Pasar Itu Bernama Demokrasi

Jika masa-masa Pemilu tiba, maka muncullah pedagang-pedagang dadakan. Ibarat jamur di musim hujan. Ada yang bisa dimakan dan buat perut kenyang. Tak sedikit pula yang beracun. Kalau pun tidak mematikan, setidaknya mual, muntah, dan kejang-kejang bisa jadi pembuktian. Pedagang-pedagang ini, menjual hal yang sama: dirinya sendiri.

Karena dagang terkait ekonomi, maka teori-teori ekonomi pun dipakai. Obral dengan diskon gede-gedean sering menjadi jurus sakti yang diandalkan. Terutama yang berkaitan dengan kebutuhan calon pembeli. Jika yang dibutuhkan pakaian, para pedagang akan memberikan pakaian. Mulai pakaian yang menutupi aurat, nyaman di badan, hingga yang membuat si pemakai tampak lebih menawan. Jika yang dibutukan rumah, para pedagang akan menawarkan material-material yang bisa digunakan. Jika yang dibutuhkan pangan, pedagang pun akan lihai menawarkan urusan-urusan perut. Tak ketinggalan kebutuhan rohani. Biasanya ini soal agama dan keyakinan. Para pedagang pun dengan sigap menyiapkannya.

Namanya dagang, perlu iklan. Perlu publikasi biar calon-calon pembeli tahu. Agar tertarik, iklan mesti menarik. Kata-kata mesti yang menyentuh hati, bahkan kalau perlu punya daya magis seperti pelet atau hipnotis. Biar orang-orang tak sadar sudah membeli. Baliho, spanduk, tayangan televisi, broadcast di medsos, gambar-gambar dan video-video mesti seperti cinta. Buat gelap mata dan otak di kepala. Karenanya, para pedagang tak bisa sendiri. Ia mesti punya tim yang bisa kerjakan semua itu. Kalau dagangan laris, mereka akan kebagian untung.

Ada yang bilang, politik bukan hanya soal jual beli. Bukan hanya perkara dagang. Politik juga soal kekuasaan dan kepentingan. Kekuasaan dan kepentingan siapa? Jawabnya bisa beragam. Mereka yang mencalonkan diri, sering saya dengar, politik ini demi kepentingan rakyat. Lalu kekuasaan rakyat dimana? Kalau omongan tim suksesnya akan banyak tambahan lagi. Pokoknya seperti ketika kita melihat orang ngerujak buah yang asem-asem di siang hari. Bikin ngiler.

Beda lagi kalau orang-orang yang tak peduli. Yang sering saya dengar: "Mau siapa kek yang jadi, kagak ngaruh. Gue bakal milih, siapa yang ngasih duit". Ini perkara aneh. Kok ada pembeli yang mengharap pedagang ngasih duit untuk beli dagangannya. Terus, pedagang dapat untung darimana? Mungkin ini yang sering didengungkan. Ada pedagang yang memang ingin mengabdi. Memberikan segala yang dia punya untuk pembeli. Kok aneh ya. Kayak cerita tentang gajah yang dimasukkan kulkas.

Ah, memang banyak keanehan-keanehan di masa pemilu ini. Ada yang belum pernah datang, tiba-tiba bersilaturahmi membawa itu dan ini sambil menyelipkan kata: jangan lupa ya. Ada yang mendadak menjadi ustadz dan berlaku layaknya kiayi kawakan. Ada yang datang memperkenalkan diri sebagai pahlawan yang akan mengatasi semua kesulitan. Sepertinya yang aneh-aneh itu memang menarik dan bisa jadi pusat perhatian.

Hal-hal itu seperti warteg. Gampang ditemukan. Apalagi zaman milenial. Zaman digital. Media sosial penuh dengan begituan. Persoalannya tinggal mana yang benar mana yang hoakx. Mana yang berdasar fakta mana yang fitnah. Mana yang pelintiran mana yang beneran. Nah, memilah dan memilih informasi yang datang bertubi-tubi itu seperti ingin kentut di tengah kerumunan orang. Gampang-gampang susah. Ditahan, perut sakit. Engga ditahan, bakalan gempar seisi alam. Terlebih jika aromanya begitu tak terlupakan dengan bunyi yang menggelegar.

Coba saja buktikan. Misalnya ada informasi masuk di gadget. Kita tahu bahwa informasi itu tidak benar. Lalu kita komentari. Wuih, dalam sekejap komentar kita itu akan dikomentari banyak orang. Lebih-lebih jika terkait dagangan paling besar: calon presiden. Sebutan kampret dan cebong pasti terlontar. Ditambah kata-kata hinaan dan cacian. Pokoknya serba salah. Apalagi calon presiden yang ada cuma dua.

Yah, mungkin inilah pasar serba ada yang bernama demokrasi. Siapapun boleh masuk dan keluar sesuka hati. Mau sekadar lihat-lihat, silakan. Atau mau menunggu pedagang memberi uang, pun silakan. Atau malah ingin buka lapak dan dagang, monggo. Mau menjelek-jelekkan, dan memfitnah pedagang lain, ya mau gimana lagi. Bahkan orang yang sudah meninggal pun ada seperti hidup lagi. Lebih-lebih, kitab suci, surga dan neraka pun sering diobral di sini. Namanya juga demokrasi. Banyak hal aneh, lucu, dan tak masuk akal ada di sini. Ya, inilah demi demokrasi, segalanya ada dan mungkin saja terjadi. Selamat menikmati.

Allahu a'lamu bisshowab

Pondok Labu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)