Budaya Motong-Memotong
Melihat ramainya informasi tentang pidato Kiayi Said Aqil Siradj pada harlah Muslimat NU ke 73, Kulub malah teringat nasihat neneknya. Ya, ia ingat betul pituah neneknya. Nenek yang biasa ia panggil Nyai. Nyainya mengatakan tentang tiga tipe orang dalam bersikap. Pertama, orang yang suka. Kedua, orang yang cuek. Ketiga, orang yang tidak suka.
Tipe pertama adalah mereka yang memang tidak ada kebencian dalam diri mereka. Ketika kita berucap, bersikap, atau melakukan apapun, mereka akan menyatakan iya jika setuju dan tidak jika tak setuju. Akan terjadi dialog. Terjadi pertukaran informasi dengan pikiran terbuka.
Tipe kedua, adalah mereka yang tidak peduli dengan apapun yang kita lakukan dan ucapkan. Kita mau bagaimanapun, seakan tak ada hubungannya dengan mereka. Walaupun sebenarnya terhubung. Tak ada kebencian ataupun kesukaan dalam diri mereka ke kita.
Nah, yang ketiga adalah mereka yang sering buat "pegel ati". Apapun yang kita lakukan dan ucapkan akan selalu salah di mata mereka. Ya, tipe orang begini memang biasanya sudah dipenuhi kebencian dalam dirinya. Sebaik apapun kita, bagi mereka tetap salah. Malah, seringkali akan mencari-cari kesalahan kita untuk dijadikan bahan menjelek-jelekkan.
Nah, orang-orang yang memotong ucapan Kiayi Said Aqil Siradj, sepertinya adalah orang-orang yang masuk tipe ini. Mereka memang sengaja mencari-cari kesalahan. Tak perlu heran, karena memang beginilah indahnya Hidup. Tanpa kehadiran mereka, kebijaksanaan kita akan "kodol" (bahasa betawi; tumpul). Kehadiran mereka ibarat batu asahan untuk menajamkan pisau. Batu aeahan akan terkikis dan habis perlahan, sementara pisau akan semakin tajam.
Saya melihat "motong-memotong" ini akan menjadi budaya yang bagus. Kok bisa?
Saya membayangkan ini seperti mahasiswa yang tengah disibukkan dengan skripsi. Mereka yang ingin cepat dan instan, jurus motong-memotong ini bisa digunakan. Comot sana dan comot sini, lalu disusun, jadilah skripsi. Nah, motong-memotong pidato ketua umum PBNU ketika harlah Muslimat ke 73 di Gelora Bung Karno, pun saya anggap sebagai bagian dari comot mencomot skripsi mahasiswa tadi.
Nah potongan pidato itu, saya anggap satu bagian dari banyak bagian yang menyusun satu hal. Apa itu? Mari kita lihat potongan yang diambil dari pidato Kiayi Said; "Kalau dipegang selain NU, (nanti dianggap) salah semua."
Sekilas, kalimat ini memang kontroversial. Terlebih untuk negara demokrasi dan multikultural seperti Indonesia ini. Seakan-akan Kiayi Said mengatakan mereka yang selain NU itu salah. Tentu saja ini benar, jika hanya melihat potongan dan bagian ini saja. Tapi, jika melihat sebagai kesatuan utuh, ini belum bisa disebut sebagai skripsi. Terlebih, yang diambil bagian dari bagian. Potongan dari potongan.
Potongan yang lengkap seharusnya seperti ini: "Peran agama harus kita pegang. Imam masjid, khatib-khatib, KUA-KUA (kantor urusan agama), menteri agama, harus dari NU. Kalau dipegang selain NU, (nanti dianggap) salah semua: nanti banyak (tuduhan) bid'ah kalau selain NU. Ini bid'ah nanti. Tari-tari sufi (dituduh) bid'ah nanti". Ini ucap Kiai Said sambil menunjuk kepada para penari sufi yang ikut serta memeriahkan peringatan harlah Muslimat Nu.
Potongan dari potongan dengan potongan adalah dua hal yang berbeda. Potongan dari potongan belum tentu menjadi potongan. Belum tentu sama dengan potongan. Terlebih jika tidak memahami potongan secara menyeluruh. Nah, potongan yang digunakan entah untuk apa oleh mereka yang memotong pidato Kiayi Said, menjadi kekeliruan yang fatal jika potongan itu disebut sebagai kesatuan potongan.
potongan-potongan akan menjadi kesatuan utuh jika disatukan. Terkait pidato Kiayi said itu, karena itu masih potongan, maka belum bisa disimpulkan potongan itu akan membentuk apa. Namun, kalau boleh kira-mengira. Potongan Kiayi Said mengarah pada kesatuan pembahasan tentang satu atau beberapa kelompok yang suka membid'ah-bid'ahkan kelompok yang lain. Ini hanya perkiraan. Dan ini hanya potongan. Maka sifatnya belum tentu dan tak pasti.
Karenanya perlu pembahasan dan penglihatan lebih jauh. Misalnya tentang potongan bid'ah, kelompok-kelompok yang suka membid'ah-bid'ahkan orang lain, bagaimana sikap beragama kelompol tersebut, dan potongan-potongan lain.
Disinilah letak bagusnya budaya motong-memotong. Karena terdapat proses mengumpulkan potongan-potongan agar bisa tersusun menjadi satu potongan utuh yang lebih besar. Selain itu, budaya motong-memotong ini pun seperti menyadarkan kita, bahwa yang kita ketahui dan mungkin kita anggap benar itu hanya potongan-potongan kecil. Seberapa banyak pun potongan yang kita punya.
Allahu a'lamu bisshowab
Sawangan Baru
Komentar
Posting Komentar