Azan dan peradaban serta terbukanya pintu-pintu fadhilah Allah..
"Wa idza qudhiyatissholatu fantasyiru filardhi wabtaghu min fadhlillahi...."
Selain persiapan mahar dan "tetek bengek" urusan akad dan resepsi pernikahan, ada hal penting yang mesti ada: air. Ya, air dan peralatan mandi, terutama sampo. Kulub berpesan itu ke saya. Tak perlu saya meminta detail jawaban dan penjelasan darinya. Benak, fantasi, dan imajinasi saya sudah berkeliaran kemana-mana.
Kulub hanya menegaskan kenapa pengantin baru mukanya tampak lebih bersih karena sering mandi. Terutama di tiga hari pertama dan ketika masuk waktu shalat. Ya, dalam sehari semalam, pengantin baru bisa mandi lima kali. Dan itu ditandai dengan azan sebagai masuknya waktu salat.
Ya, meski azan seakan menjadi jeda atas kenikmatan dan kebahagiaan manusia. Tapi segala sesuatu butuh jeda, bukan? Walau sedang nikmat-nikmatnya, walau sedang nanggung-nanggungnya.
"Usai salat, ya kembali melanjutkan melepas semua beban yang selama ini tertahan sebelum menikah," jelas Kulub lalu tertawa.
Saya hanya senyum menahan fantasi dan imajinasi tentang apa yang dikerjakan Kulub dan Kia di kamar hingga di tiga hari awal pernikahan, mereka hanya keluar ketika perut lapar.
Ketika membahas "melanjutkan kegiatan Kulub usai salat" saya teringat "fantasyiru fil ardhi..." dan "fadhlilllah" pada surat al-jumu'ah ayat 10. Ya, kegiatan yang diserukan setelah salat. Meskipun banyak ulama menafsirkan ayat ini terkait salat jumat. Namanya iseng dan keisengan, saya malah fokus kepada kata fadhilah.
Ya, di antara hal yang disarankan, malah diperintahkan, adalah mencari fadhilah Allah. Mencari keutamaan hidup. Keutamaan yang dihamparkan Allah di dunia. Dan semua ini sangat erat dengan hal-hal serta perbuatan baik.
Sayangnya, dalam bahasa Indonesia kata baik seperti mengalami penyempitan. Baik ya baik aja. Pengembangannya hanya bisa dilihat dalam konteks pemakaian. Berbeda dengan baik dalam Al-Quran, setidaknya dalam bahasa arab. Kata baik setidaknya diwakili oleh lima kata: "al-birru", "al-khoiru", "al-ma'ruufu", "al-hasanu", dan "as-sholihu".
Semua kata tersebut jika diindonesikan memiliki satu arti, yaitu baik. Sepertinya, karena ini pula, makna baik mengalami bias. Menjadi samar. Dan ini tak jarang membuat perdebatan tentang baik. Hingga perpecahan dan perselisihan tercipta. Yang satu menganggap dan meyakini apa yang dilakukannya baik. Sementara yang lain bilang sebaliknya.
Ataukah ini terkait budaya menyederhanakan dan menyimpelkan segala sesuatu? Atau bahasa Indonesia memiliki kata lain? Atau memang kita tidak suka dengan perbedaan?
Kata pertama, "Al-birru". Dalam konteks ke-Indonesiaan lebih berarti pada baiknya sikap, perilaku, dan akhlak. Termasuk perbuatan, pikiran, dan ucapan. Pelakunya disebut "al-abror". Seperti berbakti kepada orang tua. "Birrul waalidaini".
Kata ini sering dilekatkan bagi mereka yang berhaji: mabrur. Karena hakikatnya haji mabrur adalah mereka yang setelah melaksanakan haji, kelakuan, sikap, perilaku, dan akhlaknya menjadi baik dan lebih baik. Jika setelah pulang haji, masih suka mencaci maki, menjelek-jelekkan orang lain, maka perlu dipertanyakan mabrurnya. Perlu diperiksa kembali hajinya.
Kemudian "al-khoiru". Kata ini lebih mengarah kepada universalitas kebaikan. Bersifat umum. Keadaan-keadaan yang pada umumnya dianggap dan dinilai baik. Misalnya menolong orang lain. Menyayangi semua makhluk. Dan hal-hal lain yang secara umum dipandang baik.
Ini seperti seseorang ketika ditanya kabar, "kaifa haluk?" lalu menjawab "alhamdulillah bi khoir". Karena keadaan secara umum manusia memang baik. Walau kantong dan dompet begitu tipis. Malah bolong. Walau baru kecewa ditinggal pacar. Walau sedang galau karena pacar cuek dan tak kunjung menghubungi. Namun, karena secara keseluruhan, keadaan seseorang masih baik, (jantungnya masih berdetak, matanya masih bisa melihat, masih bisa makan dll), maka untuk merujuk baik dan kebaikan macam begitu, kata inilah (al-khoiru) yang dipakai.
Selanjutnya "al-ma'rufu". Baik pada kata ini merujuk hal-hal baik yang relatif. Baik menurutmu belum tentu baik menurutku. Baik di sini belum tentu baik di sana. Kata ini terkait erat dengan pengetahuan seseorang. Terdapat peran berpikir, logika, analisa akal seseorang dalam menentukan baik atau tidak.
Karenanya, "amar ma'ruf nahi munkar" dalam operasionalnya, dalam praktiknya mesti menyesuaikan dengan objek sekaligus subjek. Tidak semua hal baik itu baik. Karena hal atau apapun yang baik di sini, dihasilkan oleh aktifitas akal. Dan tentunya, sangat relatif kebaikannya. Misalkan menyeru salat pada orang gila. Menumpas kemaksiatan dengan memukuli dan mementung orang-orang. Dan contoh lain.
Kata berikutnya adalah "al-hasanu". Di antara sekian kata baik dalam bahasa arab, kata ini menjadi salah satu yang kedudukannya lebih dari yang lain. Karena kata ini terkait pada baiknya sesuatu berdasar pandangan indera, akal, dan hati. Orangnya disebut "ihsan". Sayangnya kata ini lebih kepada kebaikan dalam diri seseorang. Internal. Lebih kepada hubungannya dengan Tuhan.
Nah, kata yang berada di atasnya, dan mencakup semua kebaikan (semua kata) adalah "as-sholihu". Ya, kata ini sederhananya, baik dan kebaikan yang menempatkan segala sesuatu sesuai tempat, keadaan, kondisi, dan situasi yang berdasar pertimbangan indera, akal, dan hati. Lalu diwujudkan dalam perbuatan, sikap, akhlak, ucapan, dan segala tingkah laku. Ia mencakup dimensi internal manusia dengan Tuhannya. Pun dimensi eksternalnya.
Karenanya, seorang anak usia 4-5 tahun atau bahkan lebih, belum tepat jika dikatakan anak sholih. Meskipun ia salat, puasa, suka membantu orang tua, dan perbuatan lain yang dianggap dan dinilai baik. Karena ia belum bisa menggunakan akalnya untuk menentukan apakah yang ia lakukan itu baik atau tidak. Jika terkait akhlak, lebih tepat disebut anak birr.
Apakah pertimbangan intonasi dan enaknya suara di telinga, kata-kata bahasa arab yang berarti baik yang diserap menjadi bahasa Indonesia hanya sholih. Biar enak di telinga? Biar baiknya mencakup semua?
Nah, azan menjadi awal mula dan pintu masuk untuk mewujudkan semua baik dan kebaikan itu. Azan menampakkan semua ruang yang menyimpan fadhilah Allah dengan membuka pintu-pintunya. Termasuk membuka indera, akal, dan hati manusia dalam melihat segala sesuatu agar bisa berakhlak dan beradab.
Ketika semua (baik dan kebaikan) itu bisa dilakukan manusia, minimal beberapanya, maka fadhilah Allah, diantaranya peradaban, akan mudah didapatkan. Dan ini mengantarkan manusia menjadi beradab. Pun negara yang beradab. Negara yang berperadaban.
Allahu a'lam bisshowab.
Pondok Labu.
Komentar
Posting Komentar