Belajar dari Budaya Betawi: Humor dan Ritus (bag.1)
Kulub dan Kia nonton Topeng Betawi. Mereka terus tertawa. Tentu saja ada jeda. Setelah menonton, mereka terlibat obrolan di kedai kopi langganan tentang orang Betawi yang menyebut cerita yang dipertunjukkan dalam teater topeng sebagai cerita rakyat dan cerita karangan. "J. Danandjaja, dalam buku Folklor Indonesia; ilmu gosip, Dongeng, dan lain-lain yang diterbitkan Grafiti, Jakarta pada 1984 mengatakan cerita rakyat adalah legenda, yaitu cerita prosa rakyat yang oleh si empunya cerita dianggap sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah ada. Sedangkan cerita karangan disebut dongeng, yaitu cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi," terang Kulub. Yang ditimpali Kia dengan, "terjadi atau tidak, sepertinya kita sama-sama menikmati humor yang disajikan Teater Topeng Betawi tadi." "Ya, siapapun sepertinya akan suka dengan humor. Bahkan butuh," tegas Kulub.
"Oiya Kak, Kia jadi teringat buku Seni Dalam Masyarakat Indonesia yang dieditori Edu Sedyawatu dan Sapardi Djoko Damono dan diterbitkan PT Gramedia, Jakarta Pada 1983."
"Kenapa Buku itu?"
"Iya, di situ, terdapat tulisan Danandjaja yang berjudul "Fungsi Teater Rakyat bagi Kehidupan Masyarakat Indonesia", yang mengatakan humor sebagai perbuatan yang dalam perbuatan sehari-hari dilarang untuk dibicarakan di muka umum, dan orang dapat menerimanya apabila diungkapkan dalam bentuk humor. Seperti humor tentang seks, kritik terhadap pemerintah, dan lain-lain."
"Seperti Gusdur dong, yang sering menggunakan humor sebagai kritik." ucap Kulub lalu bercerita tentang Ninuk Kleden-Probonegoro dalam tulisan yang dimuat Prisma No 3, tahun XVI, Maret 1987 yang mengatakan humor adalah perilaku, kata atau kalimat yang bukan merupakan kejadian sehari-hari, dan dapat menimbulkan tawa orang yang melihatnya. Kemudian Kulub menjelaskan tentang tawa menurut Fuad Hassan dalam makalah seminar LHI 1980 yang berjudul Humor dan Kepribadian. Tawa diperlukan oleh manusia guna keseimbangan jiwanya, yaitu melampiaskan perasaan tertentu melalui cara riang dan dapat dinikmati sehingga dapat mengakibatkan kendurnya ketegangan jiwa.
Tawa pada humor terjadi justeru karena humor bertentangan atau menyimpang dari norma. Tawa ini biasanya hanya dapat terjadi dalam lingkungan kebudayaan masyarakat dimana humor tersebut berlaku. Hal itu disebabkan karena humor mempunyai kode-kode yang terikat dalam aturan-aturan tertentu. Dan untuk dapat mengerti humor kode-kodenya harus dipahami melalui suatu proses belajat. Melihat kenyataan; di satu sisi humor selalu menyimpang atau bertentangan dengan norma, hingga dengan demikian berada di luar aturan, tapi di sisi lain humor juga punya aturannya sendiri (kalau tidak, ia tidak akan dimengerti), maka posisi humor secara alamiah terletak di antara biasa dan tidak biasa, antara aturan dan ketidakaturan, antara orde dan khaos.
Kia pun menimpali obrolan Kulub dengan menjelaskan rite atau ritus. Ia mengutip referensi yang sama: Ninuk Kleden-Probonegoro. Rite atau ritus adalah perilaku yang bukan sehari-hari, yang pada waktu-waktu tertentu dilakukan berulang tetap, disertai dengan satu atay beberapa simbol tertentu. Manusia tidak bisa lepas dari ini. Melalui rite, 1) orang dapat sedikit berisitirahat dari benan rutin kehidupan sehari-hari. Seperti berkumpul bersama teman. 2) orang dapat pula menunjukkan keberadaan dan statusnya. Seperti pesta pernikahan di gedung dan tempat lain. 3) emosi keagamaan dan emosi kenegaraan dapat pula dipertajam. Seperti pesta peringatan 17 agustus.
"Ya, Rite memang seperti vitamin dan pohon kelapa. Banyak manfaat dan kegunaannya," timpal Kulub yang kemudian menjelaskan tentang sifat rite yang bisa sakral dan profan. Rite bersifat sakral didasarkan pada pengetahuan tentang kosmos dan mengekspresikan keadaan kosmos itu pula. Seperti upacara-upacara religi yang merupakan media untuk menjaga keseimbangan antara manusia dengan alam. Sementara rite profan atau sekuler hanya didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan sosial mengekspresikan suatu keadaan sosial saja. Moral yang diekspresikan dalam rite ini berhubungan dengan hubungan sosial manusia dengan lingkungan sosialnya saja.
"Bisa jadi, antara humor dan rite punya persamaan dan perbedaan," respon Kia. Kulub mengamininya. Kemudian menjelaskan tentang rite yang mementingkan orde dan harmoni, sementara humor menekankan disorde atau khaos. Persamaannya, keduanya berfungsi menjaga keseimbangan; keseimbangan manusia dengan alam dalam rite yang bersifat sakral, keseimbangan manusia dengan lingkungan sosialnya dalam rite yang bersifat profan, dan keseimbangan jiwa antara ketegangan dan keadaan yang serasi. "Bagaimanapun, pada dasarnya, humor adalah anti-rite. Meskipun demikian ia juga bisa dilihat sebagai rite. Contohnya Teater Topeng Betawi, humor dipertunjukkan bersama rite dan bisa berlaku sebagaimana halnya rite.
" bisa jadi, Kak. Humor dalam peranannya sebagai rite, mengekspresikan sesuatu yang berhubungan dengan pengalaman-pengalaman mental, yang merupakan pengetahuan masyarakat yang bersangkutan. Misalnya dalam makan bersama dalam upacara selametan. Koentjaraningrat, dalam buku Beberapa Pokok Antropologi Sosial yang diterbitkan Serie Pustaka Universitas, Jakarta pada 1967 di halaman 242 menyatakan makan bersama tersebut dapat diartikan sebagai mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural dengan mengundangnya makan bersama," terang Kia yang diledek Kulub dengan: "wuih, encer banget tuh otak ampe bisa inget penerbit dan halamannya". Kia pun berseloroh: "Kan Kakak sendiri yang bilang, hidup itu selaw aja. Gak usah kaku kaya kanebo kering. Gitu kan?" Mereka tertawa.
"Oiya Kak, berarti Ada inter-relasi antara rite dengan sistem pengetahuan dan pengalaman masyarakat di mana rite tersebut berlaku, dong?" ucap Kia yang diiyakan oleh Kulub. "Ya iya lah, masa ya iya dong," balas Kulub. "Kalau humor tidak dilihat sebagai rite, maka yang ada hanyalah humor-humor pribadi saja, dan bukan humor yang dimiliki oleh suatu suku bangsa, suatu perkumpulan atau komunitas. Intinya tidak dimiliki bersama," lanjut Kulub yang bercerita tentang Toeti H. Noerhadi yang dalam makalahnya yang berjudul "Humor dan Pembangunan" (1980) membagi humor atas dua bagian: humor yang simpel dan humor yang sophisticated. Ciri humor simpel yaitu, humor yang lucunya jelas, tidak terlalu melibatkan imajinasi dan menampilkan kemustahilan, sering menggunakan kata-kata asing yang kemudian keseleo. Sedangkan humor yang sophisticated mempunyai ciri yang merupakan kebalikan dari bentuk pertama, yaitu melibatkan imajinasi dan kelucuan-kelucuan yang tersamar.
"Nah, makanya kita memang perlu belajar dari Budaya Betawi. Bagaimana mereka mengekspresikan emosi dan beban hidup dengan humor. Selain "permainan dan senda gurau", hidup itu memang lucu dan sangat pantas untuk ditertawakan," jelas Kulub.
"Terlebih tentang politik dan kehidupan beragama di negeri ini ya, Kak," timpal Kia.
"Dan yang pasti, humor dan ritus itu memang untuk menjaga keseimbangan. Biar gak kaku. Biar gak monoton. Biar lentur kayak lenggokan penari tadi," seloroh Kulub.
"Ih, Kakak genit," ucap Kia seraya mencubit lengan Kulub.
Komentar
Posting Komentar