Kritik dan ujaran kebencian
Saya sering dibuat heran, jengah, bahkan muak dengan isi media sosial di tahun politik ini. Berbagai kata, gambar hingga video, tak sedikit yang berisi ketidaksukaan terutama pada capres dan cawapres yang ada. Ketika masih berada di ranah tidak suka, masih belum memuakkan.
Sayangnya, ketidaksukaan itu sering diekspresikan dengan hal-hal yang sifatnya membenci. Dan seringnya, mereka yang berekspresi seperti itu, mengatasnamakan kritik dan kebebasan berpendapat.
Saya pun bertanya-tanya, apa sih kritik dan kebebasan berpendapat itu, lalu dimana batasan-batasannya?
Kritik yang berasal dari bahasa yunani, clitikos, diartikan sebagai yang membedakan. Kata ini turunan dari bahasa yunani kuno, krites, yang artinya orang yang memberikan pendapat beralasan atau analisis, pertimbangan nilai, interpretasi, dan pengamatan. Sederhananya, kritik itu pendapat berbeda yang disampaikan seseorang berdasar analisa, evaluasi, pertimbangan nilai, interpretasi dan pengamatan.
Lalu apa tujuan kritik? Para ahli, mengatakan di antara tujuan kritik itu adalah meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, dan membantu memperbaiki pekerjaan orang yang dikritik.
Sementara ujaran kebencian adalah tindakan komunikasi berupa perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam berbagai hal dan aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, disabilitas, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.
Untuk melihat apakah sesuatu itu dikatakan sebagai kritik, kebebasan pendapat, ketidaksukaan, atau kebencian, mesti melihat kata-kata yang digunakan. Saat ini saya lebih tertarik melihat fenomena perdebatan dukungan masing-masing capres dan cawapres. Serunya, hanya ada dua capres dan cawapres yang menyebabkan berbedanya masyarakat pada pilihan politiknya. Lalu menjadi dua kubu besar. Tanpa melupakan pihak lain, seperti pihak yang netral dan kemungkinan golput.
Di media sosial, tak berhenti adu serang antara dua kubu pendukung capres dan cawapres. Keduanya seperti fokus untuk saling menjatuhkan, bukan untuk menarik dukungan masyarakat yang belum menentukan pilihan. Dan ini menjadi tontonan yang asik, seru, dan menarik bagi saya. Terlebih ketika dua kubu saling berkirim gambar, link video, berita, dan hal-hal lain yang menguatkan capres dan cawapres yang didukung. Lalu saling mengirim hal-hal yang menjatuhkan pihak lawan. Semuanya seakan merasa benar dan paling benar.
Dan di sinilah penyebab tak akan berhentinya perdebatan itu. Saya masih optimis dan berbaik sangka, perbedaan dan perdebatan tidak sampai menghasilkan perselisihan apalagi permusuhan hingga perpecahan di antara masyarakat.
Saya melihat, yang diperdebatkan, yang dipertontonkan dan ditunjukkan para pendukung adalah kebenaran. Kebenaran yang letaknya di alam gaib. Kebenaran yang mestinya bersemayam dalam diri masing-masing. Dan selama hal ini yang diungkapkan, maka perdebatan tak akan pernah berhenti. Karena seperti kentut.
Wujudnya tak kelihatan, tapi aromanya tercium. Yang diperdebatkan adalah wujud kentutnya. Dan tak akan selesai karena tak akan pernah ada kesepakatan bersama pada sesuatu yang gaib dan tak tampak.
Allahu a'lam bisshowab
Pondok Labu
Komentar
Posting Komentar