Relativitas: pendapat dan ucapanmu bisa benar dan bisa salah.

Pengajian rutin malam kamisan di Majelis Ratib, Maulid, dan Ta'lim Ittihaadussyyubbaan, Sawangan Baru, tadi malam membawa benak saya pada dua hal: takdir dan pasrah. Lalu mengingatkan saya pada cerita tentang seorang perempuan yang pernah "curhat" pada seseorang dan sering mengucap pasrah, menerima segala, sayangnya tanpa usaha lebih yang membuatnya jatuh ke lubang yang sama.

Pengajian yang diiringi gerimis semalam menguatkan saya akan ingatan itu. Pasalnya, pengajian semalam membahas tentang sikap seseorang terhadap takdir. Terutama tentang "al-ihtijaj bi al-qadar". Ya, kitab An-Nashoihu Ad-Diniyyah Wa Al-Washoya Ai-Imaniyyah yang dibaca semalam membahas tentang seseorang yang beralibi alias beralasan bahwa maksiat yang ia lakukan, seperti berzina, mencuri, merampok, dan meninggalkan kewajiban syariat yang lain, semuanya karena takdir Allah.

Orang yang seperti ini, beralasan seperti itu, menurut Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, sungguh tengah melakukan dosa yang lebih besar dari dosa maksiat yang ia lakukan. Al-Habib Abdullah menyebut orang yang demikian sebagai orang yang mengguncang-guncangkan dasar-dasar agama (tazalzul qawa'id diniyyah).

Ingatan saya kembali pada perempuan yang (entah terpaksa atau tidak) berusaha menghindari hal terkait seks dengan cara yang unik. Ia yang tidak mau bersentuhan dengan pacarnya akhirnya sepakat melakukan aktifitas seksual lewat chatting dan video call. Saya sempat bertanya-tanya sendiri dalam hati terkait ini.

Edilalah, kiayi Mujib tiba-tiba menjelaskan tentang "nahyu al-munkar bil munkar". Mencegah kemunkaran dengan kemunkaran. Misalnya dengan memukul, menghancurkan, dan mencaci maki. Begitu juga dengan menghindari sentuhan (seks) fisik dengan chat atau video. Sepertinya sama saja. Terlebih dengan memperlihatkan bagian-bagian tubuh.

Selain menghindari sentuhan fisik, diceritakan perempuan ini pun punya sikap yang unik dan ini terkait pasrah. Ya, ia pasrah menerima laki-laki yang menjadi pacarnya saat ini bagaimanapun laki-laki tersebut. Padahal ia pernah menceritakan segala macam yang tidak membuat nyaman dan menyiksa dirinya terkait pacarnya itu. Karenanya, saya menangkap ada pasrah yang belum waktunya dan tidak pada tempatnya.

Hal ini seperti jabariyah dan qadariyah. Yang satu, terlalu pasrah. Yang satunya lagi terlalu menyandarkan pada kemampuan manusia alias terlalu "pede". Padahal keduanya mesti seimbang. Selain meyakini bahwa semua sudah ditentukan oleh Allah, sebelum pasrah kepada-Nya, ada hal yang mesti dilakukan manusia, yaitu berusaha. Tentu saja dengan usaha yang optimal dan sebaik mungkin. Seperti ijtihad.

Ya ijtihad yang bisa diartikan usaha seseorang yang sungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu. Seperti ulama yang berijtihad. Untuk melihat lalu menentukan bagaimana satu hal saja, seorang atau para ulama akan menggunakan berbagai disiplin ilmu yang ketat. Ada usaha yang sungguh-sungguh, yang gigih, begitu gigih, untuk melihat kebenaran.

Setidaknya ada tiga dasar pandangan yang bisa menjadi perhatian dalam melihat segala kemungkinan dalam suatu nash atau nushush. Pertama "az-zhonnu" yang bisa diartikan bahwa kemungkinan benar atas sesuatu lebih besar. Kalau dipersentasekan di atas 50%. Kedua, "as-syakku" yang memandang benar dan salah pada sesuatu sama. Seimbang. 50-50. Terakhir, yang ketiga adalah "al-wahmu". Ini kebalikan Az-Zhonnu, yaitu, kemungkinan salahnya lebih besar.

Dalil-dalil (nash atau nushush) yang bersifat "qat'i" akan menghasilkan syariah. Seperti perintah shalat, zakat, puasa, dan lain-lain. Sementara nash atau nushush yang bersifat "zhanni" akan menghasilkan fiqh. Nah, di titik inilah lahir perbedaan-perbedaan (ikhtilaf) para ulama. Seperti perbedaan rokaat dalam tarawih, bacaan bismillah dalam shalat, qunut, dan lain-lain.

Hal yang perlu digarisbawahi, yang mesti ditekankan adalah dalil "zhonnu" yang meskipun bersifat lebih banyak benarnya, tapi tetap saja mengandung kemungkinan salah. Maka ungkapan "ucapan dan pendapat saya bisa benar tapi mungkin juga salah. Pun dengan pendapat anda, bisa benar dan bisa salah" akan sangat relevan untuk diwujudkan dalam menyikapi segala perbedaan pendapat. Termasuk pendapat perempuan tadi yang bisa benar dan bisa salah. Tak ketinggalan tulisan ini: belum tentu benar dan belum tentu salah.

Jadi, Allahu a'lamu bisshowab

Pondok Labu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)