Kebudayaan Betawi Sawangan

Kulub menyadari betul; di dalam musibah ada hikmah. Di dalam hal tak enak ada yang nikmat. Karena letaknya tak tampak (di balik) maka perlu usaha lebih dan tak biasa untuk mendapatkannya. Tentu saja itu banyak cara.

Seperti pagi ini. Sebagi cucu, pasti sedih mendapati neneknya jatuh di kamar mandi. Menyebabkan dua tulang iganya retak. Dan mesti segera diobati. Pergi ke dokter, ternyata kurang sakti. Akhirnya berakhir ke pengobatan alternatif urut Cimande. Meski asli Bogor, pengobatan jenis ini ada juga di Sawangan. Tentu sang terapis berasal dari Cimande hanya punya rumah dan istri di Sawangan.

Dalam perjalanan, Kulub melihat rumah asli Sawangan. Betawi Sawangan. Nenek Kulub menyebutnya "blandongan". Blandongan itu rumah panggung yang didominasi kayu. Lalu di depan rumah itu ada "blandongan" semacam atap yang dibangun mengikuti lebar rumah. Di bawah blandongan biasanya disediakan meja dan bangku kayu. Dan ciri blandongan adalah tiang-tiang besar yang menopang. Biasanya dari kayu pohon nangka dan jati. "Jadi, kalau sedekahan atau selametan, gak perlu pake tenda."

Ya, dalam tradisi Betawi Sawangan, orang yang mengadakan pesta, seperti pernikahan, menyebutnya dengan "sedekahan", "selametan", dan "hajatan". Disebut "sedekahan" karena tuan rumah memang ingin memberi makan pada orang-orang yang diundang. Disebut "selametan" karena biasanya acara tersebut diisi doa-doa, termasuk doa selamat. Dan "hajatan" karena memang tuan rumah punya hajat yang ingin dilaksanakan.

Ada lagi yang disebut dengan "keriyaan". Untuk yang satu ini, ada berbagai versi. Pertama, pesta yang diadakan mengandung kemeriahan, kegembiraan, dan kesenangan yang mesti dirayakan. Perayaan inilah ama orang Betawi dibilang "mesti dikerayain". Jadilah kata "keriyaan". Kedua, Betawi yang memang kental dengan ajaran agama Islam, ketika ingin mengadakan pesta mesti dilihat orang-orang. Dan ini terkait dengan kata "riya" dalam bahasa Arab. Meski terkesan negatif, tapi yang diambil justeru sisi positifnya; yaitu orang-orang mesti melihat dan tahu bahwa seseorang tengah mengadakan pesta. Karenanya ada nama lain untuk menyebut pesta dalam Betawi Sawangan, yaitu "syukuran". Acara yang diadakan sebagai bentuk syukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan.

Tak hanya pernikahan, "sedekahan", "selametan", "hajatan", "keriyaan", dan "syukuran" ini pun akan diadakan untuk kejadian-kejadian tak biasa. Misalnya, anak sunat, pindah rumah, isi rumah baru, mau naik haji, dan momentum-momentum lain. Nah, "blandongan" disediakan untuk acara-acara dan kegiatan-kegiatan tersebut. Selain bisa juga digunakan buat "kongko", kumpul keluarga untuk musyawarah atau sekadar ngobrol biasa.

Selain rumah panggung dari kayu dan blandongan, ada satu lagi ciri dan tanda bahwa seseorang (Betawi Sawangan) itu kaya, yaitu punya lumbung padi. Biasanya letaknya di dekat blandongan. Di depan rumah. Lagi-lagi ini terkait tanah dan sawah yang dimiliki. Lumbung itu untuk menyimpan hasil panen. Karenanya, orang-orang Betawi Sawangan menganggap mereka yang punya lumbung padi punya stok dan cadangan makanan. Maka, disebutlah ia orang kaya.

Sepertinya kolonialisme yang terjadi di negeri ini menyebabkan munculnya materialisme di kebudayaan Betawi Sawangan. Kekayaan seseorang masih dilihat dari rumah, tanah, dan ketersediaan makanan. Dan istilah "tekor asal kesohor" benar-benar terjadi. Aset-aset seperti tanah yang hektaran dijual satu persatu untuk biaya-biaya yang dibutuhkan. Misalnya, naik haji, bangun rumah anak, dan lain-lain.

Tapi ini justeru menolak materialisme itu sendiri bagi Betawi Sawangan. Justeru di sinilah letak lekatnya Betawi dengan ajaran agama yang diyakini. Mereka menjual tanah, untuk berangkat haji misalnya, karena lebih mengutamakan ibadah dan kepatuhan menjalankan perintah agama.

Salah satu sifat dan sikap relijius Betawi Sawangan adalah nikmati apapun yang ada di hari ini. Urusan besok, dipikirkan besok. Seperti ada kepasrahan di satu sisi, dan keyakinan serta optimisme di sisi lain. Dan itu semua berlandaskan ajaran agama. Karenanya pituah atau nasihat yang sering disampaikan orang-orang tua Betawi Sawangan adalah "tanam padi, rumput akan ikut tumbuh. Kalau tanam rumput, padi gak akan tumbuh".

Padi yang dimaksud adalah agama dan akhirat. Sementara rumput adalah urusan dunia. Jadi, kira-kira seperti ini: dahulukan urusan akhirat, dunia akan mengikuti. Hal ini pula, salah satu yang menyebabkan seseorang menjadi tokoh masyarakat. Ya, orang-orang yang dekat dengan agama, terlebih menguasai banyak ilmu agama akan menjadi tokoh masyarakat dan dipandang masyarakat.

Karenanya, orang-orang tua Betawi banyak yang menyekolahkan anaknya ke pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan. Kalaupun tidak, anak-anak Betawi Sawangan akan disuruh mengaji. Hukumnya wajib. Dan ini seperti menjadi semacam prinsip. Orang-orang tua Betawi Sawangan tidak mewariskan tanah atau harta, tapi mewariskan ilmu.

"Kalau harta, lu yang mesti jaga. Dan bakalan abis. Tapi kalau ilmu, lu yang dijaga ama ilmu. Dan kagak bakalan abis," tegas Neneknya Kulub. "Makanya, nyai (panggilan neneknya Kulub) gak sayang jual tanah buat nyekolahin umi lu ama mamang-mamang lu. Kalau dah punya ilmu, tanah berapa hektar pun bisa kebeli," lanjut Neneknya Kulub yang usianya ditaksir 70 tahun.

Kulub tak benar-benar tahu kelahiran neneknya. Sebab, masa itu belum ada akta kelahiran. Neneknya hanya bercerita tentang kejadian. Misalnya waktu Jepang diriin markas di Sawangan. Dan lagi-lagi Kulub teringat tentang tahun kelahiran Nabi Muhammad yang dikenal dengan tahun gajah. Karena ini berdasar peristiwa penyerangan pasukan gajah ke Ka'bah dibawah pimpinan Abrahah.

Mendengar cerita Neneknya, Kulub hanya bisa berkata dalam hati: "semoga masih ada tanah buat anak cucu gue ama Kia nanti".

Sawangan Baru

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)