Nahdhotul Ulama. Selamat Ulang Tahun!

Nahdhotul Ulama (NU) hampir satu abad. Usianya saat ini 93 tahun. Kalau manusia, mungkin seusia dengan Kakek atau nenek saya. Bedanya, kebanyakan manusia, di usia segitu sudah kurang tokcer tubuhnya. Malah mungkin sudah mendapat gelar almarhum. Kalau NU sebaliknya. Sampai saat ini masih tubuhnya masih sehat. Batuk-batuk, gatal, dan flu sedikit tak soal lah. Masih wajar. Ada samanya juga. Kebanyakan manusia punya anak cucu di usia segitu. NU pun begitu, dari awal berdiri, akan selalu ada generasi penerusnya.

Lah kok tiba-tiba di ulang tahun NU saya merasa sedih ya. Bukan karena saya tak terlibat dan masuk dalam struktur keorganisasian NU dari pusat hingga ranting. Tapi, seperti ada cermin besar di depan bola mata ini. Cermin yang memperlihatkan diri saya sendiri. Di cermin itu tertulis: apakah saya benar-benar NU?

Warga NU itu bisa dilihat dari amaliyahnya. Tata cara ibadahnya. Penjagaan tradisinya. Menaati, menjalankan ajaran-ajaran ulama dengan sami'na wa atho'na. Bermadzhab pada salah satu dari empat madzhab fiqih; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Berakidah sesuai ajaran manhaj Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Bertasawuf seperti yang dirumuskan oleh Al- Imam Al-Ghazali dan Al-Imam Al-Junaidi al-Baghdadi.

Kok saya melihat diri ini hanya ikut-ikutan saja ya dalam ber-NU. Saya tidak tahu bagaimana fiqih Hanafi, seperti apa rupa fiqih Maliki, apa saja yang diajarkan dalam fiqih Syafi'i, dan bagaimana pula fiqih Hambali. Kok pengetahuan saya kayak sebutir pasir di pantai madzhab-madzhab fiqih itu. Saya hanya ikut-ikutan qunut ketika salat subuh. Hanya manut ke orang tua ketika diajak ziarah kubur. Lalu ikut senang dan meramaikan jika ada acara muludan (maulid nabi), rowahan, isra mi-rojan, rabu wekasan, tahlilan, yasinan, barzanjian, dan ritual-ritual lain di kampung.

Belum lagi soal aqidah. Saya hanya tahunya rukun iman dan rukun islam. Bagaimana aqidah yang diajarkan Al-Imam Abu Hasan Al-Asy'ari dan Al-Imam Abu Manshur Al-Maturidi, kok saya "kopek" (ungkapan nyeleneh betawi untuk bodoh) banget ya. Apakah ini penyebabnya, hingga banyak yang mewanti-wanti saya ketika berteman dan bergaul dengan orang yang berbeda agama serta keyakinannya. Jangankan bergaul, mengucap selamat natal, dan hari-hari besar agama lain saja, sering dibilang merusak akidah. Ya Allah, apa benar akidah saya serapuh itu?

Belum di dunia tasawuf. Kok kayaknya masih jauh panggang dari api ya. Bagaimana dunia tasawuf, apa itu tasawuf, dan hal-hal yang berkaitan dengan ajaran-ajaran Al-Imam Al-Ghazali serta Al-Imam Al-Junaidi Al-Baghdadi, kok rasanya masih "cetek bener nih otak". Jangan-jangan: "otak ama dengkul saya emang ketuker?" Ya Allah. "Kok bebel amat ya diri aye?"

Ya Allah, "bener-bener NU gak sih, saya ini?"

Dari sudut pemikiran (fikrah), kok ya saya malah lebih sering mikirin gimana biar punya banyak duit. Tak jarang saya kurang peduli dengan orang lain. Bercengkerama dan bersosialisasi dengan orang lain hanya sebatas "yang penting tidak merugikan dan menjahati mereka". Padahal, perilaku, ucapan, dan sikap itu salah satunya dipengaruhi oleh pikiran. Oleh kata-kata dan pengetahuan yang ada di pikiran.

Tak jarang, saya menganggap diri ini paling benar. Pendapat dan pemikiran saya paling benar. Padahal, pendapat saya ada benar dan ada salahnya. Begitu juga pendapat orang lain; ada benar dan ada salahnya juga. Tapi kenapa saya sering bilang sayalah yang paling benar. Kelompok sayalah yang paling benar. Saya lupa di NU diajarkan prinsip-prinsip dasar dalam berpikir, yaitu, tasammuh, tawassuth, tawazzun, dan 'adalah. Bagaimana prinsip toleransi, moderat, seimbang, dan adil saja, kok lagi-lagi saya merasa masih dungu banget.

"Bener gak sih, saya ini NU?"

Dari sisi gerakan (harokah), lagi-lagi ke-NU-an saya kok perlu dipertanyakan lagi ya. Meski sekarang tak terlibat organisasi apapun secara struktural. Saya pernah dikasih tahu tentang organisasi, gerakan, bahkan perkumpulan yang mengatasnamakan NU, tapi kok sikapnya malah tidak NU banget. Suka mentungin orang. Gampang bilang bid'ah. Mudah bilang orang lain sesat. Dan santai aja kayak di pantai ketika bilang orang lain kafir.

"Aduuuuuuh. Apa bener saya ini NU?"

Saya punya semangat (ghirah) sih, tentang dan untuk NU. NU yang berisi ajaran-ajaran dan ideologi ahlussunnah waljama'ah. Tapi kok, saya hanya semangat saja. Tanpa ilmu. Tanpa pengetahuan. Bahkan jarang bersikap dan berperilaku sesuai ajaran NU. Kok, saya seperti ketika malam tanpa bulan dan bintang, di rumah yang listriknya padam. Mati lampu.

Bagaimanapun, segelap apapun, sebodoh apapun, sedungu apapun, saya suka NU. Saya sayang NU. Saya cinta NU. Setidaknya saya masih punya rasa. Dan saya tidak malu-malu amat untuk bilang ke NU dan semua warganya: selamat ulang tahun!

Sawangan Baru.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)