Bid'ah (catatan refleksi pengajian Malam Kamis di Majelis Ratib dan Maulid Ittihadussyubban, Sawangan Baru Depok)
Kulub kembali ngaji Kitab Mafahim Yajibu An Tushohhah di Majelis Ta'lim Ratib dan Maulid Ittihadussyubban, Sawangan Baru Depok. Pengajian setiap malam kamis tersebut disampaikan oleh KH. Muhammad Abdul Mujib, Pimpinan dan pengasuh Pondok Pesantren As-Sa'adah Depok.
Lagi-lagi terjadi hal tak biasa. Ketika ngaji tengah berlangsung, Kulub seakan melihat adu argumentasi syariah tentang hadits Nabi : kullu bid'atin dholalah. Ya, hadits tentang bid'ah. Tentang bid'ah. Melihat hadits ini, mereka yang kaku (Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani menyebut mereka dengan "sawwad" alias yang belum memahami tujuan-tujuan terbentuknya syariat atau maqhasid syari'ah.) bahwa apapapun yang tidak ada pada zaman dan tidak dilakukan nabi adalah bid'ah.
Menanggapi hal ini, Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki mengatakan dalam kitabnya, tidak. Tidaklah demikian. Bid'ah memang ada yang sesat, tapi ada juga yang baik, dan ada juga yang buruk. Karena kalau semua hal yang tidak ada pada zaman nabi dan tidak dilakukan nabi adalah bid'ah maka bisa dipastikan siapapun orangnya, tidak akan bisa (kesulitan) makan, minum, dan bertempat tinggal. Termasuk tidak bisa berpakaian, bernafas, dan menikah. Bahkan, tidak bisa bersama-sama dengan, keluarganya, saudaranya, dan komunitasnya. Lantaran terlalu banyak hal yang tidak ada pada zaman nabi dan tidak dilakukan nabi, justeru ada di zaman setelah nabi (untuk contohnya, anda bisa jawab dan bayangkan sendiri, ya).
Pihak Sawwad, awalnya tidak menerima pembagian dan penamaan bid'ah kepada yang baik (hasanah) dan buruk (sayyi-ah) tersebut. Namun kemudian mereka membagi bid'ah kepada dua, yaitu; bid'ah keagamaan (diniiyyah) dan keduniawian (dunyawiyyan). Sepertinya pihak Sawwad ini memegang perinsip: yang penting beda. Pokoknya gak sama. Dan gak boleh kalah.
Menanggapi hal ini, Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani hanya geleng-geleng kepala seraya mengatakan "ya, subhanallah". Mungkin kalau bahasa Betawi Sawangan Seperti "et dah", lebih halusnya "aduhai", untuk menunjukkan kegemasan dan kegeregetan. Sayyid Muhammad menegaskan dengan sungguh bahwa mereka sudah main-main. Mengada-ada. Membuat pembagian dan penamaan bid'ah dengan seenaknya. Seenak udelnya dewe, sakarepnya dewe. Bahasa orang sawangan: sebise-bise die aje, akal-akalan die aje.
Kulub tertarik kepada argumen Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki. "Okelah kalau pembagian ini memang ada ketika masa nabi atau di zaman nabi, tapi penamaan (diniiyah wa dunyawiyyah) bisa dipastikan tidak ada di masa itu. Tidak ada di zaman syariahnya nabi. Lalu dari mana datangnya pembagian itu? Dari mana munculnya penamaan itu?"
Jadi, Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki menegaskan, kira-kira seperti ini : "Okelah kalau pembagian bid'ah menjadi bid'ah yang baik (hasanah) dan buruk (sayyiah) tidak masuk dalam syariat nabi, tidak bisa diterima, itu berarti pembagian bid'ah (diniyyah dan dunyawiyyah) yang disampaikan (pihak Sawwad) pun tidak bisa diterima. Termasuk pendapat tentang bisa diterimanya bid'ah dunyawiyyah dan tidak bisa diterimanya bid'ah diniyyah (yang diungkap pihak Sawwad) hanyalah mainan dan dibuat-buat saja. Sebab tidak ada di zaman dan masa nabi".
Allahu a'lam bisshowab
Bersambung....
Komentar
Posting Komentar