya malah tertarik pada biografi sang pengarang. Sebabnya, ada seorang ustadz yang bilang; "agar lebih mudah memahami Ihya, setidaknya ada beberapa kitab yang mesti dibaca."
Diantara kitab yang disebutkan, antara lain; kitab Al-Mughni fil Asfar 'Anil Asfar Fi Takhriji maa Fil Ihya minal Akhbar karya Al-Imam Al-'Iroqi. Kitab ini menjadi pegangan dalam melihat status hadits-hadits yang dijadikan landasan Al-Ghazali dalam mengarang kitab Ihya.
Kemudian ada kitab Misykatul Anwar. Di dalamnya ada pembahasan soal ilmu makrifat. Tak sedikit bahasa ahli sufi digunakan dalam kitab ini. Ingat, Al-Ghazali adalah seorang sufi yang tentunya memperdalam tasawuf.
Lalu ada kitab Risalah Laduniyah yang berisi soal ilmu laduni. Tak ketinggalan, kitab Kimiya As-Saadah yang membahas soal bagaimana mengenal Tuhan, bagaimana mencapai kebahagiaan rohani, dll.
Dan masih ada lagi beberapa kitab rujukan yang bisa mempermudah untuk memahami Ihya Ulumuddin. Dan saya tak heran, ketika Imam Nawawi bilang; Ihya ini hampir seperti Al-Quran.
Di antara sekian kitab rujukan, ada satu kitab yang menarik perhatian saya, yaitu; Al-Munqidz Minad-Dholal. Ya, kitab ini mengalihkan perhatian saya.
Kitab ini bisa dibilang kitab otobiogragi Imam Al-Ghazali yang ia tulis sendiri. Pun bisa dibilang, ini adalah kitab perjalanan Al-Ghazali hingga mencapai puncak intelektual dan spiritual.
Dalam kitab ini, lagi-lagi Al-Ghazali menunjukkan kelihaiannya dalam menulis. Dalam pembukaannya saja, ada unsur sajak.
الحمد لله الذى بحمده يفتتح كل رسالة و مقالة، والصلاة على محمد المصطفى صاحب النبوة والرسالة، وعلى آله و أصحابه الهادئه من الضلالة.
Begitu indah bukan?
Pelafalan Al-Ghazali oleh para ulama ada dua. Pertama, Al-Ghazzali, dengan "tasydid" di huruf "Zai". Ini merujuk pada profesi ayahnya yang seorang tukan tenun kain wol. Kedua, Al-Ghazali. Ini merujuk pada nama tempat asal Al-Ghazali. Dari keduanya, nama kedua inilah yang lebih banyak dan sering dipakai orang-orang.
Keisengan saya tersentil oleh nama lengkap Al-Ghazali, yaitu; Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Ada kata Abu Hamid.
Kata abu bisa merujuk, setidaknya pada dua hal. Pertama, berarti ayah. Kalau Abu Hamid, bisa diartikan Ayahnya Hamid. Kedua, bisa berarti yang memiliki, suka melakukan, atau ahli. Jika Abu Hamid, maka bisa diartikan orang yang memiliki keterpujian.
Kalau Abu ini merujuk pada silsilah keluarga, anak, maka, dalam penamaan, seperti ada penekanan agar sanad dan silsilah keluarga tidak hilang.
Dipertegas dengan Nama ayah yang ditandai dengan bin. Muhammad bin Muhammad bin Muhammad. Ada tiga generasi yang tak hilang: ayah, kakek, dan buyut. Sepertinya ini tradisi Arab.
Tapi, di negeri ini pun hal kayak gini pernah dipakai. Misalnya Gusdur; Abdurrahman Wahid bin Wahid Hasyim bin Hasyim Asy'ari. Nama ayah melekat pada nama anak. Sayangnya hal ini semakin pudar dan jarang dipakai.
Saya jadi teringat obrolan dengan sahabat yang saat ini tengah menempuh doktoralnya di Surabaya. Kami pernah berdiskusi soal keturunan dan nenek moyang.
Ia pernah bilang jika kita ingin tahu bagaimana kita, maka kita mesti mencari tahu bagaimana orang tua dan nenek moyang kita dahulu. "Karena ada keterikatan antara nenek moyang dengan anak cucunya," terangnya.
Sahabat saya ini pun bilang soal presiden. "Jika ditelusuri, nenek moyangnya para presiden kita itu, dulunya, ada yang jadi raja."
Profesi dan pekerjaan seseorang saat inu, pun terkait dengan nenek moyangnya yang dulu berprofesi sama.
Bahkan, pertemuan seseorang dengan orang lain, pertemanan, dan persahabatannya pun terkait dengan pertemuan, pertemanan, dan persahabatan nenek moyangnya. Saya belum bisa membuktikan secara ilmiah soal ini. Dan karena saya belum mendapat referensi bacaan untuk ini.
Tapi pembicaraan ini amat menarik buat saya. Terlebih ketika ini terkait dengan konsep "kebetulan". Sebab, dalam perspektif keimanan, tak ada hal yang bersifat kebetulan. Semuanya ada karena suatu tujuan. Dan yang mengatur semua itu adalah Tuhan.
Kembali pada penamaan seseorang. Jika merujuk pada nama Al-Gjazali, setidaknya ada beberapa hal yang "disangkutkan". Pertama, keturunan alias sanad dan silsislah keluarga; anak, ayah, kakek, buyut, dan seterusnya. Kedua nama tempat. Bisa tempat kelahiran atau daerah asal. Ketiga, keahlian atau profesi seseorang.
Saya jadi meraba diri dan melihat orang-orang terdekat saya. Semakin ke sini, nama mereka semakin sulit, terlebih dalam penulisannya. Dan nama ayahnya tak lagi tercantum.
Walau semua nama anak-anak saat ini semakin sulit (bahkan aneh) dalam penulisannya, saya meyakini nama tersebut adalah doa dan refleksi dari keinginan orang tua mereka. Semoga, mereka tidak lupa dengan nama ayah, kakek, buyut, kakek buyut mereka, dan seterusnya.
Allahu A'lamu Bisshowab.
Komentar
Posting Komentar